Misi Pertama Kasus Jamal

2352 Words
Sudah tiga hari semenjak Jamal minta tolong lagi untuk yang kesekian kalinya, Tata masih juga belum bicara dengan Ibunnya. Rasa khawatirnya lebih tinggi jika sudah berkaitan dengan Ibunnya. Memori di masa lalu setiap kali ada apa-apa dengannya membuat Ibunnya sakit dan menangis cukup membuatnya sakit. Itulah sebabnya, Tata seringkali menahan diri untuk tidak membantu makhluk tak kasat mata jika masalahnya tidak terlalu berat. Walaupun, Ibun sudah bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sangat istimewa dan sudah mempersilahkan Nyai untuk berdampingan dengan Tata, tetap saja gadis itu tak ingin membuat Ibunnya menangis histeris untuk yang kesekian kalinya. Selama tiga hari belakangan ini, Jamal semakin sering datang, bahkan tiap waktu ia datang dan memohon agar Tata dapat menolongnya segera. Begitu juga dengan Ara, gadis mungil itu terus saja bertanya apakah Tata sudah bicara dengan Ibun belum dan ia juga menawarkan diri untuk membantu bicara dengan Ibun. "Tata, kapan, sih kamu izin sama Ibun?" "Emangnya kenapa, sih, Ara?" "Ya aku gak sabar kita usilin tuh om-om jahat." "Ya ampun! Tujuan kamu jelek sekali, Ara! Gak boleh begitu!" tegur Tata. "Lagian, suruh siapa jadi orang jahat!" "Mungkin khilaf, Ara! Sudah ah, jangan seperti itu!" "Iya … iya … maaf!" "Jangan ikutan jadi jahat juga. Biarlah mereka yang jahat, kita cukup jadi orang baik saja, ya." "Baiklah … baiklah …." "Terus, kamu sudah bicara sama Abang?" "Belum juga, hehe." "Ya Allah! Kenapa, sih? Gak berani juga?" "Bukan gak berani, Ara! Lupa akunya!" "Gak mungkin! Kamu pasti masih mikir-mikir 'kan mau bantu?" "Hm … sejujurnya, iya!" "Ya sudah, kamu yakinin hati saja dulu kalau mau bantuin. Jangan sampai gak ikhlas, nanti Jamal gak tenang." "Iya, kamu benar juga, Ara! Aku harus ikhlas agar semuanya berjalan lancar. Aku nenangin hati dulu kali ya, biar gak ragu kalau bantu." "Iya, mendingan begitu, Tata." "Makasih ya, kamu memang sahabat terbaik aku!" "Selalu jadi sahabat sampai kapanpun ya, Tata." "Aku sayang kamu, Ara." "Aku juga sayang banget sama kamu. Aku akan terus menjaga kamu sampai kapanpun. Selalu bersama ya kita, jangan pernah terpisah. Aku takut jika kita berpisah dan kamu pergi ninggalin aku karena gak mau lagi berteman denganku." "Harusnya, aku yang takut dan khawatir kamu gak mau lagi berteman denganku. Kamu normal, aku tidak seperti kamu." "Hei, siapa bilang? Kamu itu normal, sama seperti, aku!" "Tidak, Ara! Banyak teman-teman yang kalau melihatku sinis, mereka ketakutan sama aku." "Gak, Sayang. Itu hanya perasaanmu, saja. Sudah ah, jangan berpikir yang seperti itu." "Makasih ya, makasih sudah menjadi sahabat terbaik aku." "Kita akan selalu jadi sahabat terbaik selamanya, ya!" *** Cinta adalah satu kata yang penuh dengan makna. Mencintai dengan ikhlas akan membuat seseorang menjadi peka terhadap orang yang dicintainya. Apapun itu, termasuk dengan rasa. Begitu juga dengan Rey, ia merasakan perbedaan dari Tata. Hati Rey mengatakan bahwa adiknya itu sedang tidak baik-baik saja dan ada masalah yang sedang di hadapi namun masih tetap diam tidak bicara apapun. Di dalam kamar bernuansa pink putih itu, seorang gadis kecil yang cantik juga jelita sedang berjalan mondar-mandir saling menyilangkan tangan di d**a. Bingung, harus bercerita pada siapa? Abangnya atau Ibunnya? Bingung juga harus menjelaskan dari sisi mana terlebih dahulu. Rey berjalan mendekati kamar Tata dan langsung mengetuk pintu pelan. "Adik!" panggilnya dengan suara agak keras agar terdengar. "Masuk, Bang!" perintahnya, setelah itu membanting bokongnya di bibir ranjang. "Lagi apa?" tanyanya melongok dari pintu. "Sini masuk, ih! Ngapain juga coba kayak gitu!" dengusnya. "Haha, takut Adik lagi belajar." "Gak, Bang. Sini masuk buruan!" perintahnya. "Kenapa, sih, Dik? Ada apa?" "Ibun mana?" "Lagi keluar belanja bulanan. Kenapa? Adik ada masalah?" Tata menggeleng. "Lalu? Kenapa?" "Hm …." "Ada masalah pasti, 'kan?" "Bukan masalah, Bang." "Lalu, ada apa, Sayang?" tanyanya lembut membingkai wajah adiknya itu. "Assalamualaikum," ucap Nyai tiba-tiba datang. "Allahuakbar!" sentak mereka berdua. Keduanya benar-benar merasa terkejut dengan kedatangan Nyai secara tiba-tiba. "Eh? Kenapa? Haha, kaget?" kekalarnya. "Nyai! Kebiasaan! Selalu bikin kaget! Lain kali masuk lewat pintu! Ketuk dulu pintunya, kayak Abang tuh!" seloroh Tata. "Maaf, Nona Putri … Nyai gak bermaksud membuat kalian terkejut." "Tetap saja! Nyai bikin kita berdua kaget! Heran Abang, mah! Sering banget Aki dan Nyai itu datang tiba-tiba dan bikin kaget! Sekali-kali gitu ya, kalian sebelum muncul kasih tanda dulu. Munculin aura yang berbeda kek, atau apa kek, biar kita gak kaget gitu!" sentak Rey. "Iya, maaf, Aden. Tapi, apa tidak lebih baik salam Nyai di jawab dulu?" "Waalaikumsalam!" ucap mereka berdua ketus. "Ya ampun … jangan pada ngambek, maaf ya." "Jangan diulangi lagi, Nyai! Gak ada etikanya nih, Nyai!" kelakar Rey. "Maaf, Aden …." "Iya dimaafkan! Lain kali, jangan diulang!" "Iya, siap, Aden!" "Ngapain Nyai kesini?" tanya Tata bingung. "Main, lihat kalian yang akan membicarakan rahasia," ledeknya. "Bisa-bisanya bilang rahasia! Dusun, Nyai, ih! Kepo amat!" ketus Tata. "Kalau Ibun kalian gak boleh tahu, maka Nyai harus tahu!" "Hm … iye lah … iye lah …!" sungut Tata. "Nyai tuh aneh, ngapain juga mau tahu? Padahal Nyai pasti sudah tahu, 'kan?" "Sudah. Tapi, lebih baik Nona Putri 'kan yang jelaskan dan ceritakan?" "Hm … iya juga, sih." "Memang ada apa, Dik?" "Ada yang minta tolong lagi, Bang." "Siapa namanya? Jamal, Bang. Dia korban tabrak lari dan mau yang menabraknya dipenjara." "Memang kenapa bisa ditabrak?" "Katanya, om itu lagi mabuk dan juga makan obat-obatan. Memang obat-obatan apa, sih, Bang?" "Itu, n*****a, Dik." "n*****a itu apa?" "Obat-obat racun dan terlarang. Kalau begitu kasusnya, bingung juga, Dik. Om itu pasti banyak anak buahnya." "Itulah, Adik takut." "Gak pa-pa, kalian gak usah takut. Rencana yang dibuat sama Jamal itu benar-benar matang dan kalian gak akan terseret, gampang kok. Cukup takut-takutin aja." "Jadi, rencananya seperti berjalan dengan sendirinya, tidak seperti direncanakan begitu." "Apa aman, Nyai?" "Insya Allah, aman, Aden." "Nyai akan pantau kalau memang kalian mau bantu. Kasihan juga, Jamal biar tenang bisa kembali ke alam yang seharusnya dan tugasnya selesai." "Nyai, kenapa mereka itu tidak bisa kembali ke alamnya?" tanya Tata penasaran. "Karena, tugas mereka di dunia belum selesai. Mereka meninggal sebelum waktunya, ya seperti Mawar dan Jamal. Mereka seharusnya masih menjalani kehidupannya tetapi waktu berkata lain. Mereka memang akan meninggal dengan cara yang seperti itu, sesuai dengan apa yang sudah di takdirkan oleh Gusti Allah selama mereka masih di dalam kandungan. Namun, mungkin waktunya saja yang berbeda. Mungkin seharusnya tahun kapan mereka meninggal dengan cara seperti itu, tapi ternyata lebih cepat. Seperti itu lah, kira-kira, Nona Putri." "Jadi, gimana, Dik?" "Kalau menurut Abang gimana?" "Abang mah, terserah Adik, saja. Semua kembali pada hati Adik, mau dan ikhlas tidak membantunya." "Tapi beneran gak pa-pa, Nyai?" "Gak pa-pa, Nyai akan pantau." "Ya sudah, Bang. Adik bantu, Jamal." "Nanti, Abang temani ya kalau beraksi." "Makasih ya, Bang. Memang terbaik sekali Abang ini." "Harus dong. Abangnya siapa dulu?" "Abangnya, Tata dong. Hebat pokoknya. Love you, Abang," ucapnya penuh bahagia seraya memeluk Abangnya. "Love you too, Adik kesayangan, Abang," balasnya ikut memeluk adik kesayangannya itu. *** Keesokan harinya, Tata memberitahu Ara bahwa akan segera membantu Jamal. Gadis kecil itu merasa bahagia sekali, akhirnya Tata mau untuk membantu dan mereka akan menjalankan misi. Ara tidak sabar menunggu hari itu tiba. Jamal pun sangat bahagia setelah mengetahui Tata bersedia membantunya. Itu artinya, sebentar lagi harapannya akan terwujud. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Jamal?" tanyanya sesudah menceritakan bahwa ia bersedia membantu. "Hari minggu, kita ke mall bertemu secara tidak langsung dengannya." "Ke mall? Jangan ngaco! Gimana izinnya coba!" "Kenapa, Ta? Apa katanya?" tanya Ara kepo. "Si Jamal ini ngaco, masa iya kita anak kecil ikutin itu om ke mall." "Gak pa-pa. Kapan memang?" "Hari minggu," ucapnya. "Oke. Itu urusan aku, kamu pasti takut 'kan izin sama Ibun? Tenang, aku yang bantu! Nanti aku bilang sama Papi mau pergi ke bioskop sama Tata dan Abang Rey. Pasti akan si Mbak, gak pa-pa. Misi kita akan tetap jalan kok walaupun ada si Mbak." "Kamu serius, Ara?" "Iya, serius! Gak pa-pa, nanti kamu bilang saja dulu sama Abang. Kalian rencanaan gitu, loh! Nah terus kamu izin sama Ibun, lalu pasti Ibun agak khawatir gitu, 'kan? Baru deh Abang sebagai pahlawan merelakan diri untuk ikut dengan alasan menjaga, padahal memang sudah kita rencanakan! Gimana? Bagus 'kan ideku?" "Wow! Mantap! Aku gak kepikiran sampai kesana loh, Ara! Kamu memang luar biasa pintar sekali, hi hi hi. Gak sia-sia aku punya teman sepertimu," ledeknya. "Ih, Tata! Aku memang pintar dan kita akan selalu menjadi teman baik. Titik!" "Iya, Sayangku." "Gimana, Jamal? Begitu saja rencananya?" "Iya. Aku setuju!" "Kata Jamal, dia setuju, Ara!" "Ye! Kita akan menjalankan misi! Ih aku senang banget tau, gak! Berasa kayak di pilem-pilem gitu, loh! Berburu hantu, haha!" "Hei! Kita bukan berburu hantu!" tegur Tata. "Eh, ya Allah salah, haha. Bukan berburu hantu, deng. Kayak detektive gitu loh." "Iya apa kata kamu saja deh, Ara! Kebanyakan nonton pilem-pilem aneh, sih, kamu!" "Teman kamu itu benar-benar aneh, Tata! Kok bisa, malah dia yang senang hi hi hi." "Entahlah, Jamal. Kamu bisa lihat sendiri lah seperti apa bentukannya, dia. Hahaha." "Kalian membicarakan aku ya!" sergah Ara. "Gak! Ih, pede sekali kamu, Ara!" "Jangan berbohong, Tata!" "Beneran, Sayang!" "Ugh! Menyesal aku hanya bisa merasakan tanpa bisa melihat dan komunikasi." "Kamu mau coba melihat dan komunikasi?" "Eh … eh … gak, deng. Bercanda kali, Ta! Haha," kekehnya renyah sekali membuat Tata dan Jamal menggelengkan kepala saja melihat tingkah aneh Ara. Setelah semua rencana tersusun rapi, Tata sedang mengatur strategi untuk meminta izin pada Ibunnya. Sebelumnya, ia juga akan bicara terlebih dahulu pada Abangnya. Itu semua ia lakukan semata-mata demi menghormati Rey sebagai abang dan juga meminta tolong idenya agar tidak salah langkah. Rey itu memang abang yang sangat-sangat istimewa. Rey akan selalu menolong dan menjaga Tata di setiap keadaan apapun, sama seperti janjinya dulu saat Tata masih berada di dalam kandungan. Maka dari itu, ia paham betul jika adik kesayangannya itu ada masalah namun tetap diam dan tak mau bercerita. Itulah kisah-kasih Abang dan Adiknya, sudah terlihat penuh cinta dan kasih sayang. Menjalani keseharian dengan kelembutan dan juga ketenangan, membuat keduanya tak bisa jauh bahkan tak bisa dipisahkan. Mereka berdua sudah bagaikan botol dengan tutupnya, tak terpisahkan. Harapan mereka berdua, kedepannya nanti ketika sudah dewasa pun, masa-masa yang seperti sekarang akan tetap diselesaikan bersama-sama. Tak ada emosi dan keegoisan yang akan mereka utamakan juga dahulukan, tapi cinta dan kasih sayang yang justru akan mendominasi. *** Tata sudah membicarakan rencana hari minggu akan ke mall pada Rey. Rey mengangguk tanda setuju, ia juga bersedia untuk akting di hadapan Ibun dengan alasan akan menjaga, Tata. Ah keduanya memang terlihat sangat kompak sekali dalam situasi dan kondisi yang mendesak seperti ini. Rey juga mengatakan bahwa akan mengikutsertakan Riko dalam misi mereka. Tata jelas sangat setuju sekali, itu artinya akan aman jika ada Abang dan temannya. "Makasih ya, Bang." "Untuk apa, Sayang?" "Untuk kasih sayang, cinta dan bantuan Abang. Adik merasa menjadi yang paling istimewa sekali." "Sudah seharusnya, Adik 'kan adik kesayangan, Abang.' "Abang juga kesayangan, Adik." "Ya sudah, ayo kita makan malam, laksanakan akting kita," ajaknya. "Ayo, Bang." Mereka berjalan beriringan menuju meja makan dan langsung duduk di kursi. "Malam Ayah, Ibun," ucap mereka berdua serempak. "Malam juga, Sayang," jawab mereka. "Ayo kita makan malam dulu," ajak Ayah. Mereka mengangguk, makan dalam diam. Tata memikirkan kata-kata yang pas untuk nanti dibicarakan dengan Ibunnya. Agar tidak ketahuan dan juga tidak membuat Ibunnya curiga. Pasalnya, susah sekali jika bicara dengan Ibun, sebab instingnya seringkali kuat. Itulah makanya kenapa Tata meminta bantuan Abangnya, sebab Rey pintar bernegosiasi dengan Ibunnya. Selesai makan malam, seperti biasa mereka semua berkumpul di ruang keluarga untuk bersantai dan saling bercerita satu sama lainnya. Kegiatan ini adalah paling yang sangat wajib. Sebab, ini adalah waktu mereka untuk bercengkrama dan mumpung masih pada kecil, masih bisa di ajak bercengkrama, setelah mereka dewasa belum tentu kegiatan ini akan tetap berjalan walaupun memang diinginkan tetap berjalan seperti biasanya. "Bun, boleh gak hari minggu Adik pergi main ke mall sama Ara?" tanyanya hati-hati. "Ke mall? Ngapain, Sayang?" "Nonton bioskop kata Ara. Ada pilem doraemon katanya, Bun." "Hm … sama siapa saja?" "Sama Ara saja, ya tapi Mbaknya Ara juga ikut sama kita, jagain kita berdua, begitu kata Ara." Fitri menoleh ke arah suaminya, Fauzi hanya tersenyum simpul. "Kalian 'kan masih kecil, Nak. Kenapa segala nonton bioskop? Bisa nonton di rumah 'kan?" "Jadi, gak boleh ya, Bun?" tanya Tata lemah. "Izinkan saja, Bun. Sekali-kali mah, gak pa-pa, deh. Asal jangan keseringan." "Hm … begitu ya, Ay?" "Iya, biarkan Tata bereksplore bersama Ara." "Tapi, Ibun khawatir dan gak tenang." "Kalau Ibun khawatir, gimana kalau Abang juga ikut? Jadi bisa temani dan jaga Adik, 'kan?" Fitri langsung menoleh ke arah anak sulungnya dan memicingkan mata. "Kalian gak lagi aneh-aneh, 'kan?" tanya penuh dengan kecurigaan. "Ya Allah, Bun. Curigaan amat sama anak sendiri. Abang cuman mau temani Adik, katanya Ibun khawatir, padahal jelas Adik dan Ara pergi sama Mbaknya. Mbaknya Ara 'kan bukan orang lain, Bun. Makanya, Abang menawarkan diri biar Ibun jadi tenang, karena ada Abang yang jagain Adik. Jadi ya pasti aman dong, lagian Abang sama Riko juga rencananya mau ke toko buku, Bun. Ada buku yang ingin dibeli." "Hm … begitu ya? Kaian tidak sedang bekerjasama tentang sesuatu hal, bukan?" "Gak, Bun …." Mereka menjawab serempak. "Adik mau nonton." "Abang mau beli buku." "Ya udah, sih, Bun … kasih izin aja, napa, sih? Perkara nonton dan beli buku aja urusan panjang dulu. Ibun kayak gak pernah muda saja, biarkan mereka dengan dunia bermainnya, Bun." "Ayah ini! Selalu saja bela keinginan anak-anak! Gak tahu aja, Ibun khawatir! Di luaran banyak orang jahat! Kalau mereka berdua diculik gimana!" sergahnya. "Bun, ucapan itu adalah doa! Jadi, berucaplah yang baik-baik. Doakan mereka selalu sehat dan tenang di setiap langkahnya, maka Ibun tak akan lagi merasa khawatir berlebihan ketika mereka akan pergi bermain dengan temannya." "Hm … ya sudah. Ibun izinkan," ucapnya mengalah. "Asik! Makasih, Ibun!" seru Tata. Ayahnya tersenyum merekah melihat anak bungsunya bahagia. "Makasih ya, Bun," tutur Abang Rey. "Iya. Tapi, Abang harus janji akan jaga Adik! Jangan asik sendiri sama temannya sampai lupa sama Adik! Paham!" ucapnya memberi peringatan. "Siap, Bun! Laksanakan!" Akhirnya, perjuangan mereka sedikit berbohong demi membantu Jamal bisa dikerjakan juga. Ada sedikit rasa takut jika ketahuan dan Ibun marah, tapi rasa ingin menolong lebih tinggi dari rasa takut itu. Mereka ingin, pelakunya jera dan di hukum sesuai dengan yang sudah diperbuatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD