Bab 7 : Salon Pijat

1286 Words
Si Putih Bab 7 : Salon Pijat "Bro, ayo pulang! Sambung besok lagi lemburnya!" Reza masuk ke dalam ruangan kerjaku. "Hmm ... Iya," jawabku sambil menutup laptop lalu mengemasi berkas yang sudah diprint tadi. "Buruan, Bro, ayo pergi!" desak Reza sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Emang mau ke mana? Duluan saja, arah rumah kita berbeda," jawabku sambil meraih tas kerja dan bersiap pulang. "Ya elah, kamu lupa? Bukannya kita janjian mau ke Salon pijat? Manjain diri, Bro, jangan kerja terus! Otak juga perlu direfresh," ujar Reza sambil menepuk pundakku. Aku mengerutkan dahi, salon pijat, sepertinya boleh juga kalau otot yang tegang ini dipijat. Aku mengangguk, Reza pun langsung tersenyum senang. Dengan cepat dia menarik tanganku untuk segera keluar dari kantor. Sesampainya di parkiran, Reza mengajak tetap pakai kendaraan masing-masing biar enak pulangnya walau sudah kutawarkan untuk naik mobilku saja. Beberapa saat kemudian, Reza sudah melaju duluan dengan motor ninjanya, sedangkan aku mengikuti dari belakang. "Ini, Bro, tempatnya?" tanyaku saat Reza sudah berhenti di sebuah Salon yang lampunya terlihat remang-remang. "Iyap, ayo turun?" Reza membantu membuka pintu mobil. Aku pun turun dan menatap aneh Salon yang terlihat seperti kafe remang-remang itu. Eh, tempat ini juga terlihat seperti losmen. Aduh ... Apalah, aku yang katrok ini memang kurang paham. Reza langsung menarik tanganku masuk, dua penjaga di depan pintu masuk tersenyum ramah. Temanku itu langsung mendatangi meja resepsionis, lalu membawa dua kupon dan memberikannya kepadaku. "Apa ini?" tanyaku. "Kupon undian, sehabis pijit ... Akan ada undian berhadiah," jawabnya sambil menahan tawa. Aku melengos, Reza terlihat mencurigakan. Ada apa ini? "Ini bilik kita, Mid, ayo masuk deh! Aku di sebelah, ya. Selamat rileks." Dia kembali menyunggingkan senyum. "Selamat datang, Mas, mari silakan masuk!" Dua wanita berpakaian serba kekurangan bahan ini menyambutku. Reza juga disambut dua wanita lainnya dan langsung menyibak tirai di tengah-tengah ruangan. Mereka tak terlihat lagi sekarang. Ternyata ruangan pijat ini hanya dipisahkan oleh tirai saja, aku mengedarkan pandangan ke dalam sana. "Eh!" Aku sedikit terkejut karena dua wanita itu langsung menggandeng tanganku masuk. "Silakan, Mas, ganti pakaiannya dulu. Kami akan menyiapkan peralatan pijatnya," ujar sang wanita dengan tubuh langsing menggoda. Aku mengangguk dan menerima kimono berwarna putih darinya, lalu masuk ke dalam ruangan kecil untuk mengganti pakaianku. Dua menit kemudian, aku sudah keluar dan sudah berganti pakaian. "Ayo, silakan berbaring, Mas!" Wanita dengan tanktop putih menarik tanganku menuju tempat tidur. Aku menurut saja, lalu berbaring tengkurap hanya dengan mengenakan celana pendek saja. Kupejamkan mata untuk menikmati pijatan dari tangan-tangan lembut yang mulai menjamah tubuh ini. "Bro, udah mulai pijatan belum?" Terdengar suara Reza dari sebelah tirai. "Iya, ini baru mulai," jawabku. "Happen, ya! Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan, jangan ditahan-tahan lagi! Aku yang traktir, kamu tinggal main saja. Hehheehh .... " Reza terdengar terkekeh. "Hmmm .... " Aku hanya menjawab dengan deheman, tak begitu menanggapi ocehannya. Lembut dan enak, itulah yang kurasakan saat ini. Aroma handbody yang mereka bubuhkan di tubuhku ini juga sangat wangi, membuat mata semakin terbuai untuk terlelap. Aku mengerutkan dahi saat mendengar berbagai suara dari sebelah, di mana Reza berada. Tak hanya suara dua wanita yang bersamanya, tapi juga suaranya. Desahan sahut menyahut membuat otakku traveling saja, sedang apa Reza dengan dua wanita itu. Aku mengubah posisi jadi telentang dan langsung terbelalak saat mendapati dua wanita yang memijatku itu ternyata tanpa busana. Aku menelan slavina, lalu terduduk. Dua wanita itu terus memijat, akan tetapi areanya mulai naik ke bagian berbahaya "Mbak, apa-apaan ini? Kok tanpa busana?" tanyaku dengan gelagapan dan memalingkan pandangan. "Memang seperti ini, Mas, sehabis dipijat ... Mas juga bisa mendapatkan servis lainnya." Sang wanita semakin mendekat sambil mengusap dadaku. "Hmm ... Salon pijat ini tidak beres berarti, saya ke sini cuma mau pijat, bukannya mau hal lainnya." Kudorong dua wanita itu saat hendak duduk di pangkuan. Aku segera turun dari tempat tidur dan mencari pakaianku. "Mas, ayolah!" Wanita yang berkulit kuning langsat mengejarku. "Maaf, saya pria baik-baik," ujarku sambil memasang pakaian dengan tergesa-gesa. Sebelum keluar dari bilik itu, kusempatkan untuk menyibak tirai di mana Reza berada. Astaga, ternyata temanku itu sedang bertarung dengan dua wanita dengan modus memijat itu. Ternyata ini maksud dari arah pembicaraan Reza tadi. Dia melihat ke arahku, tapi tak sempat memanggil karena aku sudah keburu menutup kembali tirai pembatas. "Mas, yakin nggak mau plus-plusnya?" Wanita yang berambut pirang mengejarku sampai pintu. "Maaf, tidak. Terima kasih pijatannya." Aku segera meninggalkan dua wanita itu. Baru saja aku berjalan dua langkah meninggalkan bilik pijat, aku mendengar suara teriakan dari arah bilik tadi. Tak kuhiraukan suara teriakan itu, langsung saja aku berlari menuju pintu keluar. Hah, ternyata ini tempat m***m tapi berkedok salon pijat. Ada-ada saja, untung aku masih ingat dosa. *** Keesokan harinya. Pagi ini kulihat Reza datang ke kantor dengan wajah yang luka-luka. Seganas itukah permainan wanita salon pijat itu? "Kamu kenapa, Za?" tanyaku penasaran. "Setelah kamu pergi, kami diserang kucing gila. Ini aku habis dicakar, awalnya aku cuma mau nolongan dua wanita yang kamu tinggal itu, mereka yang dihajar. Eh, akhirnya aku kena juga." Reza bercerita dengan nada jengkel. "Hah ... Kucing!" Aku menautkan alis, seketika itu pula aku langsung teringat Si Putih. Ah, jika ada yang menyebut kucing, maka aku akan teringat kepadanya. "Iya, kucingnya cuma seekor ... Tapi dia berhasil menghajar kami berlima. Aku, dua wanitaku dan dua wanitamu. Benar-benar sial!" umpat Reza. "Terus ... Kucingnya gimana?" tanyaku sambil menggaruk dahi. "Ciri-cirinya seperti apa? "Kucing putih, sejenis anggora. Udah diringkus sama dua penjaga, mungkin udah dibunuh. Ya udah, aku mau ke ruangan dulu." Reza berlalu menuju ruangan para staf. Aku segera masuk ke dalam ruanganku, perasaan jadi tak tenang setelah mendengar cerita Reza tentang Kucing putih yang telah menghajarnya itu. Apa kucing itu Si Putih? Aku menghela napas panjang saat mengingat tadi malam. Memang sih, pas aku sampai di rumah, Si Putih tak datang tadi malam. Mungkinkah? Ah, tidak mungkin. Aku tak mau Si Putih kesayanganku itu sampai kenapa-kenapa. Dari pagi sampai siang, aku benar-benar tak bisa berkonsentrasi bekerja. Pikiran ini terus saja mengkhawirkan Si Putih. Aku harus memastikan dia baik-baik saja. Ketika jam istirahat kantor, kuputuskan untuk menjenguk Si Putih ke rumah Nek Sola. Aku harus memastikan dia baik-baik saja, baru hati ini bisa tenang. Sesampainya di mobil, ponsel di saku celana terasa bergetar. Aku langsung meraihnya untuk melihat siapa yang mengirimkan chat. [Bang, jadi gak ngajakin makan siang barengnya?] Ah, ini dari Nadine dan aku telah melupakan janji makan siang dengannya. Aduh ... bagaimana ini? Ke rumah Si Putih atau ke rumah Nadine dulu, jadi dilema. Saat teringat cerita Reza tentang Kucing Putih yang terbunuh di Salon Pijat, aku jadi ingin memastikan kebenaran ... Dia Si Putih atau bukan. Langsung saja kupacu mobil menuju arah pulang, karena rumah Nek Sola berada tak begitu jauh dari rumahku. 20 menit kemudian, aku telah tiba di depan rumah tua milik Nek Sola. Aku sedikit ragu untuk turun, tapi rasa penasaran akan keadaan Si Putih membuat hati gelisah tak menentu. Bergegas aku turun dari mobil dan bersamaan dengan itu, Nek Sola terlihat datang dari arah kanan. Ia melangkah terseok-seok sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Putih ... Kamu ke mana, Nak?" "Putih, cepat pulang!" Aku menatap Nek Sola yang kini sudah berdiri di hadapan. "Jang, kamu ada di sini? Apa kamu tahu Si Putih ada di mana?" tanya wanita tua itu dengan raut cemas. Aku menggeleng, lalu menjawab, "Emangnya ... Si Putih hilang, Nek? Sejak kapan?" "Sejak dari tadi malam sih, cuma ... Nenek kira dia nginap di rumahmu. Eh ... Sampai udah siang begini ... Dia nggak pulang-pulang juga. Nenek 'kan jadi bimbang," jawab Nek Sola dengan nada sedih campur bingung. Aku tertegun, pikiran ini mulai tertuju kepada cerita Reza. Benarkah Si Putihku telah terbunuh? d**a terasa sesak memikirkannya. Sungguh aku takkan sanggup kehilangan hewan kesayanganku itu, mesti dia bukan milikku. Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD