Bab 6 : Mimpi Terasa Nyata

1503 Words
Si Putih Bab 6 : Mimpi Terasa Nyata "Terima kasih, ya, Bang, sudah diantarin pulang. Mau mampir, gak?" ujar Nadine saat mobilku telah tiba di depan rumahnya. "Nggak dulu, lain kali saja, Abang belum mandi ini." Aku tersenyum tipis. "Ya udah kalo gitu. Tinggal seminggu lagi saja Nadine di sini, Bang, minggu depan udah balik ke tempat tugas. Kalo mau main ke rumah ... Atau mau ngajakin jalan, sebelum tanggal 10 juli, ya, Bang. Lewat dari tanggal itu, berarti harus nyusul ke pelosok." Nadine menahan tawa sambil mendorong pintu mobil. "Nanti malam Abang chat," jawabku agak kikuk. "Assalammualaikum, Bang." Nadine melambaikan tangannya. "Waalaikumsalam." Aku melempar senyum sambil membalas lambaian tangannya, kemudian berlalu dari hadapannya. Sambil tersenyum-senyum sendiri, kupacu mobil menuju pulang. Ah, Nadine, kalau Allah memang menghendaki kita berjodoh maka semuanya akan lancar. Aku memegangi d**a yang terasa masih berdebar-debar saja. *** [Assalammualaikum. Lagi apa?] Setelah makan malam dan rebahan di atas sofa ruang tengah, kusempatkan untuk mengirim chat kepada Nadine. [Waalaikumsalam. Akhirnya chat juga, ditungguin juga chatnya dari dulu. Hehee ....] [Kenapa nggak chat duluan?] Aku menahan tawa, kalau chat gini aku berani tapi kalau sudah ketemu langsung, grogi aja bawaannya. [Abang kenapa nggak pernah chat pas Nadine pamit tugas dulu?] Ah, dia mulai mempertanyakannya, padahal aku patah hati dan kecewa pada diri sendiri sebab tak berani mengungkapkan isi hati di pertemuan terakhir kami waktu itu. [Kenapa nggak dibalas, Bang?] Duh, Nadine chat lagi, sepertinya dia masih penasaran akan sikap pengecutku ini. Baru saja aku hendak membalas chat Nadine, dari arah dapur terlihat Si Putih sedang melenggang. Heran juga, masuk dari mana dia, padahal pintu dapur tertutup rapat. "Ckckckckkk ... Putih, sini!" Kujentikkan jari ke arahnya. Kucing putih itu langsung menoleh ke arahku dan melangkah mendekat. Entah hanya perasaanku saja atau apa, aku melihat Si Putih tersenyum dan menatapku dengan cinta. Baru saja aku mengkhawatirkan dia saat teringat cerita Tante Rossa yang menabrak Kucing putih, eh ... Dia sudah mendekat kepadaku. Semoga saja bukan Si Putihku yang tertabrak itu. Aku tak ingin hewan kesayanganku ini sampai kenapa-kenapa. "Sayang, tadi pagi kok sombong sekali? Dipanggil, malah cuek saja," ujarku sambil meraih kucing berbulu putih itu ke dalam pelukan. "Meoongg .... " Dia menelusupkan kepalanya ke daguku. Kuciumi wajah putihnya, rasanya senang sekali bisa memeluknya seerat ini, serasa sedang memeluk kekasih hati. Ah ... Aku mulai gila lagi. "Seharian ngapain aja, Sayang? Kangen Abang, gak?" tanyaku kepadanya, dan seolah dia mengerti saja. Aduuh ... Aku mulai ketularan penyakitnya Nek Sola ini. "Meoonngg ... Meongg .... " Si Putih menatapku dengan bola mata birunya lalu menelusupkan kepalanya ke dadaku. "Udah ngantuk belum, Sayang? Ayo bobo!" Kugendong Si Putih bangkit dari sofa lalu membawanya menuju kamar. Ketika sudah sampai kamar, kuturunkan Si Putih ke atas kasur dan dia langsung mencari posisi seperti biasa yaitu di bantal kosong di sebelahku. Kuletakkan ponsel ke atas nakas, lalu mulai merebahkan diri dan Si Putih langsung menelusupkan kepalanya di d**a ini. Aku tertidur sambil memeluknya. *** "Abang .... " Terdengar suara manja di dekat telingaku. "Abang .... " Panggilan itu terdengar lagi disertai hembusan napas yang tercium wangi. Aku membuka mata dan mendapati seorang wanita di dalam pelukanku sekarang. Eh, siapa dia? Bagaimana mungkin? Wanita itu tersenyum dan wajahnya terasa tak asing, aku merasa sangat dekat dengannya. "Abang .... " panggilnya lagi. Aku menelan slavina, menatap wanita cantik sedekat ini membuat hasrat sulit untuk tertahan. Apalagi dia berada dalam pelukan, detak jantung mulai berpacu cepat. "Abang .... " Dia kembali memanggilku, bibir merahnya membuatku semakin tak tahan. "Hmmm .... " Kepala ini terasa tak dapat berpikir dengan jernih lagi, langsung saja kurengkuh bibir mungil itu dan mencicipinya. Hmm ... Aku semakin lupa diri, padahal ini yang pertama kalinya mencium seorang wanita dan ternyata rasanya begitu nikmat. Napas semakin memburu, apalagi dia juga menikmatinya. Lagi dan lagi, aku semakin ketagihan. 'Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama kuasik sendiri .... ' Suara deringan ponsel membuat aktifitas panas ini terhenti, dan aku langsung membuka mata perlahan. Eh, aku mendapati Si Putih di dalam pelukan dan wajahnya sangat dekat denganku. Jadi ... Yang kucumbu tadi adalah .... Ya Tuhan, aku segera melepaskan pelukan Si Putih lalu segera bangun. Kuusap wajah juga bibir ini, basahnya masih terasa. Si Putih langsung turun dari tempat tidur lalu melangkah pergi. Sedangkan aku, masih termenung dengan bingung akan kejadian tadi. Agghh ... Aku merasa kejadian tadi terasa nyata, tapi bagaimana mungkin pas membuka mata, malah Si Putih yang kulihat? Aku mengacak rambut dengan kesal, rasanya tak terima kalau yang kucium tadi adalah seekor kucing. Aku pria normal penyuka wanita dan tentunya sesama manusia sepertiku, bukannya hewan. Rasanya tak habis pikir dengan kejadian tadi, kepala jadi sakit karena memikirkannya. Kuhela napas kesal dan baru teringat akan ponsel yang berdering tadi, segera kuraih benda pipih itu untuk melihat siapa yang menelepon tadi. Aku mengerutkan dahi, ternyata ada pengumuman rapat di grup kantor. Aku segera melirik jam di dinding yang sudah menunjuk ke arah 08.05. Ya Tuhan, lagi-lagi aku kesiangan bangun dan tak sholat subuh. Eh, rapatnya pukul 09.00, aku harus cepat bersiap. Bergegas aku turun dari tempat tidur, lalu meraih handuk kemudian berlari ke kamar mandi *** Aku menghela napas berat usai menghadiri rapat dengan para staf kantor yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas, rasanya lelah sekali karena tadi berangkat dengan buru-buru dan tak sempat sarapan pula. Jam di pergelangan tangan sudah menunjuk ke arah 11.25, pantas saja aku sudah keroncongan begini. Kuraih ponsel juga dompet, sebaiknya makan siang dulu di kantin kantor. "Kantin, yuk, Bro." Reza, staf kantor sekaligus teman, menghampiriku. Aku mengangguk lalu melangkah bersampingan dengannya. Di kantor ini dia bawahanku, tapi dulu waktu kuliah kami satu kelas. Jadi, kami tetap berteman baik seperti biasanya. "Kenapa itu mukanya kusut aja dari pas masuk ruang rapat?" ujar Reza saat kami telah tiba di kantin. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Kerutan di dahi itu kayak suami nggak dapat jatah aja, padahal masih bujangan juga ... Hahaaa .... " Reza tergelak. Aku melengos dan menjawab, "Ngawur aja, cuma agak pusing, Bro." "Iya, aku tahu kamu lagi pusing dan aku juga sama. Tapi, aku pusingnya ... Karena istriku dah 2 hari ini nginap tempat mertua sakit, jadi udah 2 malam nggak dapat jatah ... Hahaa .... " Dia kembali tertawa. "Hmm ... Aku cuma pusing kepala biasa, karena kesiangan bangun." Aku mengusap wajah, sepertinya 'pusing' ini kurang lebih sama dengan Reza, sama-sama karena harus menahan hasrat. Ah, aku kembali teringat kejadian mimpi seperti nyata itu, mungkin kalau tak dikagetkan bunyi ponsel, aku sudah berlaku lebih jauh lagi dengan wanita cantik dalam mimpiku itu. "Bro, bengong aja, itu nasi rames pesanan kita udah datang." Reza menepuk bahuku. "Oh, iya." Aku segera tersadar dari lamunan, lalu menarik piring makanan milikku. Aku hanya diam saja, walau Reza terus mengoceh tanpa henti. Entah saja yang ia obrolkan ini, aku hanya menjawab iya, oh lalu tersenyum. Aku berusaha menikmati makanan yang terasa hambar, padahal sedang lapar tapi tak ada selera. Jadi, kupaksakan diri untuk tetap menghabiskan nasi rames kesukaanku itu. "Gimana, Mid, oke gak kalau malam ini kita karokean?" Reza melirikku sambil menyeruput habis es teh miliknya. "Hmm .... " Aku menepikan piring dan menarik gelas minuman. "Malam ini 'kan kita ada lembur itu, pulangnya langsung karokean atau juga ... Ke Salon Pijat, biar kendor nih otot-otot tegang." Reza kembali berkata tapi dengan nada pelan. Aku mengeryitkan dahi lalu meraih ponsel dari saku celana karena benda pipih ini bergetar. "Gimana, Mid, oke gak? Kita ini sesama pria kesepian, jadi harus pandai mencari hiburan biar hidup nggak suram-suram amat," ujar Reza lagi dengan mengacungkan kedua jempol, alisnya terlihat naik turun. Tak kuhiraukan ocehannya, aku malah fokus dengan aplikasi hijau yang ternyata ada chat dari Nadine yang kuabaikan tadi malam. Entah kenapa juga, jika sudah bertemu Si Putih, aku akan melupakan segalanya, termasuk chat dengan wanita yang sudah memberikan sinyal-sinyal asmara ini. Aku harus mengirimkan chat permintaan maaf, atau juga membuat janji untuk bertemu. [Assalammualaikum, Nad. Maaf, ya, tadi malam Abang ketiduran, makanya nggak balas chat kamu. Jangan marah! Btw lagi apa sekarang? Udah makan belum?] Segera kukirimkan chat itu kepadanya. Dua menit kemudian, dia langsung membalasnya. [Waalaikumsalam. Iya, Bang, nggak apa-apa. Belum makan, Bang, nunggu ada yang ngajakin maksi bareng tapi nggak ada juga. Heheee .... ] Aku tersenyum. Dasar, Nadine, mancing terus dia. Okelah, akan kumakan umpannya, kucing mana yang mau nolak jika ada ikan cantik di hadapannya. Eh, kok malah kucing? Bicara masalah kucing, aku jadi kangen Si Putih. [Bang, hilang lagi deh ?] Eh, mulai deh aku, dikit-dikit ingat Si Putih dan mengabaikan Nadine. [Iya, maaf ... Abang belum bisa ngajakin makan siang bareng hari ini. Kalau besok aja gimana, mau?] [Mau dong, Bang. Hehee .... ] [Oke deh kalau gitu, besok siang Abang jemput.] [Iya, Bang, jadi nggak sabar.] [Hahaa ... Kamu lucu, Nad. Ada-ada saja.] [Hmm ... Cuma lucu aja? Nggak pengen dimiliki gitu? Hehee .... ] [Pengenlah kalau kamunya mau.] [Nggaklah, nggak nolak. Wkwkwkkw] Hahaa ... Nadine, Nadine, sinyalnya makin kenceng aja. Hmm ... Besok deh aku beranikan ngomongin masalah hati ini. Harus beli hadiah dulu sepertinya, biar romantis. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD