02

1753 Words
“Kamu nggak ada jadwal Ar?” tanya seorang wanita paruh baya kepada putra keduanya yang baru saja turun setelah selesai mandi. Melihat pakaiannya yang santai dengan atasan kaos putih dan celana pendek selutut, jelas membuat Mamanya mempertanyakan hal itu. Pria itu tersenyum setelah meneguk minumnya “Mama pasti mau nyuruh aku nyamperin gadis itu kalau nggak ada jadwal” tebak pria itu dengan gelengan kepala. Seberapa banyak pun ia menolak titah Mamanya itu, wanita paruh baya itu tak akan menyerah juga. “Kamu selalu tahu, tapi nggak pernah mau nurutin Mama” dengkus Mamanya—Jessie Winata. “Nanti aku ada jadwal Ma” jelas pria itu lagi. “Kamu nih tiap disuruh nyamperin Rara, selalu aja ada alasan” desis Jessie kesal. Ia sering kali tak bisa mentolerir alasan-alasan putranya itu. Ia tahu kalau anaknya itu hanya ingin menghindar saja. Ya, pria itu adalah Arga Teo Matias, pria yang dijodohkan dengan Rachel Dirgantara. Seorang Dosen muda berusia 27 tahun dan sudah berhasil mengajar di bangku kuliah saat ia menyelesaikan S2-nya, tepat ketika umurnya menginjak 25 tahun. Ia tidak tahu kalau kerja kerasnya akan berbuah semanis itu, karena ketika ia mencoba peruntungan untuk mendapatkan predikat PNS (Pegawai Negeri Sipil), ia berhasil dan menjadi salah satu orang yang beruntung dari sekian banyak manusia yang mencobanya. Arga sadar kalau selama ini kerja kerasnya tidak sia-sia dan keberuntungan juga sering mendukungnya, itu sebabnya ia selalu mengusahakan diri untuk beryukur kepada Tuhan. Untuk usia yang cukup matang itu, sayangnya Arga tak cukup beruntung dalam hal percintaan. Bukan karena ia ditolak, sakit hati atau pernah mengalami pengkhianatan, tapi ia masih belum merasakan jatuh cinta hingga saat ini. Ia bahkan sampai bertanya pada teman-temannya semasa kuliah, apakah ia ada kelainan seperti penyuka sesama jenis atau tak punya perasaan cinta dalam hatinya. Teman-temannya bergidik ngeri dan langsung memukul kepalanya saat itu juga karena takut kalau Arga benar-benar seorang gay, tapi nyatanya pemikiran itu tidak dapat dibuktikan saat teman-temannya menunjukkan video p***o dan Arga merasa harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hasratnya. Akhirnya saat itu Arga sadar kalau dirinya masih normal dan sejauh ini ia hanya belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi tambatan hatinya. Tapi, orang tuanya malah bertekad menjodohkannya dengan anak sahabat mereka karena tak ingin diusia Arga yang cukup matang, pria itu harus terus sendiri dan seperti tak tertarik pada wanita. Mau tak mau Arga setuju dan menerima saja pilihan orang tuanya, lagian ia juga kesulitan untuk mencari sendiri, jadi menurutnya tak ada salahnya juga kalau mencoba dengan pilihan orang tuanya. Arga sadar kalau kata ‘mencoba’ dalam konteks pernikahan itu terdengar sembrono, tapi ia sama sekali tak berniat mempermainkan pernikahan. Ia sadar kalau pernikahan tidak sama dengan pacaran. Butuh komitmen yang pasti mampu dipertanggungjawabkan olehnya dan ia sanggup dengan keputusannya itu. Ia memang tak begitu mengenal Rachel, tapi setelah orang tuanya memberitahukan perihal perjodohan itu dua bulan lalu, ia jadi sering memperhatikan Rachel yang ternyata cukup lemot dalam matakuliah yang diampunya. Dan sepertinya ia tidak masalah dengan perilaku dan fisik gadis ceria itu, selain dari pada kebawelannya yang paling sering Arga dengar setelah ia keluar dari kelas atau saat berpapasan di koridor jurusan Matematika. “Kamu lagi diomelin malah ngelamun” protes Jessie yang akhirnya menyadarkan Arga dari diamnya. “Mama selalu aja ngomelin hal yang sama. Aku udah cukup hafal” sahutnya membuat kekehan muncul dari sosok pria paruh baya yang sejak tadi hanya diam dan memperhatikan interaksi istri dan anaknya. Orang itu adalah San Matias, Papa Arga. “Papa juga udah cukup hafal Ma, nggak usah diulang lagi. Lagian Arga juga udah cukup dewasa” saran San. “Ya bukan gitu Pa, masalahnya dia ini kan belum punya pengalaman pacaran sama sekali, Mama cuma takut kalau dia nggak bisa memahami calon menantu kita” blas Jessie tak terima. “Yaudah sih, nanti juga mereka akan saling mengenal dan paham dengan sendirinya setelah menikah. Mama nggak perlu khawatir, laki-laki selalu punya insting sendiri soal hubungan sama wanita” Arga mengangguk setuju atas ucapan Papanya sambil mengangkat jempolnya. “Ah, terserah kalian aja lah, Mama pusing kalau kalian udah kompak gitu” pasrah Jessie kesal. “Udah, Mama banyakin makan aja biar ada tenaga buat ngomelin Arga. Lagian minggu depan juga kita udah berkunjung ke rumah Jacob sama Gaby kan” “Iya-iya, pokoknya disitu kamu harus gabung sama kita. Jangan bikin kami malu” peringat Jessie pada putranya dan Arga mengangguk dengan singkat tanpa mengucap sepatah kata pun. *** Rachel terus memandang arloji berwarna cokelat miliknya yang melingkar indah memberikan sentuhan manis pada tangannya. Ia sudah terlambat lima belas menit dari jam kelas di mulai. Belum lagi yang masuk kelasnya saat ini adalah Arga Teo Matias--calon suaminya. Ah, kenapa ia jadi mengakui pria itu sebagai calon suaminya, padahal Mamanya saja baru mengatakan rencana perjodohan itu dua hari yang lalu. Siapapun yang terlambat lebih dari sepuluh menit tidak akan mendapat ijin masuk oleh dosen dingin itu. Arga seakan ingin mempersulit semua yang berhubungan dengannya. Dimulai dari siapa yang terlambat tidak boleh masuk hingga berkaitan dengan sulitnya menemui dan mengajak bicara Arga tentang nilai. Arga bukan orang yang mudah untuk dibujuk atau menerima alasan segala alasan. Rachel sendiri tidak yakin jika dosennya itu menganggapnya sebagai calon istri dan sedikit memudahkannya mendapat nilai plus. Ia juga tak yakin kalau Arga tahu bahwa ia adalah calon istri pria itu. Mungkin saja kan Om San dan istrinya belum memberitahukan Arga mengenai perjodohan itu. Kalau Arga tahu, pasti akan ada yang berubah diantara mereka, seperti Arga mungkin akan lebih sering memperhatikannya atau menjadi lebih simpati padanya, atau setidaknya kemungkinan buruknya adalah pria itu menghampirinya dan mengatakan padanya untuk memaksa orang tua mereka membatalkan rencana perjodohan itu. Seharusnya begitu kan? Rachel sering membaca cerita yang terjadi adalah seperti itu. Ah, sepertinya ia terlalu berpikir jauh jika mengharapkan Arga akan memperhatikannya. Pria itu bahkan mungkin tak tahu kalau ada sosok Rachel di muka Bumi ini. Rachel yakin kalau Arga pasti belum mengetahui rencana perjodohan ini. Dan anggapan lainnya, ia sangat yakin status tak merubah sikap Arga terhadap siapapun. Belum lagi Arga juga belum tentu mau menikah dengannya. Ia bahkan tak akan menduga kalau Arga sudah mengetahui hal itu lebih dari dua bulan dan tetap bersikap biasa saja. Kesialan mendatangi Rachel bertubi tubi tanpa di duga. Tadi saat berangkat, mobilnya mogok di Jalan hingga mengharuskannya menaiki angkutan umum. Dan kini, selepas turun, ia malah terjatuh dekat gerbang Kampus sangking buru-burunya mengejar kelas Arga. Dengan tak acuh, Rachel tetap berlari menaiki tangga, menyusul deret kelasnya. Tidak mempedulikan rasa sakit dan nyeri di sikunya yang memar demi tidak membujuk Arga jika nilainya kurang memuaskan. Hingga perjuangannya mengarahkannya ke depan pintu di mana di dalamnya Arga sedang menjelaskan proyek ajarannya. Tok tok tok Rachel mengetuk pintu beberapa kali, namun tak kunjung di buka. Begitulah Arga. Ia akan bersikap tak acuh saat seseorang melanggar aturannya. Selama ini Rachel meringis kasihan melihat jika ada temannya yang mengetuk pintu dari luar namun tidak di perdulikan oleh Arga. Dan kini ia sendiri yang menjadi seorang pengetuk. Tok tok tok "Permisi pak" Rachel angkat bicara dengan intonasi agak kuat dari sebelumnya, agar Arga mendengarnya. Hampir sepuluh menit merasa tak diacuhkan, Rachel memilih menyerah dan duduk di depan kelas. Menyandarkan tubuhnya di dinding sambil memainkan ponselnya. Menempelkan earphone di telinganya untuk merenungkan nasibnya yang akan menemui Arga selepas pelajaran usai. Ia menyesal karena mengharapkan kebaikan hati Arga. Seharusnya saat ia sadar bahwa dirinya tak mampu mengejar jam matakuliah Arga, ia harusnya kembali ke rumah dan mengabiskan waktu utnuk berleha-leha. Jam kelas Arga usai setelah begitu lamanya Rachel merasa jenuh di depan kelas yang tak kunjung dibuka. Ia merasa seperti orang bodoh yang tidak punya pekerjaan lain lagi selain mengharapkan kebaikan Arga yang tak pernah ada. Kenapa juga ia mempercayai bahwa seseorang bisa berubah menjadi baik meskipun orang itu jahat, walau sebenarnya ia hanya meragukan hal itu ada pada Arga. Melihat Arga keluar, Rachel berdiri dan menyapa "Pak", sontak saja gadis itu mengikuti Arga yang akan berjalan menuju ruangannya. Arga dengan diamnya tetap melangkahkan kakinya lebar hingga mempersulit langkah kecil Rachel. Seakan tidak ada orang, bahkan pria itu menutup pintu ruangannya setelah ia masuk. Rachel menghentakan kakinya kesal, ingin sekali ia menangis jika saja tidak ingat usianya. Matanya sudah berkaca kaca, tapi gadis itu berusaha menahan supaya tidak jatuh membuat pipinya basah. Semua kesialan benar-benar menguji kesabarannya hari ini. Ia semakin takut jika yang menjadi suaminya adalah Arga--pilihan Mamanya. "Masuk" suara Arga dari dalam mengintrupsi Rachel tepat saat air mata gadis itu tak lagi bertahan di pelupuknya. Tanpa ingin membuat Arga menunggu lama, Rachel membuka pintu dan masuk sampai ia bisa melihat Arga sedang menyeduh teh. Ruangan yang menyimpan banyak meja untuk para dosen itu ternyata cukup sepi dan menyisakan keberadaan Arga sendirian. "Kenapa?" tanpa basa basi, kata yang Arga tanyakan adalah satu kata singkat yang memiliki banyak jawaban. "Saya tadi tidak masuk kelas Bapak" sebisa mungkin Rachel menahan laju air matanya lagi. Menatap wajah Arga yang tak menunjukkan simpati sama sekali, membuat keberaniannya surut. "Lalu?" "Saya nggak mau nilai saya jelek pak" adunya. Ia ingat jelas disemester tiga ada seorang temannya yang menyepelekan Arga dan tak masuk kelas Arga sebanyak tiga kali, saat nilai keluar, temannya itu mendapat nilai E dan harus mengulang matakuliah itu kembali. Ada peraturan yang tertulis dari Arga yang menyatakan poin-poin tentang nilai, yaitu : 1. Barang siapa yang absen satu kali, maka tak berhak mendapat kesempatan untuk menerima nilai A 2. Barang siapa yang absen dua kali, maka tak berhak mendapat kesempatan untuk menerima nilai B. Dengan keringanan, Dosen akan mempertimbangkan alasan yang diberikan dan keterangan jelas yang mendasari alasan tersebut, dengan artian lain, setiap alasan harus memiliki bukti. "Kalau tidak mau nilai kamu buruk di pelajaran saya, seharusnya masuk" terlihat santai ketika Arga berucap seperti itu sambil meneguk sedikit demi sedikit tehnya. Namun nyatanya jawaban seperti itu malah melemahkan Rachel. Ia tidak mungkin bisa memberikan alasan yang dapat dimaklumi Arga, sedangkan tadi ia terlambat karena telat bangun. "Pak, tadi saya terlambat" alasan macam apa itu? Setidaknya, ia sudah mencoba mengatakan alasan yang sangat nyata tapi sepertinya Arga tidak menerima alasan Rachel sama sekali hingga dengan cepat menyanggah. "Ini sudah kedua kalinya kamu terlambat, saya tidak bisa membantu" "Pak, satu kali aja. Saya janji nggak akan terlambat kelas bapak lagi" mohon Rachel semelas mungkin supaya pria dingin di depannya sedikit memberi pengertian padanya. "Saya tetap tidak bisa, nanti saya dikira tidak adil oleh yang lainnya" Mendengar alasan terakhir Arga membuat Rachel mengangguk kecil "Iya pak, saya mengerti. Saya permisi" pamitnya. Dan karena hari ini Rachel hanya ada kelas dengan Arga, maka ia memilih segera pulang. Sepanjang jalan menuju gerbang Kampus, Rachel tak hentinya menghapus air matanya sambil mengumpati Arga dalam hati dan bibirnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD