Bab 5 : Rumah Sakit

1471 Words
Si Putih Bab 5 : Rumah Sakit "Kamu, manusia yang akan berjodoh dengan hewan. Berhati-hatilah dalam memilih pasangan hidup, tahun ini tahun laris bagimu. Gak hanya manusia yang menggilaimu, hewan pun juga!!!" Sampai sudah pulang ke rumah pun, perkataan Si Kakek pengemis tadi selalu saja terngiang di kepala ini. Pahahal sudah kutepis jauh-jauh pikiran itu, sebab tak masuk akal sekali. Masa iya aku bakalan nikah sama hewan? 'Kan sangat tidak mungkin sekali. 'Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asyik sendiri .... ' suara panggilan w******p membuyarkan lamunanku. Terpampang nama 'Tante Rossa' di layar ponsel, segera kugeser tombol hijaunya. "Hamid, kamu di mana? Kok belum datang juga sih? Kami udah hampir satu jam loh nungguin kamu .... " cerocos Tante Rossa dari seberang sana. "Saya di rumah, Tan. Emangnya ada apa?" tanyaku dengan polos sambil mengingat ada urusan apa aku dengannya. "Ya ampun, kamu pasti lupa, ya, kalau Tante ngajakin kamu ketemuan di Restoran buat ngenalin sama ... hmm ... yang Tante omongin kemarin itu loh!" cecarnya lagi. Astaga, aku langsung menepuk jidat. Aku melupakan janji dengan Tante Rossa, aduh ... umur belum tiga puluh saja sudah pelupa begini. Aduuhh ... Kacau! "Oh itu, ingat kok, Tan .... " Aku mencoba berbohong. "Cuma, tadi mendadak sakit perut gitu. Ini Hamid udah mau berangkat kok." Aku segera meraih kunci mobil dan berlari menuju garasi. "Oke, dalam waktu lima belas menit kamu harus sudah ada di sini! Tante gak mau tahu!" ancam Tante dengan suara kesal. "Oke, Tante," jawabku cepat dan langsung tancap gas. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi, pokoknya aku harus cepat sampai. Adik almarhum Mama yang satu ini, kalau sudah marah susah merayunya. Mana dia Tanteku satu-satunya pula. Beberapa saat kemudian, mobilku telah berhenti di depan Restoran tempat janjian dengan Tante Rossa. Aku segera keluar dari mobil dan tiba-tiba mata ini membuka lebar, kala melihat Si Putih melenggang masuk ke dalam restoran. Astaga, ngapain dia ke sini? Apa sama Nek Sola? Aku celingukan. Segera kukejar Si Putih, namun ia sudah menghilang bagai di telan bumi. Setelah letih mencari, aku baru teringat akan janji dengan tante Rossa namun mereka sudah tidak ada di meja nomor 5, tempat janjian Ah, sial! Semuanya berantakan. Nomor ponsel Tante Rossa juga tidak dapat dihubungi. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja. Semoga Tante Rossa tidak marah dan tidak kapok janjian dengan keponakannya yang pelupa ini. *** Pagi itu, saat hendak berangkat kerja, kulihat Si Putih sedang berjalan di atas tembok rumah tetangga sebelah rumah. Terlihat seperti noda merah di bulu putih bersihnya, aku jadi sedikit cemas. "Ckckckck, Putih ... sini .... " panggilku sambil menjentikkan jari. Putih menolehku sekilas, namun ia makin mempercepat langkahnya lalu berlari naik ke atas atap. Dia mengacuhkan panggilanku, dan kini sudah tak terlihat lagi. Ada apa dengannya? Tumben sekali ia tak menggubris panggilanku. Ah, kutepis rasa khawatir akan keadaan hewan kesayanganku itu. Sebaiknya aku segera berangkat ke kantor. Kulajukan mobil membelah jalanan Ibu Kota yang lumayan ramai pagi ini. Kesibukan di kantor membuatku lupa menelpon Tante Rossa untuk meminta maaf karena ketakhadiran tadi malam. Hingga menjelang sore begini, barulah ingat. Kukeluarkan ponsel, namun belum sempat menyentuh layarnya, ada sebuah panggilan masuk dari 'Nanda'. Dia sepupuku, anaknya Tante Rossa. "Assalammualikum," sapaku saat mendekatkan benda pipih itu ke telinga. "Waalaikumsalam. Bang Hamid, Mama masuk rumah sakit," ujar suara dari seberang sana, nadanya terdengar cemas. "Oh ya, kapan?" Suaraku tercekat di tenggorokan. "Tadi malam, Bang .... " "Ya Allah, kok bisa?" "Kecelakaan, Bang. Buruan ke sini deh, Rumah Sakit Cahaya Medika." "Oke, Abang langsung ke sana." Perasaan jadi campur aduk, antara rasa khawatir pada tanteku satu-satunya dan dugaan penyebab kecelakaan itu. Entah kenapa juga, bayangan Si Putih melenggang di restoran tadi malam langsung terngiang di kepalaku. Ada apa ini? Setengah jam kemudian, aku telah tiba di rumah sakit. Dengan langkah cepat, aku segera mencari ruangan rawat Tante Rossa. Kudorong pelan pintu ruangan VIP 1, di mana adik dari almarhum Mama itu dirawat. Hati ini sangat khawatir akan keadaan tanteku itu. "Assalammualaikum," ucapku saat masuk ke dalam ruangan serba putih itu. "Waalaikumsalam, Bang." Nanda--sepupuku yang masih duduk di bangku kuliah itu menyambutku. "Hey," sapaku pada Nanda saat gadis itu salim kepadaku. "Ini," sambungku sambil mengulurkan buah-buah bawaanku. "Terima kasih, Bang." Nanda tersenyum sambil meletakkan buah-buahan itu ke atas meja. "Gimana keadaan Tante?" tanyaku sambil mendekat ke arah tempat tidur rawat. Tante Rossa tersenyum tipis, menyambut kedatanganku. Aku menatap prihatin wanita yang sedang duduk di atas tempat tidur rumah sakit itu. Kepalanya dililit perban. "Udah baikan, cuma kepala kadang masih sakit," jawab Tante Rossa sambil memegangi kepalanya. "Mobil Mama mau nabrak kucing, Bang," ujar Nanda sambil mengupas buah apel yang tadi kubawakan. "Oh, ya? Kok bisa?" Jantungku langsung berdebar mendengar nama hewan kesayanganku itu disebut. "Pas kucing putih itu melintas, Tante langsung nginjak rem. Itu yang bikin kepala kejedot ke setir." Tante Rossa menjelaskan padaku. "Terus keadaan kucingnya gimana?" tanyaku tanpa bisa menahan mulut untuk pertanyaan gak penting ini. Hati langsung kepikiran dia, Si Putihku tersayang. "Tante gak tahu, kayaknya sih gak kenapa-kenapa soalnya pas Tante ditolong warga keluar dari mobil, kucing itu sudah tidak ada," jawab Tanteku. Aku menarik napas lega, syukurlah kalau dia tidak kenapa-kenapa. Ah, kenapa lagi aku ini? Masa aku lebih memikirkan keselamatan hewan itu dibandingkan Tante Rossa. Seharusnya aku membuat perhitungan dengan Si Putih, sebab gara-gara dia Tanteku kecelakaan. Perang batin bikin kepala jadi berdenyut. Setelah memastikan keadaan Tante Rossa tidak terlalu parah, kuputuskan untuk pamit pulang padanya. "Hamid pamit pulang ya, Tante .... " "Eh, jangan dulu! Tunggu bentar-bentar lagi deh!" Gelagat Tante Rossa terlihat mencurigakan. "Emangnya ada apa, Tante? Hamid tadi dari kantor langsung ke sini, mana belum mandi .... " Aku menghela napas berat sambil menggulung lengan kemeja panjangku. Tante Rossa terlihat saling lirik dengan Nanda. Aku semakin mencium gelagat aneh dari keduanya. Taklama kemudian, seorang wanita berhijab masuk ke ruangan kami. Dahiku langsung berkerut kala saling pandang dengannya. "Nadine!" Aku sedikit terkejut menatapnya. "Bang Hamid!" ujarnya tak kalah dengan ketekejutanku. "Eh, kalian udah saling kenal?" tanya Tante Rossa dengan senyumnya. Nadine mengangguk seraya berjalan mendekat ke ranjang Tante. "Syukur deh kalau gitu. Ini benar-benar pertanda kalau kalian adalah jodoh," ucap Tante Rossa bersemangat. Aku mengerutkan dahi sembari tersenyum tak enak ke arah Nadine, sedangkan dia terlihat mengulum senyum. Untuk beberapa saat, kami saling tatap. "Kalian berdua sudah kenal lama?" tanya Tante Rossa, yang membuatku segera menguasai diri sembari mengelap dahi yang berkeringat. "Udah lama, dari waktu kuliah. Bang Hamid 'kan kakak tingkat dulu, walau beda Fakultas tapi tetap satu universitas." Nadine menjelaskan kepada Tante Rossa. "Hmm ... Jadi gitu, bagus deh. Nadine ... Sebenarnya ... Keponakan yang mau Tante kenalin ke kamu itu ... Ya Hamid ini." Tante Rossa yang tadi sempat mengeluh sakit kepala juga sakit seluruh tubuh, mendadak menjadi segar dan bersemangat. Aku hanya menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung juga mau berkata apa. "Oh gitu ... Jadi Bang Hamid orangnya." Nadine melirik ke arahku dengan tak hentinya mengukir senyuman, dan d**a ini semakin luluh lantak saja karenanya. Akan tetapi, jika mengingat wajah Si Putih juga tatapan mata birunya, aku mendadak galau dan merindukannya. "Iya. Gimana, Nad, cakep 'kan keponakan Tante?" Tante Rossa mengulum senyum. Nadine mengangguk saja dan kembali melirik ke arahku, dia terlihat menahan tawa. Ya Tuhan, tampangku pastinya sangat kusut saat ini, keringatan dan dekil. "Tante ... Hamid mau pamit pulang, besok baru ke sini lagi, ya." Aku mendekat. "Hmm ... Ya deh, sekalian antarin Nadine pulang," jawab Tanteku. Nadine mengangguk setuju dan aku tak kuasa membantah, walau sebenarnya tak PD jalan dengannya dengan tampang awut-awutan seperti sekarang. "Ayo, Nad, Abang antarin pulang," ujarku kepadanya. Nadine mengangguk, lalu berpamitan dengan Tante Rossa. Setelah cepika-cepiki dan salim, dia melangkah ke arahku. "Tante, Hamid dan Nadine pulang dulu." Aku mendekat dan mencium punggung tangannya. "Iya, hati-hati!" Tante Rossa tersenyum bahagia. Aku mengangguk lalu melangkah menuju pintu dan kemudian membukanya, Nadine keluar duluan dan setelahnya baru aku. Taklama kemudian, kami sudah berjalan bersisian di koridor rumah sakit, menuju parkiran. "Bang, ditungguin loh chatnya kemarin, tapi nggak nongol-nongol juga." Nadine memecah keheningan. "Hmm ... Maaf ... Abang lupa." Aku menggaruk kepala. "Sibuk banget, ya?" tanyanya saat kami sudah tiba di parkiran. "Nggak sih, Abang ini pelupa, maklum dah tua." Aku tertawa hambar. "Iya, tahu ... Abang emang dah tua ... Tapi ... Masih belum mau juga ngelamar anak orang .... " Nadine tertawa sambil masuk ke dalam mobil. "Hahaa ... Anak orang mana juga yang mau dilamar?" Aku kembali tertawa. "Tahu deh." Dia mengangkat bahu. Aku hanya melirik sekilas ke arah wanita berjilbab pink itu, dia begitu sempurna sebagai wanita di mataku. Cantik, baik juga sholeha, aku ingin memilikinya. Nadine tak berbicara lagi, pandangannya tertuju ke arah luar. Sedangkan aku, terus menatapnya dari samping dengan debaran jantung yang menderu-deru. Baiklah, aku kuberanikan diri menyatakan perasaan kepadanya. Ah, bukan waktunya lagi cinta-cintaa, sebaiknya langsung kulamar saja. Dia juga sudah memancing untukku lebih berani lagi dalam bertindak. Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD