BAB 2

2229 Words
Langit biru telah berubah sepenuhnya menjadi hitam, hanya cahaya bulan yang menerangi. Jarum jam tak henti bergerak, menunjukan bahwa waktu pun tak pernah berhenti berputar. Terus berjalan hingga tanpa sadar setiap manusia telah melewati waktu berharganya yang tak akan pernah bisa kembali maupun di putar ulang. Di sebuah rumah sederhana namun tampak nyaman, Nana Athalia memandang hampa ke atas langit seraya duduk santai di teras rumahnya. Dinginnya semilir angin malam tak mengusik rasa nyamannya. Tatapannya tetap lurus ke bulan seolah di dalam bulan yang bulat itu dia bisa menemukan wajah seseorang. Terhitung sudah satu tahun berlalu sejak tragedi itu terjadi. Sebuah tragedi dimana dia harus kehilangan satu-satunya keluarga yang dia miliki, neneknya. Sudah satu tahun pula Nana berpisah dengan Araya, cinta pertamanya. Mereka tak pernah berkomunikasi selama satu tahun ini. Hubungan mereka yang memang tak pernah terjalin itu, seolah kandas tertelan waktu. Nana sering berpikir mungkin Araya sudah melupakan dirinya, sesuatu yang wajar menurutnya. Pasti di Jerman sana pria itu sudah menemukan pendamping baru. Satu-satunya yang miris itu adalah Nana. Wanita cantik dan baik hati ini masih belum benar-benar bisa melupakan sosok pria yang dicintainya itu. Kendati demikian, dia tak pernah mengharapkan bisa bertemu lagi dengan Araya. Baginya asal Araya bahagia di Jerman sana, sudah cukup untuknya. Di sini ... di rumah sang nenek tepatnya, dia juga sedang mencoba menikmati hidup sebatang karanya. Nana mendesah lelah, dia turunkan pandangannya pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Tersenyum kecil saat jarum jam menunjukan tepat pukul 12 malam, waktu yang sejak tadi dia nantikan. Dia pun beranjak bangun dari duduknya. Berjalan sedikit terburu-buru ke dalam rumah yang sudah satu tahun ini dia tinggali seorang diri. Tak lupa dia menutup pintu dan menguncinya. Kedua kaki Nana bergerak mendekati semua jendela di dalam rumah. Dia menarik kain gorden yang masih terbuka, menutup serapat mungkin semua gorden hingga pemandangan di luar tak bisa dia lihat lagi. Kakinya kembali bergerak, kali ini menuju sebuah saklar. Dia tekan saklar itu tanpa ragu, seketika satu-satunya ruangan yang lampunya dalam keadaan menyala pun berubah menjadi gelap gulita. Nana meraba nakas yang berada tepat di bawah saklar lampu. Mengembuskan napas lega dikala tangannya menyentuh sebuah benda yang hampir setiap malam jumat dia gunakan, sebuah senter. Dia nyalakan senter itu, cahaya dari senter itu memberikan penerangan bagi Nana untuk melihat sekelilingnya. Nana kembali melangkahkan kakinya menuju tengah ruangan dimana beberapa lilin dia letakan di lantai membentuk sebuh lingkaran. Tanpa ragu Nana mendudukan dirinya di lantai yang dingin. Merogoh korek dalam saku celananya. Lantas dia nyalakan semua lilin yang berbentuk lingkaran itu. Setelah semua lilin yang sudah dia siapkan itu menyala, Nana pun mematikan senter. Hanya cahaya dari lilin-lilin itu yang menjadi penerangnya kini. Sejenak Nana pandangi lilin-lilin yang menyala dengan tenang itu. Tak ada pergerakan apa pun, pertanda sekadar hembusan angin pun tak terasa di dalam ruangan. Nana menarik napas panjang, dia pejamkan kedua matanya. Lantas bibirnya mulai berkomat-kamit, menggumamkan sesuatu. “Nenek, ini aku, Nana. Kalau nenek denger suara Nana, Nana mohon sekali aja nenek muncul di depan Nana. Nana kangen sama nenek. Ada sesuatu yang mau Nana omongin sama Nenek. Nenek datang ya, Nana tunggu.” Kata-kata itulah yang dia gumamkan rutin setiap malam jumat. Dia melakukan ini bukan karena belum merelakan kepergian neneknya. Dia sungguh sudah ikhlas dengan kematian neneknya, dia tahu inilah kehendak Tuhan. Hanya saja masih ada satu hal yang mengganjal hati dan pikirannya. Rasa bersalahnya pada sang nenek, membuatnya berpikir sekali saja dia ingin melihat arwah neneknya. Dia ingin meminta maaf karena baginya kematian sang nenek, dia lah penyebabnya. Andai dia menuruti perkataan neneknya saat di hutan itu, mungkin neneknya masih ada sampai sekarang. Dia hanya ingin meminta maaf dan mengucapkan perpisahan langsung pada arwah neneknya. Lagipula keistimewaan yang dimiliki Nana sangat memungkinkannya untuk bisa melihat arwah sang nenek. “Nenek, Nana mohon datanglah. Sebentar saja Nek, Nana pengen ketemu nenek.” Dia kembali bergumam, kali ini disertai butir-butir air matanya yang mulai merembes keluar. Kedua matanya masih terpejam sempurna. Saat tiba-tiba tengkuknya merasakan desiran angin yang seolah lewat di belakangnya, seketika Nana membuka kedua matanya. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah api lilin yang bergerak-gerak seolah terkena hembusan angin. Nana tersenyum lebar, merasa neneknya telah mendengar permintaannya. Lagipula dia bisa merasakan aura seseorang yang mendatanginya. “Nenek,” panggilnya lirih, dia edarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Suasana malam itu terasa semakin mencekam dengan sahut-sahutan suara lolongan anjing di luar sana yang tiba-tiba terdengar. padahal sebelum Nana melakukan ritualnya, suara lolongan anjing itu tak terdengar satu pun. Jika dulu Nana akan gemetar ketakutan jika berada dalam kondisi seperti ini, sekarang tidak demikian. Seorang Nana Athalia sudah banyak berubah sejak insiden dirinya harus berhadapan dengan iblis jahat bernama mamuna. Sekarang dirinya merupakan sosok wanita pemberani yang sudah mampu menghargai kemampuan istimewa yang dimilikinya. Dia tak merasa takut lagi saat melihat penampakan hantu. Kini satu hal yang dia yakini, tak ada hal apa pun yang patut untuk dia takutkan. Manusia termasuk dirinya hanya boleh takut pada Tuhan. Jadilah seorang Nana Athalia menjadi sosok wanita pemberani sekarang. Bahkan dirinya tak merasa takut sedikit pun saat telinganya tiba-tiba mendengar suara air keran yang menyala. Suara air yang mengalir keluar dari keran tertangkap jelas indera pendengarannya. Nana mengambil senter yang tergeletak di sampingnya, bergegas beranjak bangun dari duduknya. Dia melangkah menuju dapur, tempat yang dia yakini menjadi sumber suara itu terdengar. Tap ... Tap ... Tap Suasana yang sunyi senyap, membuat suara langkah kaki Nana pun terdengar begitu jelas. Nana menyorotkan cahaya dari senternya ke sekeliling ruangan yang dia lewati. Berharap dalam hati dia melihat sosok arwah neneknya. “Nek,” panggilnya lagi. Suara air yang mengalir itu semakin terdengar jelas, jaraknya dengan dapur sudah terlampau dekat. “Itu nenek, kan? Nenek datang.” Kini dirinya sudah tiba di dapur. Dia sorotkan cahaya senternya ke arah wastafel, benar saja dugaannya keran air dalam keadaan menyala. Cepat-cepat Nana berjalan mendekatinya, lalu dia putar keran itu. Air pun tak lagi mengalir keluar. Nana menyorotkan cahaya senternya ke sekeliling dapur. Kedua bola matanya bergulir mengikuti cahaya yang tersorot dari senter. Ekspresi kecewa tersirat di wajah Nana saat kedua matanya tak melihat penampakan apa pun. “Nenek dimana?” Suara Nana bergetar, begitu kentara dia mulai kecewa. “Ck, apa nenek gak dateng lagi, ya?” Nana berhenti menyorotkan cahaya senter, dia matikan senter itu membuat dapur sepenuhnya gelap gulita. Dia memegangi ujung wastafel, memejamkan matanya dan berulang kali mengembuskan napas lelah. “Sssshhhhhhh.” Seketika Nana terbelalak kaget, tepat di dekat telinganya dia merasakan napas seseorang seolah ada seseorang yang sengaja bernapas tepat di depan telinganya. Dengan gesit Nana menyorotkan cahaya senternya ke arah sampingnya. “Nenek. Itu nenek, kan?” Namun nihil, tak ada siapa pun di sana. Sekali lagi Nana menyorotkan cahaya senter ke sekeliling dapur. Dan sekali lagi pula Nana mengembuskan napas lelah. Tak ada siapa pun disana. Tak ada penampakan arwah neneknya, bahkan penampakan arwah orang lain pun tak dia temukan satu pun. Nana menyerah. Dia putuskan untuk mengakhiri kegilaan ini, jika saja telinganya tak mendengar suara daun pintu yang terbuka. Krieeet Suara itu terdengar samar. Tapi Nana yakin telinganya tak salah mendengar. Nana pun berlari meninggalkan dapur. Dapurnya tak memiliki daun pintu karena itu dia yakin daun pintu yang menimbulkan suara deritan itu pastilah berasal dari ruangan lain. Ketika dirinya tiba di luar dapur. Dia sorotkan cahaya senter ke sekeliling rumah. Menegang di tempat tatkala menemukan daun pintu kamar neneknya bergerak-gerak dengan sendirinya. Menutup lalu membuka, menutup lalu membuka ... terus seperti itu berulang kali hingga suara deritan daun pintu itu membuat ngilu telinga siapa pun yang mendengarnya. Nana berjalan cepat menuju pintu itu, ajaibnya pintu itu langsung berhenti bergerak saat Nana sudah tiba di dekatnya. “Nenek. Nenek ada di kamar, ya?” Nana melangkah memasuki kamar neneknya. Aura keberadaan seseorang bisa dia rasakan di dalam kamar ini. Nana tersenyum lebar dengan jantungnya yang berdegup kencang saat di sudut ruangan, dia melihat seseorang tengah berdiri membelakanginya. Dengan harapan yang sangat besar sosok yang berdiri itu merupakan arwah neneknya, Nana pun berjalan cepat menghampiri sosok itu. “Nenek!” panggil Nana, sedikit kencang. Sosok itu dilihat dari rambut panjangnya yang beruban, tidak salah lagi merupakan arwah seorang nenek tua. Memakai dress putih yang kotor di beberapa bagian. Kedua kakinya melayang, tak menapak di lantai. Dan masih dalam posisi membelakangi Nana meskipun berulang kali Nana memanggilnya nenek. “Nenek, ini Nana. Nana kangen banget sama nenek.” Kedua mata Nana kembali meneteskan air mata. Jika benar arwah di depannya ini adalah arwah neneknya, sungguh Nana akan berhenti melakukan ritual bodoh ini. Dia tidak akan pernah memanggil neneknya lagi. Sekali saja dia ingin mengucapkan permintaan maaf sekaligus salam perpisahan pada sang nenek. “Nek.” Tangan Nana terulur ke depan, berniat untuk menyentuh sosok itu. Namun belum sempat Nana menyentuhnya, pergerakan akhirnya dilakukan oleh sang arwah. Nana menunggu dengan tak sabar dikala arwah di depannya itu kini mulai membalik badannya menghadap Nana. Dalam hati tak hentinya Nana berharap sosok itu benar-benar arwah neneknya. Senyuman lebar mengembang di bibir Nana, wajah sosok itu semakin terekspos jelas. “Kyaaaaa!” Spontan Nana berteriak. Satu bola mata yang keluar dari kelopaknya dan nyaris terjatuh. Deretan gigi hitam yang tengah menyeringai, serta satu sisi wajah yang terlihat hancur hingga tengkoraknya terlihat. Saat itulah Nana tahu sosok di depannya ini bukan lah arwah neneknya. Nana menelan salivanya, mulai panik sendiri. Kini satu demi satu aura kehadiran makhluk halus mulai mendekatinya. Datang silih berganti ke dalam kamar neneknya. Nana menghela napas panjang, dengan gerakan amat perlahan dia mendongak ke atas, dengan bantuan cahaya pada senternya menatap ke langit-langit kamar. Sosok anak kecil tanpa sehelai rambut pun di kepalanya tengah merangkak di langit-langit dan menyeringai padanya. Lingkaran hitam di sekeliling matanya, bibir berwarna ungu tua serta kulit pucat anak kecil itu. Lagi-lagi ritualnya berakhir seperti ini. Ketika Nana menyorotkan cahaya senternya ke arah belakang tubuhnya. Nana tak kuasa lagi untuk tidak berteriak frustasi. Entah berapa hantu yang menampakan diri di hadapannya kini. Nana tak berminat sedikit pun untuk menghitungnya. Yang pasti satu hal yang Nana tahu, tak ada satu pun arwah neneknya dari sekian banyak hantu yang mendatanginya karena merasa terpanggil dengan ritual bodoh yang dilakukannya. Nana pun berlari keluar dari kamar neneknya. Terus berlari menuju kamarnya. Tanpa menutup pintu, Nana naik ke atas ranjangnya. Mendesis sebal tatkala beberapa hantu lain terlihat tengah berdiri di luar jendela kamarnya yang memang gordennya dalam keadaan terbuka. “Issshhh, kenapa selalu seperti ini? Bukan kalian yang pengen aku lihat. Bukan kalian yang aku panggil. Tapi nenek. Kenapa nenek gak mau datang? Kenapa malah arwah kalian yang datang!!” teriak Nana pilu. Tanpa menghiraukan para hantu gentayangan yang tiba-tiba mengerumuninya, Nana merebahkan diri di ranjangnya, menutup dirinya dengan selimut hingga mencapai kepalanya. Dia genggam erat kalung yang melingkar di lehernya. Sebuah kalung pemberian dari sang nenek. Selama ada kalung itu Nana percaya Tuhan dan neneknya akan selalu melindunginya. “Kayaknya aku harus berhenti ngelakuin ritual ini. Nenek gak akan pernah datang.” Gumamnya putus asa. Dia pejamkan kedua matanya, air mata tak hentinya menetes keluar. Kejadian seperti ini selalu rutin dia alami setiap malam jumat, tepatnya setiap dia selesai melakukan ritual bodoh sekaligus tak masuk akal untuk memanggil arwah neneknya. Setelah 45 menit memejamkan matanya, akhirnya Nana benar-benar terlelap. Dia tak merasa takut sedikit pun, sudah sangat biasa baginya didatangi hantu gentayangan yang sebenarnya tak ingin dia temui. Keesokan paginya, Nana keluar dari rumahnya dengan wajah berseri-seri. Sebuah keranjang berukuran besar penuh dengan kue kering buatannya, dia tenteng di tangannya. Selama satu tahun ini Nana tak bekerja, jadi untuk menghidupi dirinya sendiri dia membuat kue kering dan menitipkannya ke beberapa toko makanan dan warung yang tak jauh dari rumahnya. Seperti inilah kegiatannya sehari-hari, tepat pukul 8 pagi dia akan keluar rumah untuk mengantarkan kue kering buatannya. Kegiatan itu memakan waktu sekitar dua jam, mengingat ada beberapa warung yang mengharuskan Nana berjalan cukup jauh dari rumah mungilnya. Saat dirinya berjalan santai dengan keranjang yang dia tenteng telah kosong, Nana tertegun. Ada seorang pria memakai seragam tengah berdiri di depan pagar rumahnya. Nana berlari menghampiri pria itu tanpa berpikir panjang. “Permisi, Pak. Mencari siapa, ya?” tanya Nana, ramah. Pria itu pun berbalik badan dan tersenyum ramah saat melihat Nana. “Anda, Nana Athalia?” Nana mengangguk. “Ini ada paket untuk Anda.” Dengan dahi mengernyit, Nana menatap ke arah paket menyerupai sebuah amplop di tangan pria itu. Meski merasa aneh, mau tak mau dia terima juga paket itu. “Tolong tandatangani di sini,” ucap pria itu sembari mengulurkan sebuah kertas dan pena pada Nana. Nana pun membubuhkan tanda tangannya di sana sesuai permintaan sang pria. “Terima kasih, saya permisi.” “Iya, sama-sama,” sahut Nana, lantas pria itu pun pergi menuju motornya yang terparkir tak jauh dari pagar rumah Nana. Masih menunjukan raut herannya, Nana melangkah masuk menuju rumahnya. Dia duduk di teras rumah, rasa penasarannya semakin muncul ke permukaan. Dia penasaran ingin mengetahui siapa orang yang mengirimkan paket berbentuk sebuah amplop besar itu untuknya. Tanpa ragu dia robek plastik yang membungkus amplop itu. “Ernesto Group,” gumam Nana, saat melihat di depan amplop, nama itulah yang terpampang sebagai nama si pengirim. Lantas tanpa pikir panjang lagi, Nana membuka amplop itu. Isinya dua lembar kertas teregalisir rapi pertanda surat itu merupakan sebuah surat resmi. Kedua bola matanya bergerak naik turun, ke kiri kanan mengikuti setiap tulisan yang tertera di kertas itu. Dahinya tak hentinya mengernyit heran sepanjang dia membaca surat itu. “Surat panggilan interview. Perasaan aku nggak ngirim surat lamaran ke perusahaan mana pun,” gumamnya, heran bukan main. “Wow, yang menandatangani surat ini CEO perusahaannya langsung. Rex Ernesto.” Nana memiringkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat lagi mungkinkah dia lupa telah mengirimkan surat lamaran pada salah satu perusahaan. Menggeleng berulang kali saat meyakini dia memang tak pernah mengirim surat lamaran ke perusahaan mana pun selama satu tahun ini. Sekali lagi Nana membaca surat itu. Dilihat dari mana pun surat itu memang surat panggilan resmi. Tatapan Nana terpaku pada nama perusahaan ‘Ernesto Group’. “Kok nama perusahaan ini rasanya gak asing? Aku pernah denger dimana, ya?” gumam Nana, dia mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk, mencoba berpikir keras. Dia pun mendesah lelah tak lama berselang. Menyerah. Dia tak mengingat dimana pernah mendengar nama perusahaan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD