03

1700 Words
Gaby mengetuk-ngetuk pintu kamar putrinya yang sempat tertutup kuat sebelumnya. Sedikit berteriak agar Rachel menanggapi panggilannya. Gadis itu tak kunjung keluar sejak tadi pulang dari rumah Megan, salah satu teman dekatnya. Biasanya kalau sudah seperti ini, Rachel marahan dengan temannya atau sibuk mengerjakan tugas. "Sayang, buka dong. Mama mau ngomong bentar nih" paksa Gaby. "Ma, Rara lagi ngga mau di ganggu, lagi ngerjain tugas" teriak Rachel cukup kuat. "Di bawah ada calon mertua kamu" Rachel membulatkan matanya, dan langsung keluar dari kamarnya dengan sedikit menuruni tangga untuk melihat wajah tamu mereka. Rachel sendiri pernah melihat wajah Papa Arga dari handphone temannya yang saat itu menjadikan Arga topik-topik hangat. "Pantes anaknya ganteng, Papanya aja ganteng bingits" itulah yang sering ia dengar sehingga memunculkan rasa penasarannya waktu itu untuk melihat foto papa Arga. Dan memang benar, foto itu sama dengan wajah orang yang sedang duduk di rumahnya becakap ria bersama papanya. "Kamu kenapa?" tanya Gaby memegang bahu Rachel. "Gapapa Ma, Rara lagi pusing ngerjain tugas dan suntuk banget. Udah gitu tadi mobil Rara juga mogok lagi, ngeselin banget” adu Rachel kesal. Ia sampai menangis karena tadi kebingungan harus mencari bantuan dari siapa. Syukurnya, tadi Megan mau membantunya. "Terus tadi kamu naik apa kesini? Pantesan nggak ada mobil kamu di depan” "Rara tadi dianterin Megan, tapi dia nggak bisa mampir karena buru-buru ke suatu tempat gitu” "Yaudah ngga apa-apa" Gaby mengusap kepala anaknya lembut dan penuh pengertian "Cuci muka gih terus bedakan dikit, muka kamu lecek banget" "Iya" *** Setelah membasuh wajahnya dan memoles sedikit dengan bedak, Rachel turun dari lantai dua menghampiri orang tuanya yang bercengkrama dengan dua orang paruh baya yang asing bagi Rachel. Dengan sopan sebagaimana yang diajarkan Gaby dan Jacob padanya, Rachel menyalami tangan calon mertuanya. "Selamat siang Tante, Om" sapanya dengan menunjukkan kesopanan yang diajarkan orang tuanya. Jessie mengusap lembut pipi Rachel "Selamat siang Sayang, kamu cantik sekali. Persis seperti Mama kamu waktu muda" pujinya dengan senyuman. Rachel balas tersenyum "Tante juga cantik" katanya jujur. "Om ngga ganteng?" tanya San setengah bercanda. Rachel tersenyum malu "Om ganteng banget malah" pujinya juga ikut bercanda walaupun yang dikatakannya adalah kebenaran yang nyata. "Kalau anak Om gimana?" goda San. Tiba-tiba saja Rachel merasa kesal mengingat Arga "Ngeselin Om" ungkapnya jujur tanpa ditutup-tutupi membuat Gaby terbelalak mendengarnya. Ia sangat mengingat kejadian minggu lalu. San dan Jessie tertawa bersamaan setelah perkataan Rachel. Mereka tidak bisa memungkiri jika putra kedua mereka itu memang menyebalkan. "Tapikan ganteng" bela San. Rachel menyetujui ucapan Jacob dalam hati. Memang benar sih Arga ganteng. Tak bisa ia tampik, tapi tetap tak bisa ia akui begitu saja. Suara klakson mengintrupsi dari depan untuk dibukakan gerbang. Gaby menyuruh Rachel membukakan gerbang setelah memberi tau bahwa yang datang adalah Arga. Dengan setengah hati tak iklas, Rachel berjalan ke depan, membukakan gerbang untuk pria yang menurutnya sangat menyebalkan. Dan yang membuatnya semakin jengkel adalah ketika Arga melewatinya tanpa mengucapkan kata apapun. "Ma, Rara masuk kamar ya" pamit gadis itu langsung meninggalkan tanpa mendengar persetujuan dari Mamanya. “Sini bentar lah Ra, kita bahas masalah pernikahan kalian dulu” titah Mamanya. Akhirnya kedua pasang orang tua itu bersama Arga dan Rachel menentukan tanggal pernikahan yang diputuskan berlangsung tiga bulan dari saat ini. Arga dan Rachel tampak tak terlalu banyak bicara, selain mengungkapkan protes atas jadwal yang tadinya mau dilangsungkan dua bulan lagi. “Jadi, kalian nggak perlu diskusi sesuatu gitu?” tanya San dan diangguki Gaby, Jessie dan juga Jacob. Arga melirik Rachel hingga mata keduanya bertumbukan karena Rachel juga sedang melihat kearah Arga saat itu. Rachel langsung membuang pandangan dari calon suaminya itu, karena ia sendiri tak merasa ingin menyampaikan sesuatu jika Arga hanya diam saja. Tak mungkin jika ia yang bertindak seolah dirinya yang paling keberatan dengan pernikahan ini. “Boleh saya ajak kamu untuk bicara berdua sebentar?” tanya Arga. Meski tak melihat Arga sedang bicara pada siapa, namun Rachel tahu jika kalimat tanya itu ditujukan padanya. Ia menatap Arga sejenak, lalu berdiri “Yaudah, silahkan” ujarnya dan langsung keluar rumah. Rachel duduk di kursi teras. Arga ikut duduk di kursi lainnya dan berdeham dengan cukup kuat. Ia sebenarnya tak merencanakan hendak membicarakan apa dengan Rachel, tapi ada yang terlintas di pikirannya saat melihat gadis itu tak berkomentar sama sekali akan perjodohan ini. Ia bingung mengapa Rachel yang terlihat aktif dan memiliki banyak kebebasan, mau terikat dengan kata pernikahan yang direncanakan orang tua mereka. “Kamu tidak punya pacar?” tanya Arga untuk pembicaraan pertama mereka yang tidak terkait dengan status dosen dan mahasiswi. “Enggak. Bapak punya pacar dan mau bilang kalau saya nggak boleh mencampuri hubungan pribadi Bapak?” tanya Rachel cepat. Arga menggelengkan kepalanya “Saya tidak punya pacar. Saya hanya bingung karena kamu tidak menolak rencana pernikahan ini” “Lah, Bapak sendiri kenapa nggak nolak rencana pernikahan ini?” tanya Rachel balik. “Saya ingin mencoba berhubungan dengan wanita, dan karena saya tidak bisa menemukan wanita yang tepat, akhirnya orang tua saya yang bertindak” “Mencoba? Bapak mau mencoba?” ulang Rachel agar lebih meyakinkan telinganya. “Iya” angguk Arga. Rachel membulatkan mulutnya dan menggeleng tak percaya “Pak, kita mau menikah bukan mau main lotre yang kalau gagal, kita disuruh coba lagi” jelasnya dengan tegas. Ia tidak ingin nantinya diceraikan hanya karena Arga merasa tak cocok. “Saya tahu dan saya pun tidak berniat mempermainkan pernikahan yang sakral” balas Arga lebih yakin. “Jadi, Bapak mau bilang apa selain itu?” “Saya harap kita bisa melakukannya pelan-pelan” “Hah? Apa Pak? Melakukan pelan-pelan? Melakukan apa?” tanya Rachel tak mengerti. Otaknya menangkap hal lain dalam kalimat itu. Arga mengernyit, lalu menggelengkan kepalanya karena menangkap nada suara yang menjelaskan isi otak Rachel “Menjalani hubungan nanti” “Ah, itu” angguk Rachel. “Ra, saya mau bilang sesuatu sama kamu” “Apa?” tanya Rachel sembari menatap kakinya yang melambai-lambai. “Saya tahu kalau ini terlalu dini untuk disampaikan, tapi saya harap kamu bisa bersabar untuk memahami sifat saya dan saya pun akan melakukan hal yang sama. Saya harap kamu benar-benar siap menjadi istri saya” *** Rachel tidak tahu harus menenggelamkan dirinya ke dasar jurang mana agar ia bisa melupakan kalimat Arga sore tadi. Ia juga berusaha mengabaikan tatapan Arga yang terus terarah padanya ketika makan malam tadi, tapi sampai saat ini, pikirannya sama sekali tak mau diajak bekerja sama. Ia sudah lelah memikirkan semua sikap Arga hari ini. Pria itu membuatnya kehabisan akal dan salah tingkah hingga merasa akan gila. Dengan mood yang masih belum stabil, ia mengirim chat lewat grup dengan teman-teman dekatnya. Ia harus mengalihkan pikirannya dengan sesuatu dan menggunakan teman-temannya yang bermanfaat dan sangat ahli dalam hal itu. Rachel : Woiiii Lidya : Yuhuuu Rachel : Yang dua lagi mana sih? Megan : It’s me Ruth : Hadir. Maaf terlambat, tadi ada macet jaringan Lidya : Kenapa lo? Lagi suntuk nih pasti makanya nyariin kita Ruth : Udah pasti. Kita mah cuma tempat pelampiasan Rachel : Gue mau nikah Megan : Haha lucu Lidya : Belajar ngelawak dimana sih? Ruth : Seriusssss??? Rachel mendengkus heran melihat tanggapan teman-temannya yang tidak serius. Ia tahu kalau tanggapan mereka akan seperti ini karena kabar mendadak yang sangat aneh dan tak diduga ini, tapi Rachel tak tahu lagi harus mengatakan pada siapa kalau sebentar lagi ia akan menjadi seorang istri. Megan, Lidya dan Ruth adalah teman dekat Rachel, maka jelas kalau Rachel akan memberitahukan mereka terlebih dahulu, meski ia sendiri merasa malu dan tak siap dengan ledekan teman-temannya. Bayangkan saya, ia menikah di pertengahan kuliah untuk menggapai gelar sarjana. Ia bahkan tak bisa menduga kalau dirinya akan jadi yang pertama diantara teman-temannya. Rachel : Gue serius. Megan : Kita baru ketemu tadi dan lo udah ngerjain kayak gini Rachel : Gue hanya merasa kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk gue ngasih tahu kalian Lidya : Jadi ini beneran? Ah masa sih? Nggak percaya gue. Ada bau-bau mencurigakan nih Ruth : Iya, aneh banget si Rachel Dirgantara tiba-tiba mau nikah. Lo hamil Ra? Rachel membulatkan matanya membaca pesan tudingan dari Ruth yang sangat tak ia duga. Apakah temannya itu mengira kalau ia cewek seliar itu? Apakah mereka masih belum mengenal Rachel cukup lama sampai berpikir sejauh itu? Astaga, membayangkan saja, Rachel tak pernah. Ia akan mati digolok Mamanya jika sampai hamil diluar nikah. Rachel : Ruth, mulut lo tambal dulu sana, bocor tuh Lidya : Tapi, gue juga tiba-tiba berpikiran yang sama kayak Ruth. Lo nggak hamil kan Ra makanya nikah mendadak? Rachel : Gue belum nikah, tapi akan menikah. Dan please ya, gue nggak hamil. Megan : Ya masalahnya lo kan nggak punya pacar selama ini. Kalau punya, nggak mungkin lo nggak cerita sama kita Rachel : Gue emang nggak punya pacar, tapi bakalan nikah sama anak sahabat Mama sama Papa gue. Istilah lamanya gue dijodohin. Istilah barunya, ya gue nggak laku. Rachel sebenarnya tak cukup terima mengatakan dirinya sendiri tak laku, padahal ia masih memiliki banyak kesempatan untuk mencari seseorang yang tepat. Ia cukup yakin kalau yang tidak laku disini adalah Arga karena pria itu yang seharusnya sudah menikah dengan pilihannya sendiri, bukan malah menunggu orang tua yang bertindak. Megan : Lo udah kenal sama orangnya? Ruth : Ganteng nggak? Lidya : Gantengan mana sama Pak Vino dan Pak Arga? Rachel menggelengkan kepala dengan pertanyaan bermakna genit dari sahabat-sahabatnya. Apakah fakta itu lebih penting dibandingkan kenyataan kalau ia akan menikah dalam waktu dekat? Rachel : Kalau nanti waktunya tepat, baru gue ceritain lebih lengkap. Malam ini, gue butuh waktu buat lebih tenang memikirkan masa depan gue. Ruth : Yahhh, lo nggak asyik Ra. Padahal pertanyaan kita belum dijawab sama sekali. Lidya : Tau tuh Megan : Udahlah, biarin aja. Dia lagi malu tuh mau nikah muda wkwkwk. Rachel terkekeh geli membaca pesan-pesan itu, kemudian meletakkan ponselnya diatas nakas dan mulai membaringkan diri. Ia menatap langit-langit kamarnya dan memikirkan banyak hal mengenai apa yang kira-kira akan terjadi dengan masa depannya dan rumah tangganya. Ia memikirkan banyak hal mengenai kesiapannya menjadi seorang menantu dan istri. Apakah ia siap untuk menahan diri dari kebebasan? Apakah ia siap waktunya harus terbatas oleh kata izin pada suami? Apakah ia bisa menjadi istri yang baik? Apakah ia bisa mempertahankan hubungan pernikahannya dengan Arga nantinya? “Gue mikir terlalu jauh” desisnya pada dirinya sendiri dan memilih memejamkan mata untuk masuk ke dalam mimpi. Ia tak ingin berpikir terlalu banyak, sementara hal itu akan ia lalui dan ia temui jawabannya setelah melangkah di dalamnya. Ia hanya berusaha berharap dalam hati agar ia dan Arga bisa saling memahami dan mau mengerti satu sama lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD