Bab 8 : Dilema

1559 Words
Si Putih Bab 8 : Dilema Nek Sola berlalu masuk ke perkarangan rumah tua miliknya, ia terlihat sangat sedih atas hilangnya Si Putih, aku pun juga demikian sebenarnya. Aku begitu mengkhawatirkan kucing yang hampir setiap malam menemani tidur. Setelah tertegun beberapa saat, aku segera masuk ke dalam mobil dan berpikir keras atas apa yang harus kulakukan setelah ini. Ponsel di saku celana malah tak hentinya bergetar, segera kuraih dan ternyata ini telepon dari Nadine. Ah, aku melupakan membalas chatnya. Pikiran ini bercabang jadinya, antara menemui Nadine atau mencari Si Putih. "Assalammualaikum, Bang." Suara Nadine terdengar dari seberang sana saat panggilan telepon tersambung. "Waalaikumsalam," jawabku tak bersemangat, walau suara dari seberang sana terdengar sangat lembut di telinga. "Lagi di mana, Bang? Jadi gak mau ngajakin makan siang barengnya? Kok chat nggak dibalas? Kalau emang sibuk, ya udah ... Dicancel juga nggak apa-apa," ujar Nadine dengan nada kecewa. "Eh, nggak sibuk kok, ini udah di jalan," jawabku karena tak ingin membuat wanita bermata teduh itu kecewa, bayangan wajahnya langsung terlintas di kepala ini. "Oh, ya? Ya udah, hati-hati di jalan, Bang. Nadine tungguin," jawabnya dengan nada senang. "Hmm ... Tungguin, ya." Aku tersenyum, lalu mengakhiri panggilan telepon. Akhirnya kuputuskan untuk memenuhi janjiku kepada Nadine dulu, sebab aku melamarnya hari ini. Untuk sementara, mencari Si Putih kupending dulu. Kupacu mobil menuju kediaman Nadine, bayangan senyumnya mulai memenuhi kepala. Andai dia menerima lamaranku, akan segera kupersunting dia. Aku sudah capek hidup sendirian, aku ingin teman hidup. Tiba-tiba, terlihat seekor hewan melompat ke arah mobilku dan dengan cepat, segera kiinjak gas. Aku menarik napas panjang dan langsung membuka pintu mobil. Kira-kita apa yang kutabrak itu? Tak ada apa-apa di depan mobil, lalu apa tadi? Aku berjongkok, untuk melihat bagian bawah mobil. Astaga, ada Si Putih di bawah mobilku dan dia berdarah. Aku segera meraihnya walau harus merangkak masuk ke bawah mobil. "Putih ... Sayang ... Kamu kenapa?" tanyaku dengan suara yang tercekat, sedikit panik karena bulu putihnya terlihat berdarah. "Meoongg .... " Dia menatapku. Hati ini terasa nyeri melihatnya terluka seperti ini, tapi aku terasa sedikit lega karena ia tidak mati seperti cerita Reza. Pastinya bukan Si Putihku yang menyerang teman juga 4 wanita Salon Pijat itu. Ah, aku harus segera membawa Si Putih ke Klinik Hewan, dia harus segera diobati. Aku segera masuk kembali ke dalam mobil dan meletakkannya di kursi di sampingku. Hati ini begitu cemas melihatnya, segera kupacu mobil untuk sampai di tempat pengobatan. 30 menit kemudian, aku telah tiba di Klinik Dokter hewan dan Si Putihku sedang mendapatkan penanganan. Dengan tak sabar, aku menunggu sang dokter yang sedang mengobatinya. "Bagaimana keadaan Si Putih, Dok?" Aku segera menghampiri Dokter wanita yang menangani Si Putih saat ia sudah keluar dari ruangan pengobatan. "Dia sudah saya obati, ayo masuk, Pak!" Dokter hewan yang bernama Dokter Anne itu tersenyum dan mempersilakanku masuk ke dalam ruangan perawatan Si Putih. Aku mengekor di belakang Dokter Anne, dan langsung melangkah cepat mendekat ke arah Si Putih. Hewan kesayanganku itu terlihat dililit perban bagian kepala, tangan juga kakinya. "Meoongg .... " Si Putih menatapku dengan bola mata birunya. "Sayang ... Kamu akan sembuh, aku akan segera membawamu pulang." Kuusap kepalanya. Si Putih menggosokkan kepalanya ke telapak tanganku, aku lega melihatnya sudah diobati begini. Untung saja aku cepat menghentikan mobil tadi, tapi kurasa aku tak menabraknya. Entah apa penyebabnya bisa terluka begini? Ah, yang penting dia sudah diobati. "Si Putih sudah tidak kenapa-kenapa, Pak, dia akan segera pulih." Dokter Anne mengusap bulu Si Putih. "Terima kasih, Dokter." "Iya, Pak, semoga Si Putih segera sehat. Dia kucing yang kuat juga cantik." Setelah berbasa-basi dan membayar biaya pengobatan Si Putih, segera kubawa dia pulang. Akan kuantar dia ke rumah Nek Sola. Kasihan wanita tua itu, dia sangat mengkhawatirkan peliharaannya ini. "Assalammualaikum," ucapku saat tiba di depan tangga rumah Nek Sola, sambil menggendong Si Putih. "Waalaikumsalam." Nek Sola terlihat berdiri di dekat pintu. Aku segera menaiki anak tangga untuk bisa sampai ke teras rumahnya yang berbentuk rumah panggung tua. "Anakku .... " Nek Sola langsung memindahkan Si Putih ke dalam gendongannya. "Anakku kenapa ini, Jang? Kamu ketemu dia di mana?' "Hmm ... Si Putih terluka, Nek, tapi sudah diobati." Aku menggaruk dahi, sedikit ragu untuk mengakui kalau di terluka karena tertabrak mobilku. "Jadi begitu ... Putih, ceritakan kepada Ibu ... Apa yang kamu lakukan sampai terluka begini? Ibu sudah sering menasihatimu ... Untuk tidak membuat ulah ... Tapi kamu ini bandel." Nek Sola meninggalkanku begitu saja, ia melangkah masuk ke dalam rumah yang terlihat gelap dari arahku berdiri, ia terus saja mengomeli Si Putih, layaknya seorang Ibu yang sedang mengomeli putrinya. Aku segera membalikkan badan lalu menuruni anak tangga untuk turun ke bawah sana. Hati ini sudah lega karena Si Putih sudah kembali ke rumah Nek Sola, dia akan segera membaik. Kulirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjuk ke arah 15.30, tak terasa ternyata sudah sore. Aku harus segera kembali ke kantor untuk absen pulang yang diharuskan pukul 16.00. *** Aku merebahkan diri sejenak setelah melaksanakan sholat magrib. Rasanya lelah sekali, mana perut juga lapar. Kuraih ponsel untuk memesan GoFood. Astaga, lagi-lagi aku melupakan janji dengan Nadine. Kutepuk jidat sembari menghela napas berat. Bagaimana ini? Dia pasti marah, apa kubalas chat dengan permintaan maat atau kutelepon, ya? Aku segera duduk dan berinisiatif meneleponnya, lalu meminta maaf. "Assalammualaikum, Nadine," ujarku saat telepon telah terhubung dengannya. "Waalaikumsalam," jawabnya lirih. "Nadine ... Maafkan Bang Hamid .... " ujarku dengan suara berat, aku tahu aku salah karena telah mengingkari janji dengannya. "Iya." Nadine menjawab pelan. "Jangan marah, Abang memang salah karena telah ingkar janji. Kita ganti besok saja, ya, janjian makan siang barengnya." Aku berusaha membujuk, karena aku tahu ia marah karena nadanya pelan dan tak bersemangat seperti biasanya. "Nggak usah deh, Bang, Nadine nggak mau mengganggu kesibukan Abang," jawabnya pelan. "Nadine ... Bukannya gitu ... Tadi siang ... Abang udah dalam tujuan ke rumahmu ... Tapi ... Di tengah jalan ... Malah ada insiden kecil ... Maaf .... " Aku jadi tak enak hati karena telah membuat calon bidadari surgaku itu kecewa. "Iya, Bang, nggak apa kok," jawabnya. Aku menggaruk dahi, nada bicara Nadine jelas sekali dia kecewa denganku. Aduh ... Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku ke rumahnya? Lebih baik begitu, mungkin. Aku segera bangkit dari tempat tidur lalu melangkah cepat menuju lemari untuk mengambil jaket kemudian memakainya dengan tergesa-gesa. Segera kuraih kunci mobil, dompet juga ponsel. Bergegas aku keluar dari kamar lalu melangkah cepat menuju garasi *** 20 menit kemudian, mobilku telah tiba di depan rumah orangtua Nadine. Aku segera turun, walau debaran jantung mulai terdengar kencang. "Ayolah, Hamid, buang jauh-jauh sifat pengecutmu! Ini sudah saatnya kamu perjuangkan wanita yang kamu cinta!" Aku membatin, mensugesti diri agar nyali tak menciut karena grogi. "Assalammualaikum." Kuketuk pintu rumahnya, sambil mencari bel, barangkali bisa dipencet jika ketukanku ini tak terdengar penghuni rumah. Taklama kemudian, pintu langsung terbuka dan tampaklah Mamanya Nadine, menyambutku dengan senyumnya. "Assalammualaikum, Tante," ujarku sambil meraih tangan wanita yang wajahnya mirip Nadine itu. "Waalaikumsalam, Nak Hamid," jawabnya sambil tersenyum. "Tante apakabar?" tanyaku basa-basi sebab dulu sudah pernah ketemu, sebelum Nadine tugas ke Desa Perbatasan. "Alhamdulillah, baik. Mau ketemu Nadine?" tanyanya. Aku menggaruk dahi sambil menganggukkan kepala. "Ayo, silakan masuk, Nak! Tante panggil Nadine di kamarnya dulu," ujar wanita bergamis biru muda itu. "Hmm ... Saya duduk di sini saja, Tante." Aku menunjuk kursi teras. "Ya udah, Tante masuk dulu untuk manggil Nadine, ya. Dia nggak keluar-keluar kamar sejak dari tadi sore." Mamanya Nadine beranjak masuk. Aku menghela napas berat, Nadine pasti mengurung diri di kamar gara-gara tadi siang aku ingkar janji. Entah sampai pukul berapa dia menungguku tadi? "Bang!" Nadine tiba-tiba sudah berdiri di dekat. "Hay .... " Aku tersenyum kepadanya. Nadine duduk di kursi di sebelahku, raut wajahnya terlihat datar saja dan tak ceria seperti biasanya. "Lagi apa? Abang ganggu, gak?" tanyaku basa-basi. Nadine menggeleng. "Udah makan malam belum? Mau gak jalan-jalan keluar sama Abang?" Aku memberanikan diri. "Belum sih, cuma lagi malas ke mana-mana, Bang. Maaf, ya." Dia menjawab sambil meremas jemarinya. Aku menghembuskan napas bingunh, tak salah lagi, wanita di sampingku ini memang sedang marah denganku. "Marah, ya, sama Abang? Maaf, ya, Nad." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, jadi serba salah jadinya. Nadine menggeleng. Aku menatapnya nelangsa, bingung cara membujuk wanita yang sedang ngambek. "Nggak punya hak juga mau marah. Nadine yang seharusnya minta maaf ... Karena terlalu berharap lebih." Nadine menundukkan kepalanya. Aku meliriknya sekilas lalu mengusap wajah bingung. Sumpah, aku bingung campur grogi kalau sedang menghadapi wanita marah begini. Mau membujuk dengan rayuan, aku tak bisa. Wajar aku tak laku sampai setua ini, sebab tak ada kadar romantis dalam diri. "Nad, Abang juga banyak harapan denganmu .... " Kata-kata ini meluncur begitu saja. Nadine menoleh ke arahku. "Abang ... Pengen memulai hubungan serius denganmu ... Abang ... Menyukai kamu ... Sudah sejak lama .... " Kuusap dahi yang berkeringat dan kata-kata ini meluncur tanpa komando, kualihkan pandangan darinya sebab kini aku sedang grogi tingkat tinggi. "Lalu?" Terdengar pertanyaan dari Nadine, namun aku tak berani untuk menoleh ke arahnya. "Abang ... Ingin ... Melamarmu ... Jadi ... Istri ... Kamu ... Mau, gak?" Hening, aku menahan napas sambil menunggu jawaban darinya. Ini hari paling bersejarah dalam hidup jika Nadine menerima lamaranku. Akan tetapi, bayangan mata biru mulai melintas di kepalaku. Putih, bagaimana dengannya? Ah, dia hewan, mengap aku selalu dilema akan dirinya dan Nadine? Jelas-jelas dia hewan, tapi ada perasaan aneh di dalam hati ini untuknya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD