BAB 3

3208 Words
Nana masuk ke dalam rumah setelah cukup lama duduk di teras dengan kedua matanya yang tak lepas sedikit pun dari surat panggilan interview yang dia terima. Pikirannya masih melalangbuana, masih heran karena tiba-tiba surat itu mendarat di tangannya. Di tengah lamunannya, dia terperanjat kaget saat ponsel di saku celananya bergetar. Tersenyum lebar saat melihat nama seseorang di layar ponsel yang tengah meneleponnya. “Hallo, Di.” Diana, sahabat Nana yang berprofesi sebagai dokter lah yang menelepon. Hubungan mereka sempat renggang setelah insiden Nana melihat arwah seorang pasien di rumah sakit tempat Diana bekerja, tahun lalu. Namun, Nana bersyukur karena hubungan mereka kembali membaik. Tanpa Nana duga sebelumnya, Diana menghubunginya lebih dulu. Setelah Rachel menetap di London, Diana lah yang menjadi teman curhat Nana sekarang. “Gimana kabar kamu, Na? Kangen deh,” sahut Diana, di seberang sana. “Aku juga kangen sama kamu. Kerjaan kamu gimana?” “Lancar kok. Surat dinas juga udah aku terima.” “Kamu udah gak kerja di rumah sakit yang dulu?” “Aku masih kerja disana kok, Na. Kamu kapan main lagi ke sini?” Nana termenung mendengar pertanyaan Diana ini. Bingung harus menjawab apa karena dirinya tak berniat untuk mendatangi Jakarta dalam waktu dekat ini. “Na.” “I-Iya.” Nana terenyak, terlalu banyak berpikir tanpa sadar membuatnya mengabaikan Diana. “Kamu gak ada niat nyari kerjaan lagi di Jakarta?” Satu pertanyaan ini dan sukses membuat Nana teringat pada surat panggilan interview yang baru saja dia terima. Bukankah alamat perusahaan itu juga berada di Jakarta? Nana melihat kembali alamat perusahaan yang tertera di dalam surat untuk memastikannya sekali lagi. “Di, kamu tahu gak perusahaan Ernesto Group?” “Tahu dong, itu kan perusahaan besar, Na. Bergerak di bidang perhotelan sama Resort kayak perusahaan sepupunya Rachel, kalau gak salah.” Nana terdiam, sosok Araya kembali menari-nari di dalam kepalanya. Tersenyum kecil dikala mengingat kenangannya selama bekerja di perusahaan itu. “Kenapa emangnya, Na?” tanya Diana, menarik kembali kesadaran Nana. “Oh itu, Di, barusan aku nerima paket isinya surat panggilan interview gitu dari Ernesto Group.” “Serius, Na? Waah ... keren tuh kalau kamu bisa diterima kerja di sana,” pekik Diana, terdengar girang di seberang telepon. “Tapi anehnya aku gak ngerasa pernah ngirimin lamaran kerja ke perusahaan itu, Di.” “Masa sih? Kamu lupa kali, Na. Kan gak mungkin tiba-tiba ada surat panggilan interview kalau kamu gak ngirimin lamaran kerja ke sana.” Lama Nana terdiam, sekali lagi mengingat-ingat mungkinkah tanpa sadar dia mengirimkan lamaran kerja ke perusahaan itu? menggeleng cepat saat meyakini dia memang tak pernah mengirimkan lamaran kerja ke perusahaan mana pun selama satu tahun ini. “Nggak, Di. Serius aku nggak pernah ngirimin lamaran kerja ke perusahaan mana pun.” Kali ini Diana yang terdiam, mungkin merasa heran sama halnya dengan Nana. “Saran aku sih kamu terima aja, Na. Kamu dateng ke perusahaan itu buat interview. Tapi sebelumnya pastiin dulu surat panggilannya asli, jangan-jangan penipuan lagi.” “Surat ini asli kok, Di. Dilegalisir juga. Ampe ada tanda tangan CEO-nya segala, namanya Rex Ernesto.” Nana kembali menelisik seteliti mungkin surat di tangannya. “Mungkin ini rezeki kamu, Na. Mendingan kamu terima aja, kamu dateng ke kantornya buat interview.” “Hmm ... gimana ya? Jujur aku masih pengin istirahat, belum mau kerja di perusahaan mana pun.” Di sebrang sana terdengar Diana mengembuskan napas lelah. “Jangan gitu dong, Na. Sampai kapan kamu mau menyendiri terus? Kamu masih belum bisa relain kepergian nenek kamu?” “Sulit bagi aku, Di. Nenek aku itu satu-satunya keluarga yang aku punya.” “Iya, aku ngerti perasaan kamu, tapi kamu harus lanjutin hidup kamu, Na. Kamu gak bakalan bisa maju kalau terus-terusan tinggal sendiri di sana. Kamu bakalan inget terus sama nenek kamu kalau tinggal di sana, sendirian lagi. Mendingan kamu balik ke Jakarta ya, coba kerja di Ernesto Group itu.” “Aku belum siap buat kerja lagi, Di.” “Terus kapan kamu siapnya? Ini ada kesempatan emas lho buat kamu. Kerja di perusahaan sebesar itu gak gampang, Na. Sayang banget kalau kamu sia-siain.” Nana tertegun, memikirkan baik-baik nasehat sahabatnya ini. Mendesah pelan dikala menyadari nasehat Diana memang ada benarnya. “Kalau kamu tinggal lagi di Jakarta, kita kan bisa ketemuan, Na. Rachel tinggal di London sekarang, jadi kita gak bisa kumpul-kumpul bertiga lagi. Tapi seenggaknya kita berdua masih bisa ketemuan kan kalau tinggal satu kota.” “Hmm ...” “Please, Na, kamu coba dulu ya. Kalau nanti kamu ngerasa gak cocok atau gak betah kerja di sana, aku gak bakalan maksa kamu kalau kamu pengen berhenti terus balik lagi ke Indramayu. Janji deh.” Nana tersenyum kecil mendengar permintaan Diana ini, tak enak hati jika menolak mengingat hubungan mereka belum lama ini kembali membaik, Nana pun mengembuskan napas pasrah. Tidak ada salahnya dia mencoba seperti yang disarankan Diana. “OK, Di. Aku bakalan datang ke perusahaan itu buat interview. Mudah-mudahan aja diterima ya.” “Yesss ... gitu dong, Na. Pasti kamu diterima, aku yakin banget. Kalau gitu kabari aku hasil interviewnya nanti ya, Na.” “Iya, Di.” “Sampai ketemu Nana. Aku udah gak sabar pengin ketemu kamu lagi.” “Iya, Di. Aku juga. Sampai ketemu lagi.” Sambungan telepon pun terputus setelahnya. Nana duduk lemas di sofa, membiarkan kedua kakinya berselonjor ke depan. Kedua matanya menerawang menatap langit-langit ruangan. “Udah saatnya aku nyerah berharap bisa ketemu arwah nenek. Udah saatnya juga aku bangkit lagi. Semangat Nana,” gumamnya, menyemangati dirinya sendiri. Sekali lagi menatap ke arah surat yang masih dia genggam dan tersenyum lebar setelahnya. ***  Rex Ernesto tampak duduk santai di kursi kebesarannya, di ruang kerjanya. Memijit pangkal hidungnya yang berdenyut. Rencana pembangunan resort di Lombok tak berjalan sesuai rencananya. Dia menerima banyak laporan bahwa warga sekitar masih melarang keras lahan itu dijadikan resort. Mereka bahkan mulai berani berdemo di dekat area kontruksi. Hal ini membuat Rex kesal bukan main. Frustasinya semakin bertambah dikala tragedi beberapa hari yang lalu terjadi di area kontruksi, dimana salah satu pekerjanya tewas secara mengenaskan. Meski urusan dengan keluarga korban telah diselesaikan asistennya, tetap saja kematian pekerjanya sangat janggal menurut Rex. Tidak mungkin ada manusia yang mampu memelintir tengkorak kepala manusia lainnya hingga seperti itu. Masih mungkin jika leher yang dipelintir tapi ini tengkorak kepala yang kerasnya tiada tara. Rex yakin pasti bukan manusia yang melakukan pembunuhan itu. Jika pun ini ulah hewan buas, cara membunuh seperti itu rasanya mustahil bisa dilakukan hewan buas. Hewan buas akan membunuh mangsanya dengan cara menggigit, mencakar atau mengoyak tubuh mangsanya. Kenyataan tubuh korban yang masih utuh semakin menguatkan pemikiran Rex bahwa bukan hewan buas pelakunya. Rex menjambak rambutnya seraya menggeram marah. Padahal ayahnya sudah mempercayakan proyek resort ini padanya, jika sampai proyek ini gagal sudah bisa dia pastikan semarah apa ayahnya nanti. Atensi Rex teralihkan saat tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangannya. Sosok sang asisten, Rudi muncul dari balik pintu tak lama berselang. “Maaf, Pak, mengganggu.” “Ada apa?” tanya Rex ketus, masih dengan posisi tubuhnya yang bersandar nyaman pada sandaran kursinya. “Kita harus segara berangkat, meeting-nya sebentar lagi dimulai.” Rex merasakan kepalanya semakin berdenyut. Suasana hatinya sedang buruk, pikirannya pun tengah kalut ditambah sekarang dia harus memimpin sebuah meeting, sungguh Rex merasa ingin berteriak sekencang-kencangnya saat ini. Rex menghela napas panjang sebelum dia melakukan pergerakan. Bangkit berdiri dari kursinya, lantas melangkah meninggalkan ruangannya tanpa kata. Di sisi lain, Rudi hanya mampu mengembuskan napas lelah, tiga tahun menjadi asisten Rex cukup membuatnya paham bahwa sang boss kini tengah dalam suasana hati yang buruk. Sangat buruk. Dan dia harus berhati-hati dalam bertutur kata jika tidak ingin kena amukan sang CEO. “Bagaimana dengan wanita bernama Nana Athalia itu? Dia belum memberi kabar?” tanya Rex tiba-tiba, membuat Rudi yang sempat melamun di dalam lift, terenyak kaget. Mereka berdua tengah berada di dalam lift yang akan mengantarkan mereka ke ruang meeting yang terletak di lantai dasar. “Belum, Pak. Tapi setelah saya cek, suratnya sudah sampai di tempat tujuan.” “Telepon kalau dia belum memberi kabar sampai besok. Kita butuh dia bekerja untuk kita secepatnya,” titahnya tegas. “Baik, Pak,” sahut Rudi, patuh. Pintu lift terbuka begitu mereka tiba di lantai yang dituju. Di saat Rex melangkahkan kakinya baru saja keluar lift, tiba-tiba seseorang menabraknya. Si penabrak terhuyung ke belakang hingga terjatuh, sedangkan Rex yang memiliki tubuh tegap nan atletis itu hanya memundurkan kakinya beberapa langkah. “Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Saya sedang terburu-buru barusan,” ucap si penabrak, yang ternyata seorang wanita. Wanita itu tengah sibuk memungut kertas miliknya yang berserakan di lantai. Rex memicingkan matanya menatap wanita itu, kerutan terbentuk di dahinya tatkala merasa wanita itu sangat asing baginya. “Maaf, Pak. Permisi.” Si penabrak kembali bersuara. Rex tertegun mendapati salah satu kertas milik wanita itu terinjak kakinya. Refleks dia berjongkok, memungut kertas itu dan menyerahkannya pada si wanita. “Terima kasih, Pak.” Wanita itu tersenyum ramah. Wanita berwajah cantik dengan senyuman manis itu entah mengapa membuat Rex merasakan desiran aneh di dalam hatinya. “Saya tidak pernah melihatmu di sini? Karyawan baru?” tanya Rex tiba-tiba. Si wanita menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan, Pak. Saya datang ke sini untuk mengikuti interview. Saya menerima surat panggilan dari perusahaan ini.” Rex menoleh ke arah Rudi yang berdiri di belakangnya, meminta penjelasan melalui sorot matanya pada sang asisten. Menyadari tatapan sang boss, Rudi pun bergegas mengambil alih. “Hmm ... tapi perusahaan kami tidak sedang membuka lowongan pekerjaan,” jawab Rudi. Dia mengatakan yang sebenarnya, perusahaan itu memang tidak sedang membuka lowongan pekerjaan. “Tapi saya benar-benar menerimanya,” sanggah sang wanita seraya mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. Lantas dia serahkan amplop itu pada Rudi. Rudi memeriksa surat yang berada dalam amplop, tersenyum lebar saat menyadari sesuatu. “Ooh, anda, Nana Athalia?” “Iya, Pak. Saya, Nana Athalia. Resepsionis meminta saya menunggu di lantai enam. Katanya Ruangan CEO ada di lantai itu. Yang mengirimkan surat itu sepertinya CEO perusahaan ini,” jawab Nana. Rudi tak menyahut, dia menatap ke arah sang boss yang tertegun, pria itu tampak sibuk memperhatikan penampilan Nana mulai dari ujung kepala sampai ujung kakinya. “Eheemm ... Pak, ini dia nona Nana. Jadi ...” Rudi menggantung ucapannya, melongo saat melihat sang boss kini tengah mengulurkan tangannya ke arah Nana. “Kebetulan bertemu di sini. Perkenalkan, saya asisten Pak Rex. Nama saya, Neval Maxime. Saya yang akan menginterview anda menggantikan Pak Rex.” Rudi terbelalak sempurna mendengar kebohongan atasannya. “Ooh iya, Pak. Saya, Nana Athalia,” sahut Nana seraya dia balas uluran tangan Rex yang memakai nama samaran. “Tunggu sebentar di sini ya.” Nana mengangguk dengan dahi mengernyit karena melihat pria yang dia ketahui bernama Neval itu berjalan menjauh bersama rekannya. “Aku sudah mengatakannya waktu itu, Aku akan memakai nama samaran di depan dia. Jadi jangan sampai samaran ini terbongkar. Atau posisimu taruhannya.” Rudi meneguk salivanya gugup mendengar ancaman sang boss, mengangguk pasrah karena tak memiliki pilihan untuk protes apalagi membantah. “Meeting-nya bagaimana, Pak?” “Kau saja yang urus.” Rex berjalan santai menghampiri Nana setelahnya, mengabaikan sang asisten yang tengah menggelengkan kepalanya, heran bukan main dengan sikap sang CEO. Ketika melihat Rex dan Nana masuk bersama-sama ke dalam lift, saat itulah Rudi berjalan lesu menuju ruang meeting. Lagi-lagi harus dirinya yang menyelesaikan kekacauan yang diciptakan sang CEO muda. *** Nana menggulirkan bola matanya ke sekeliling ruangan. Ruangan yang luas dimana dia berada kini jelas bukan lah ruang sembarangan. Seseorang yang berpengaruh di dalam perusahaan ini pasti lah pemilik ruangan ini. Melihat ruangan ini entah mengapa mengingatkan Nana pada sang mantan boss, Araya Addison. Ruangan pria itu juga kurang lebih sebesar ruangan ini seingat Nana. “Silakan duduk.” Nana terenyak saat suara baritone itu tiba-tiba mengalun. Nana tersenyum kecil seraya mendudukan dirinya pada sebuah kursi. Tatapan matanya kini tertuju pada sebuah papan nama terbuat dari kaca yang berdiri kokoh di atas meja tepat di hadapannya. Rex Ernesto ... itulah nama yang tertera pada papan nama tersebut. Nana memicingkan matanya, itulah nama seseorang yang tertera pada surat panggilan interview yang mendarat di rumahnya. Jadi benar dugaannya, dia memang tengah berada di dalam ruangan yang ditempati orang terpenting perusahaan ini. “Ini ruangan milik Pak Rex. Beliau sedang tidak ada di tempat jadi saya dipercaya untuk menggantikan beliau menginterview kamu.” Pria yang mengenalkan dirinya sebagai Neval pada Nana itu terdengar memberi penjelasan, mungkin karena menyadari tatapan heran yang tengah dilayangkan Nana saat ini. “Ooh iya, Pak.” “Boleh saya lihat CV kamu?” Tanpa ragu Nana mengulurkan map di tangannya. Sebuah map dimana di dalamnya berisi lengkap biodata tentang dirinya. Nana tahu pasti surat-surat itu dibutuhkan, bukan ini pengalaman pertamanya melamar pekerjaan. Jadi seorang Nana Athalia sudah sangat hafal betul surat-surat apa saja yang perlu dia bawa dalam sesi interview ini. Rex yang memakai nama samaran Neval itu kini tengah membaca biodata Nana yang ada di tangannya. Kedua matanya bergulir mengikuti setiap huruf yang tercetak di selembar kertas itu. “Hmm ... Pak, boleh saya menanyakan sesuatu?” ucap Nana tiba-tiba, sukses membuat atensi Rex teralihkan. “Silakan,” jawabnya. Nana membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak di kursinya. Berdeham sejenak guna menormalkan kegugupannya. “S-Saya sebenarnya tidak pernah mengirimkan lamaran pekerjaan ke perusahaan ini, tapi kenapa ya tiba-tiba saya menerima surat panggilan untuk interview?” Ya, itulah yang ditanyakan Nana, dia tak sanggup lagi menahan rasa penasarannya. Dia ingin segera mengetahui alasan surat panggilan itu bisa mendarat di tangannya. Berharap dalam hati semoga surat itu tidak salah kirim. Mau ditaruh dimana wajahnya jika ternyata surat panggilan itu salah kirim dan seharusnya tidak diterima olehnya? Meski ada kekhawatiran dirinya akan malu, Nana tetap ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari ini selalu menggelayuti pikirannya. Rex menutup map berisi biodata Nana. Merasa tak membutuhkan data-data itu lagi karena dirinya sudah mantap menginginkan Nana untuk bekerja di perusahaannya. “Pak Rex yang mengirimkan surat panggilan itu padamu. Semuanya murni atas keinginan beliau. Beliau ingin merekrut kamu menjadi salah satu karyawannya di perusahaan ini.” Nana mengernyitkan dahinya, semakin tak paham dengan situasi yang sedang dihadapinya ini. “Tapi kenapa Pak Rex menginginkan saya menjadi karyawan di perusahaan ini? Saya tidak ingat pernah bertemu beliau,” tambah Nana, meminta pria di depannya itu lebih menjelaskan maksud ucapannya. “Kami dengar kamu yang merancang hotel milik Araya Addison Corporation di Bali. Apa itu benar?” Nana meneguk ludahnya, merasa aneh sendiri kenapa hidupnya selalu berurusan dengan pria bernama Araya, padahal Nana tengah berusaha melupakannya. Tapi mendengar namanya selalu disebut-sebut, bagaimana mungkin Nana bisa melupakan pria yang merupakan mantan boss sekaligus cinta pertamanya itu? Nana mendesah lelah, sebelum mulutnya terbuka untuk mengeluarkan suaranya. “I-Iya benar, saya yang merancangnya,” jawab Nana, jujur. Rex tersenyum kecil di kursinya, rasa senang menjalar di dalam hatinya. Entah mengapa dia merasa senang karena sesuatu yang berharga milik rival abadinya, Araya ... kini tengah duduk di depannya. Jangan sebut namanya Rex Ernesto jika tidak bisa memiliki Nana untuk bekerja di perusahaannya. Ya kira-kira hal itulah yang sedang dipikirkan pria itu sekarang. “Itulah alasan kamu diterima di perusahaan ini tanpa perlu menjalani test apa pun.” “Tapi kenapa, Pak?” tanya Nana cepat, semakin tak mengerti. “Perusahaan kami sedang merencanakan pembangunan sebuah proyek besar di Lombok. Kami akan mendirikan sebuah resort mewah di sana. Dan Pak Rex menunjuk kamu untuk menjadi perancangnya.” Nana terbelalak sempurna, tak menyangka sedikit pun bahwa saran yang dia berikan pada Araya dulu saat pria itu hendak mendirikan hotel di Bali, kini menjadi alasan dirinya berada di gedung mewah milik Ernesto Group. Merancang sebuah resort? Yang benar saja. Dia tak pernah menuntut ilmu dalam bidang arsitektur sebelumnya. Jelas tawaran ini tak masuk akal bagi Nana. “Tapi saya tidak memiliki keahlian dalam bidang arsitektur, Pak. Saya tidak bisa menerima tanggungjawab sebesar ini,” jawab Nana, mencoba menolak tawaran tak masuk akal itu. Rex tersenyum miring. Dia tidaklah bodoh, kata-kata Nana ini jelas sebuah penolakan. Tapi bukan Rex Ernesto namanya jika menyerah begitu saja. Rex menopang dagunya dengan kedua tangan yang dia lipat di atas meja. Fokus menatap Nana yang seketika membuat wanita itu salah tingkah di tempat duduknya. Di mata Nana, sosok pria yang mengaku sebagai Neval itu tak kalah tampannya dengan Araya. Pria di hadapannya itu juga memiliki sorot mata tajam dan aura mengintimidasi yang sama persis dengan Araya. Hanya bedanya ketika berada di dekat pria itu, Nana tak merasa jantungnya berdegup kencang. Sangat berbanding terbalik dikala dirinya berada di dekat Araya. Tapi siapa yang tak gugup jika dipandang seintens ini oleh lawan jenis? Terlebih hanya mereka berdua yang berada di ruangan itu. “Buktinya kamu bisa merancang hotel di Bali. Sekarang hotel itu sukses besar. Pengunjungnya tidak pernah sepi. AA Corp mendapatkan keuntungan besar karena penghasilan hotel itu.” “Saat itu saya hanya memberikan sedikit saran pada Araya.” “Benarkah? Tapi dari yang kami dengar. Hotel itu seratus persen kamu yang merancangnya.” Nana akui yang dikatakan pria di hadapannya itu memang benar. Dulu saat Araya menyetujui saran darinya, Araya menyerahkan tugas merancang hotel itu pada Nana. Tapi saat itu Nana murni hanya memberikan saran dan menuangkan imajinasinya, siapa yang menyangka jika sarannya justru membuat hotel itu menjadi maju pesat sekarang. Tapi untuk merancang sebuah resort mewah, Nana yakin seratus persen dia tak akan sanggup melakukannya. Nana menggulirkan bola matanya ke kanan dan kiri. Merasa gelisah sendiri. Seharusnya dia tidak datang ke perusahaan ini. “Saat itu saya hanya menuangkan imajinasi saya, Pak. Saya benar-benar tidak memiliki keahlian di bidang arsitektur. Di perusahaan Araya saja, saya menjabat sebagai sekretaris.” “Araya ya?” ucap Rex pelan, namun Nana masih bisa mendengarnya dengan jelas. “Iya, Pak. Kenapa?” “Kamu memanggil mantan boss kamu hanya dengan Araya? Hm, saya menangkap kesan kamu memiliki hubungan istimewa dengan Araya Addison.” Nana terkesiap di tempat duduknya. Pura-pura membenarkan posisi duduknya padahal dia sedang panik karena menyadari kecerobohannya. “M-Maksud saya, Pak Araya. Dulu saya menjabat sebagai sekretaris Pak Araya bukan arsitektur atau ditempatkan dibagian desain,” jawab Nana kikuk. Dia selipkan ke belakang telinga anak rambutnya yang menjuntai ke depan. “Saya tahu kamu dulu menjabat sebagai sekretaris. Tapi Pak Rex tetap meminta kamu bekerja di sini sebagai perancang resort kami.” “Saya benar-benar tidak bisa menerimanya, Pak. Sejak awal saya menuntut ilmu dalam bidang sekretaris bukan arsitektur,” ucap Nana, untuk kesekian kalinya menjelaskan bahwa dirinya tak sanggup menerima pekerjaan itu. “Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu saya akan mengajukan kamu untuk bekerja di sini sebagai sekretaris saya. Bagaimana?” “Haah? Sebagai sekretaris Anda?” Rex menganggukan kepalanya, yakin. “Sebenarnya saya dipercaya menangani pembangunan proyek resort itu oleh Pak Rex. Dan saya merasa membutuhkan bantuan kamu. Jujur saja saya belum merancang desain resort itu sedikit pun.” “Kenapa Anda tidak merekrut seorang arsitektur profesional saja, Pak?” tanya Nana, sekaligus memberikan saran. “Belum tentu rancangan arsitektur profesional akan memberikan hasil yang memuaskan, bukan? Tapi saya percaya pada kemampuan kamu. Kamu sangat yakin skill kamu berada di jalur sebagai sekretaris padahal belum tentu di sanalah bakat kamu. Mungkin saja kan tanpa kamu sadari sebenarnya bakat kamu ada di dunia arsitektur.” Nana tersenyum kecut, merasa dirinya tengah dipaksa sekarang. “Kalau kamu keberatan menduduki jabatan sebagai perancang desain resort, itu bukan masalah. Kamu bisa bekerja di sini sebagai sekretaris saya. Tapi mohon bantuannya untuk saran-saran kamu dalam merancang resort itu. Bagaimana ?” Nana menghela napas panjang, ingin menolak tapi dia juga sungkan melakukannya. Pria bernama Neval itu entah kenapa begitu antusias menginginkan dirinya bekerja di perusahaan ini. Nana sungguh heran dibuatnya. “Tapi kalau saya tidak sanggup melakukannya, bagaimana, Pak?” “Coba saja dulu. Jika kamu bisa memberikan saran yang luar biasa untuk pembangunan hotel milik AA Corp, saya yakin kamu juga bisa memberikan saran yang bagus untuk proyek resort kami.” Nana terdiam, tak tahu lagi harus mengelak seperti apa. Pria di hadapannya ini sangat pandai memojokannya. “Kami akan memberikan gaji dua kali lipat lebih besar dibandingkan gaji yang kamu terima di AA Corp.” Nana mendelik ke arah Rex, merasa tersinggung mendengar ucapan pria itu. “Bukan masalah gajinya, Pak. Saya hanya tidak yakin mampu memenuhi tanggungjawab sebesar ini karena keahlian saya memang bukan di bidang arsitektur.” “Kita coba dulu. Saya tetap menaruh harapan dan kepercayaan besar padamu.” “Jika saya tidak bisa melakukannya, bagaimana, Pak?” “Saya yakin kamu pasti bisa,” jawab Rex, semakin memaksa Nana. “Lagi pula kamu tidak sendirian bertanggungjawab pada pembangunan resort ini. Saya ada di samping kamu. Kita berdua akan bekerja bersama-sama demi kesuksesan resort ini. Bagaimana? Kamu mau mencobanya?” ucap Rex, final tak menerima penolakan. Dia ulurkan tangan kanannya pada Nana sebagai bentuk simbol bahwa mereka telah membuat kesepakatan. Nana tertegun di kursinya. Tatapannya tertuju pada wajah penuh percaya diri milik pria itu, lalu beralih pada tangan kanan pria itu yang terulur padanya. Nana mengembuskan napas lelah, meski pada akhirnya dia memilih mengalah. Lantas dia ulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan pria yang mengaku bernama Neval tersebut. “Saya hargai keputusan kamu yang sudah tepat ini. Saya akan membawa kamu secepatnya ke lokasi untuk melihat area yang akan dibangun proyek resort ini. Dan selamat bergabung dengan Ernesto Group.” Dan Nana pun hanya mampu mengangguk menuruti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD