The Wedding

1257 Words
"Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu pikir perpustakaan sudah beralih fungsi jadi tempat tidur?" Freya terlonjak. Ternyata hanya mimpi, lampu perpustakaan masih menyala dan beberapa mahasiswa tampak sedang mengambil buku-buku di rak yang cukup tinggi. Gadis itu menoleh, Pak Reza tampak berdiri dan menyilangkan tangan di depan d**a. "Kenapa kamu menangis?" "Eh." Freya mengusap air matanya. Kenapa ia bisa menangis? Apa mimpi barusan terbawa ke dunia nyata? "Saya tidak apa-apa," ujarnya kemudian. "Perpustakaannya sudah mau tutup. Ayo kita turun." Freya mengikuti Pak Reza menuju parkiran. Ia lebih banyak diam selama perjalanan, bahkan lupa sama sekali kalau tadi ia menunggu dosen itu berjam-jam untuk berbicara dengannya. Sekarang semua hal yang ingin dibicarakannya menguar begitu saja. Entah kenapa tangannya menjadi bergetar. Freya menangkupkan kedua tangannya. Pak Reza meliriknya sekilas. "Kamu sakit?" Freya menggeleng lemah. "Saya juga minta maaf mengenai tadi pagi. Mari kita mulai semuanya dari awal." Pak Reza memulai pembicaraan. Namun pikiran Freya masih berada di tempat lain, ia tidak mendengarkan Pak Reza sama sekali. "Sa-saya mimpi buruk tadi... terkunci di perpustakaan... su-suara langkah kaki yang diseret-seret... lalu.. la-lalu buku-buku berjatuhan dan..." Freya tercekat, tak sanggup merampungkan kalimatnya. Gadis itu menoleh, Pak Reza sudah memegang tangannya yang gemetar. "Tidak apa-apa, hanya mimpi. Lain kali jangan tidur di perpustakaan." Freya melihat tangan Pak Reza yang kokoh. Entah bagaimana kehangatan langsung menjalari seluruh tubuhnya. Freya merasa aman saat Pak Reza memegang tangannya. Tapi Pak Reza segera melepaskan tangannya kembali membuat Freya harus merasa kecewa. *** Hari pernikahan itu akhirnya tiba. Namun, Freya tidak mengundang satupun dari temannya. Ia yakin dengan kemampuan MUA pilihannya semua orang akan pangling dengan dirinya. Bahkan jika foto-foto pernikahannya tersebar. Persis seperti yang dikatakan Pak Reza. Tamu undangannya sangat banyak terutama dari kalangan dosen. Freya hanya tersenyum kaku saat semua dosen-dosen di jurusannya memasang wajah shock tak percaya. Pertama, mereka tak percaya kalau Freya anak kandung Pak Farhan yang notabene ketua jurusan. Kedua, mereka tak percaya Pak Reza yang dikenal sebagai dosen muda yang jenius menjatuhkan pilihannya pada mahasiswi tak berprestasi sama sekali macam Freya. Sial, ternyata muka gue masih dikenali. Hiks. Mungkin harusnya gue oplas dulu aja. Freya membatin dalam-dalam saat setiap dosen yang bersalaman langsung menajamkan matanya dan berkata “Loh, Freya!” Resepsi itu sengaja diadakan di gedung. Freya ngotot sama Papah bahwa rumah mereka tidak cukup luas untuk menampung semua tamu. Alasan Freya sesungguhnya adalah ia tidak mau ambil pusing kalau tiba-tiba temennya main ke rumah dan ia sedang melangsungkan acara pernikahan. “Capek?” tanya Pak Reza setelah acara selesai dan semua tamu sudah pulang. Freya menoleh. “Dikit, nyiksa banget pake high heels.” “Yaudah, lepas aja sepatunya.” Freya menurut saja karena acara foto-foto juga sudah selesai. Pak Reza tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Keluarganya dan keluarga Pak Reza yang melihat hal itu hanya bersuit-suit membuat Freya malu. “Mas turunin!” Pak Reza menurunkannya setelah sampai di mobil. Wajah Freya sudah memerah menahan malu. Namun entah mengapa perlakuan Pak Reza padanya membuat Freya bisa melihat laki-laki itu dari sisi yang berbeda. Pak Reza di depannya ini seperti bukan dosen galak dan kaku yang selama ini ia kenal. *** Hari sudah menjelang sore saat pesta pernikahan itu usai. Mobil mereka akhirnya sampai di rumah. Freya segera berlari menuju kamarnya di lantai dua. Gadis itu terkesiap saat memasuki kamarnya. Bau lilin aroma therapi yang lembut  memenuhi ruangan. Ia hampir tidak mengenali kamarnya lagi. Padahal semalam masih seperti biasa. "Jangan berdiri di depan pintu! Kamu menghalangi saya masuk." Pak Reza akhirnya menyeruak. "Bapak yang ngerencanain semua ini?" “Bapak lagi?” protes Pak Reza. “Apa saya setua itu?” “Maksudku, Mas yang ngerencanain semua ini?” "Jangan salahkan saya, semuanya ulah Fanya," tukasnya sembari mengendorkan dasi. Oh tentu saja, bagaimana Freya bisa melupakan kakak kesayangan dan satu-satunya itu. Kakaknya memang bekerja sebagai desain interior. Kamar berantakan Freya pun bisa diubah begini bagusnya. Kakaknya pasti mengharapkan sesuatu bakal terjadi malam ini. Freya menggelengkan kepalanya keras-keras. Gue belum siap! Gue belum siap! “Kamu nggak masuk?” tanya Pak Reza yang melihat Freya masih berdiri di depan pintu. Freya segera masuk dan menutup pintu. Ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Padahal ini adalah kamarnya, kamar yang biasa ia gunakan untuk rebahan, nugas, nonton film, dan sebagainya. Namun rasanya jadi asing saat Pak Reza ikut masuk ke dalam sini. Akhirnya Pak Reza masuk ke kamar mandi. Freya menghembuskan napas lega, setidaknya terhindar dari suasana kikuk seperti tadi. Akhirnya Freya memutuskan untuk menghapus make up nya. Menghapus make up pengantin ternyata tidak mudah. Ia sudah menghabiskan berlembar-lembar kapas. Setelah selesai, Freya segera melepas gaunnya yang merepotkan dan menyesakkan. Tangannya menggapai-gapai resleting di belakang. “Ishhh, coba tangan gue panjangan dikit kek!” kesal Freya. “Biar saya bantuin.” Tiba-tiba Pak Reza sudah berdiri di belakangnya dan menurunkan resleting gaunnya. Wajah Freya kembali memerah. Tanpa berani melihat wajah Pak Reza ia segera menyambar handuknya dan berlari ke kamar mandi masih dengan gaun mahalnya. *** Keesokan harinya Freya bangun lebih pagi gara-gara ingin buang air, dengan mata yang masih sedikit terpejam dan nyawa yang baru terkumpul setengah ia pun menyeret kakinya menuju kamar mandi. Brukkk "Aduduh!!!" erangnya saat menabrak seseorang. Tangannya terasa berpegang pada kulit telanjang yang agak basah. Freya segera membuka matanya selebar mungkin. "Kyaaa!!!" Pak Reza menatapnya kaget, begitupula Freya. Gadis itu segera menarik tangannya dari d**a bidang laki-laki itu. Pipinya terasa memanas. Pak Reza hanya mengenakan handuk untuk membalut bagian bawahnya. Nampak butir-butir air yang menetes melewati rambutnya yang basah sehabis keramas, membuatnya benar-benar terlihat seksi. Ditambah lagi tubuhnya yang bener-bener bagus. Damn! Kenapa badannya bisa bagus banget sih. Apa tiap pagi gue harus melihat pemandangan kek gini? Bikin gue deg-deg serr aja. "Kamu mau pake kamar mandi?" "Kenapa Mas harus m*****i saya yang polos ini sih. Emang gak punya bathrobe apa?" tukas Freya tanpa menjawab pertanyaan suaminya. Pak Reza hanya melewatinya begitu saja. "Saya nggak terlalu prepare buat nginep di sini," jelasnya sambil melepas handuk, ternyata ia sudah memakai celana pendek. "By the way saya udah selesai kalau kamu mau pakai kamar mandinya," jelasnya pada Freya karena gadis itu masih mematung di depan pintu kamar mandi. Pak Reza tampak membereskan barang-barang dan memasukkannya ke dalam koper saat Freya keluar dari kamar mandi. Freya mendekat sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Bapak mau ap..." "Sudah saya bilang jangan gunakan panggilan itu!" "Maaf khilaf. Jadi, Mas mau ngajak saya pindahan sekarang?" tanya Freya akhirnya. "Nggak sekarang, ntar sore." Sama aja, maksud gue kan hari ini stupid! "Serius Mas? Kamu nggak capek apa setelah resepsi kemarin?" "Udah resiko. Lagian saya cuma ambil cuti 3 hari." "Oh..." Freya bingung harus berkata apa. "Kenapa? Kamu mau minta saya cuti untuk honey moon?" tanya Pak Reza santai. "Hah? Enggak, gausah, saya lebih suka kalau Mas semangat kerja. Hehe." *** "Apa harus secepat ini kalian pindahnya?" tanya Mamah saat Pak Reza meminta izin untuk membawa Freya tinggal bersamanya. "Kami tidak ingin merepotkan Mamah. Lagipula saya dan Freya juga ingin belajar mandiri." Pak Reza tersenyum sopan. Mamah memeluk Freya erat sembari membisikkan petuah-petuah penting yang intinya, "jangan ini, jangan itu, harus begini, harus begitu!" Pak Reza tidak banyak bicara selama di dalam mobil. Sementara Freya memilih mengisi keheningan ini dengan menyetel musik. Koleksi musik milik Pak Reza nggak ada yang bagus, akhirnya Freya menancapkan usb miliknya dan memutar lagu-lagu Blackpink kesukaannya. Kelihatannya Pak Reza tidak mempermasalahkan selera musik Freya. "Mas, kita mau ke rumah orang tua Mas?" Tanya Freya akhirnya karena Pak Reza tidak memberi penjelasan apapun. "Kita akan tinggal di apartemen." "Apa? Kenapa?" Pak Reza memandang Freya aneh. "Ya karena saya memang sudah tidak tinggal dengan orang tua semenjak bekerja." Freya memasuki apartemen itu dengan takjub. Bukan apartemen biasa. Tempat tinggal Pak Reza bisa dibilang cukup elit membuat gadis itu penasaran sebenarnya berapa gaji suaminya per bulan. Kira-kira sopan nggak sih gue nanya berapa gajinya? Freya menggeleng. Ah, entar juga gue tahu sendiri. "Mas, saya tidur dimana?" tanya Freya. Pak Reza mengendikkan kepala memberi isyarat. Freya segera membuka pintu yang dimaksud, matanya terbelalak takjub melihat ranjang ukuran king size dengan selimut beludru di ruangan itu. "Trus, Mas tidur dimana?"tanya Freya lagi. "Kamu pikir dimana lagi saya akan tidur?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD