Bab 4 : Ramalan Kakek Pengemis

1108 Words
Si Putih Bab 4 : Ramalan Kakek Pengemis Ah, sial! Memang dasar mata tidak dapat diajak kompromi. Sinar matahari sudah terpancar dari celah tirai, pertanda malam telah berganti siang. Aku gagal menyaksikan perubahan hewan kesayanganku itu. Tak hanya itu, aku juga melewatkan sholat subuh hari ini. Dengan sedikit sempoyongan, aku melangkah mendekat ke kandang Si Putih. Aku kecewa, sebab ia belum berubah wujud juga. Segera kuraih kamera untuk melihat hasil rekamannya, namun tak ada gambar yang aneh di sini. Hanya rekaman saat ia tertidur pulas saja. Misiku gagal total. "Putih, kamu kok nggak berubah juga sih?" sungutku kecewa, padahal aku berharap dia adalah seorang putri yang dikutuk, lalu akan berubah kembali menjadi manusia jika ada pria yang mencintainya dengan tulus. Ah, aku memang menyukai aneka dongeng Nenek jaman masih kecil dulu dan begonya udah tua begini pun aku masih menyukai hal semacam itu. Ah, efek jomlo bisa bikin halu ternyata. Tiba-tiba, aku dikagetkan oleh teriakan seseorang dari arah pintu depan. Kubuka pintu kamar dan melangkah menuju pintu depan. Kusibak sedikit tirai untuk mengintip ke luar sana. Ternyata ada tuannya Si Putih, Nek Sola ada di balik pagar sambil meneriakkan namaku dan nama Si Putih. Aku berlari menuju kamar dan melepaskan Si Putih, lalu kegendong dia menuju sang majikan yang sedang bimbang di luar sana. "Tuh, kan, benar dugaanku ... kamu ngelonin Si Bujang, 'kan ... Putih .... " sambut Nek Sola kala melihatku menggendong Si Putih keluar dari rumah. Aku tersenyum sambil menghampiri Nek Sola. Putih langsung diraihnya ke dalam gendongan. "Kalau mau tidur di luar, kasih tahu Mak dong, Putih. Biar Mak nggak khawatir, dan gak nyariin kamu semalaman. Kebiasaan deh .... " omel Nek Sola pada Kucingnya. "Meonggg .... " jawab Si Putih sambil menggosokan kepalanya pada sang tuan. "Awas, ya ... kalau diulangi lagi! Nanti Mak gak akan bolehin main ke sini lagi!" ancam Nek Sola sambil mengelus bulu hewan yang sudah dianggap sebagai anak itu. Tanpa pamit lagi padaku, Nek Sola berlalu sambil terus berbicara pada kucingnya itu. Aku hanya bisa menggaruk kepala dengan kecewa, lalu melangkah dengan gontai masuk kembali ke rumah. Entah kenapa juga, aku masih berharap kalau Si Putih itu adalah seorang manusia. Aagghh ... Kuacak rambut, lalu meraih handuk untuk segera mandi. Pagi-pagi otak udah error aja. *** Gara-gara misiku yang gagal tadi malam, jadi tak bersemangat bekerja di kantor pun. Sehabis istirahat siang, kupacu mobil menuju lokasi Cafe yang sedang dalam tahap pembangunan itu. Lebih baik mengawasi para pekerja saja, lama-lama di kantor hanya bikin kepala makin pusing. "Bang Hamid, lagi ngapain di sini?" sapa seorang wanita yang sekarang tepat berdiri di sampingku. Aku menatap sumber suara, seorang wanita berhijab berdiri di sampingku. Dia Nadine, wanita yang pernah kusuka namun tak bisa kumiliki sebab ketidakberanianku mengungkapkan isi hati. Ya, itulah aku, seorang laki-laki yang tak bernyali untuk menyatakan cinta pun. Hubungan kami hanya sebatas teman, hingga pada akhirnya ia ditugaskan ke daerah terpencil karena profesinya yang sebagai seorang guru. Aku menatapnya dari atas hingga bawah, terpesona, ya ... tak dapat kupungkiri hal itu. Hati masih dag-dig-dug saat berjumpanya seperti sekarang ini. Apalagi dia terlihat semakin dewasa dan cantik. "Kamu Nadine?" Aku mengeryitkan dahi, pura-pura mengingat. "Iya, Bang. Abisnya siapa lagi?" jawabnya. "Abang ngapain di sini?" cecarnya lagi. "Eh, seharusnya aku yang nanya. Kamu kenapa bisa ada di kota ini? Bukannya kamu ditugaskan ke daerah perbatasan?" tanyaku sambil melempar senyum, sudah lama kami tak bertemu, sedikit rindu juga hati ini "Iya, Bang. Cuma, sekarang, 'kan lagi liburan sekolah. Guru juga ikutan libur dong," jawabnya santai sambil memamerkan deretan gigi putih yang tersusun rapi itu. "Oh, ya?" Aku menatapnya, perasaan ini masih seperti dulu. Aku menyukai wanita di hadapanku sekarang. "Iya, Bang. Hem, gak mau ngajakin Nadine ngobrol ke mana, kek? Masa ngobrol cuma sambil berdiri gini?" Dia kembali tersenyum, membuatku semakin ingin lebih lama lagi bersamanya. "Oh, iya. Ayo, kita ke kafe di seberang jalan saja!" Aku masuk ke mobil dan mengajaknya serta. Taklama kemudian, kami sudah duduk di kafe sambil menyeruput jus pesanan masing-masing. "Oh, jadi Abang bakal bikin Kafe di situ?" tanyanya memulai pembicaraan. "Iya, rencananya sih gitu," jawabku sambil menatapnya sekilas dan pura-pura fokus pada sedotan jus di tanganku. "Abang udah nikah?" tanyanya lagi sambil menggigit bibir dan mencuri pandang padaku. "Hem .... " Aku menggeleng sembari membenarkan posisi duduk, tubuh terasa panas dingin mendengar pertanyaan itu. Yah, aku memang rada keder ditanyain udah nikah apa belum, d**a terasa sesak aja. Pengen banget nikah, tapi apalah daya jodohnya belum dikasih ama Allah Nadine tergelak dan menatapku tak percaya, "Masa sih, Bang?" "Iya. Emangnya kenapa? Kamu mau nyariin Abang calon istri?" tanyaku sambil menaikan sebelah alis, berusaha santai tentunya. "Hem, gak usah nyari jauh-jauh, yang di depan mata saja dianggurin," jawabnya dengan mengulum senyum. Wah, apa maksudnya ini, coba? Dia nantang, Man! Aku menggaruk kepala dan menahan tawa. Hati sedikit berbunga, serasa dapat lampu hijau, Bro. "Kok malah ketawa, Bang?" Nadine sedikit cemberut, namun malah membuatnya semakin manis. Ah, cintaku mulai mengembang lagi. "Hemmm, emang mau jadi istri Si bujang lapuk ini?" tanyaku sambil mengulum senyum. "Mau dong, kalau Si Bujang lapuknya serius," jawabnya lagi sambil memamerkan kedua lesung pipi. Hahhh, hatiku semakin berbunga-bunga namun bayangan wajah Si Putih langsung terlintas di kepala. Bagaimana dengannya? Hatiku jadi bimbang. "Ah, ya sudah. Terima kasih atas minumannya, Bang. Nadine pamit, calon mertua Abang udah whatApss nyuruh pulang. Heheee .... " Nadine bangkit dari kursi dan meraih tasnya dari atas meja. Astaga, nih anak menggodaku terus. Apa dia serius? Aku menggaruk dahi yang tidak gatal. Nadine menyetopkan sebuah taxi dan melambaikan tangan ke arahku, lalu memberi isyarat untuk menghubunginya lewat ponsel. Kubalas lambaian tangannya sambil terus tersenyum. Setelah membayar minuman, aku bergegas menuju mobil. Karena kurang fokus, tanpa sengaja tubuhku telah bertabrakan dengan kakek pengemis yang sedang berjalan di sisi kanan mobilku. Ia terjatuh dan menatapku kaget. "Ma-maaf, Kek, saya tidak sengaja," ujarku sambil membantunya bangkit Sang Kakek pengemis menatapku tajam, cukup lama dan membuat sedikit merinding. "Kamu, manusia yang akan berjodoh dengan hewan. Berhati-hatilah dalam memilih pasangan hidup, tahun ini tahun laris bagimu. Gak hanya manusia yang menggilaimu, hewan pun juga!!!" ujarnya dengan nada berbisik sambil menatapku tajam. Aku mengeryitkan dahi sambil merogoh saku celana, mencari uang untuk kuberi kepada Si kakek pengemis. "Takdir tak bisa kau ubah Anak muda. Jodoh, maut dan rezeki sudah diatur Ilahi. Kau akan menikah dengan hewan itu, berhati-hatilah!" oceh Si kakek sambil menerima selembar uang dariku. "Maksudnya gimana, Kek?" Aku mulai penasaran akan ocehannya. Jangan-jangan yang di maksud 'hewan' adalah Si Putih. Keringat dingin mulai membanjiri dahi. Masa iya, aku bakal menikah dengannya? Kakek pengemis itu langsung beranjak pergi, tanpa mau menjelaskan pernyataannya itu. Ia meninggalkanku yang masih terpaku di tempat semula. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD