04

1737 Words
Rachel sesekali melirik ke arah Arga yang fokus menyetir mobilnya. Ia benci suasana canggung ini. Mobil ini menurutnya sangat hening, bagai tak ada kehidupan, padahal ada dua mahluk bernafas dan bisa bicara di dalamnya. Kalau saja bukan karena perintah Mamanya, ia tidak akan mau satu mobil dengan manusia dingin plus cuek seperti Arga. Kenapa sih Mamanya harus berangkat lebih dulu ke butik tanpa menunggunya? Jadikan ia merasa gerah bersama dengan pria tampan bertingkah dingin ini. Meskipun Arga adalah calon suaminya, bukan berarti ia tidak merasa canggung untuk mengomel ini itu agar suasana diantara mereka sedikit mencair. Ia tetap tidak bisa leluasa dengan Arga karena pria itu masih baru di sekitarnya dan masih menjadi dosen yang menciptakan rasa dongkol tersendiri di hatinya. Ya. Saat ini Arga dan Rachel memang akan menuju butik langganan Mmanya untuk merancang baju pengantin Arga dan Rachel. Padahal kemarin niatnya ingin membatalkan perjodohan antara dirinya dan dan Arga, tapi mengingat bagaimana Jessie begitu mengharapkannya menjadi menantu membuatnya terpaksa mengangguk. Sebelum pulang, Jessie mengajak Rachel berbicara empat mata hingga berhasil membuat Rachel menerima pernikahan itu. Entah ia yang terlalu mudah untuk diprovokasi atau Jessie yang pandai merayu hingga ia menjadi terhipnotis untuk menurut. Rachel segera turun dari mobil ketika sudah sampai di depan sebuah butik besar, disambut dua orang penjaga yang sangat ramah di depan butik. Gadis itu membiarkan Arga di belakangnya, tidak berniat menunggu ataupun mengajak berbicara. Ia sudah terlalu lelah menahan mulutnya dan butuh pelampiasan sesegera mungkin. Ia merasa seperti sedang belajar bisu atau ada kontes diam-diaman dengan Arga. "Eh, anak Mama udah sampai. Arga mana?" sambut Gaby dengan senyum sumringah. Ia memang sengaja meninggalkan Rachel agar bisa berduan dengan Arga menuju ke butik. Setidaknya itu menjadi cara untuk mengakrabkan kedua manusia itu, tanpa ia tahu bahwa di sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. "Di belakang" jawab Rachel singkat. Ia menghembuskan nafas kasar dan langsung mengambil sebotol minuman dari butik itu dan meneguknya hingga tandas. "Kok nggak ditunggu?" sewot Gaby membuat Rachel mencibir Mamanya. "Dia tau jalan Ma, nggak harus banget kan Rara tuntun" dumel Rachel lebih sewot. Yang benar saja jika dirinya harus menunggu Arga. Ia bahkan tak tahu apakah pria itu akan masuk ke butik atau tidak. "Udah ngga apa-apa Gab, Arga paling juga duduk di depan" lerai Jessie, calon Mama mertua yang syukurnya pengertian pada Rachel. "Yaudah gih, itu kamu coba gaun yang ditunjukin tante Wena" Tante Wena adalah pemiliki butik yang langsung menghampiri Rachel dengan senyum ramah. Rachel mengangguk pasrah dan berjalan malas mendekati orang yang Mamanya tunjuk tadi. Ia memakai gaun pengantin berwarna putih itu dengan ribet dibantu pemilik butik bersama rekannya. Memang Rachel akui gaun yang sedang dipakainya ini tampak elegan dan mewah, hingga membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit memakainya. "Wah, kamu cantik sekali pakai gaun ini. Cocok di tubuh kamu yang proporsional. Calon suami kamu pasti bakalan jatuh cinta semakin dalam" puji Wena begitu Rachel selesai sepenuhnya dan berhasil membuatnya terpelongo dengan kecantikan yang Rachel pancarkan. Jatuh cinta semakin dalam apanya? Dia bahkan belum jatuh apalagi sampai cinta. Dengkus Rachel dalam hatinya. "Makasih Tante" Rachel keluar dari ruang ganti dan menampakkan diri di hadapan Mama dan calon Mama mertuanya, juga Arga yang entah sejak kapan bersama dua wanita paruh baya itu. Sedang sibuk memainkan ponselnya atau lebih tepatnya pura-pura sibuk. "Ya ampun, Gab, anak kamu cantik banget" puji Jessie takjub mendekati calon menantunya. Ia bahkan sampai menangkup wajah Rachel dengan gemas dan sayang. "Ya iyalah Je, kan aku juga cantik, jadi wajarlah kalo anakku jadi cantik kayak gini" ujar Gaby menyombongkan diri. Jessie hanya tersenyum geli saja mendengarnya. Rachel mendadak kesal melihat bagaimana tak acuhnya Arga akan dirinya. Ia jadi merasa lidahnya gatal untuk memaki calon suaminya. Namun, demi menghormati Mama dan Mamanya Arga, ia berusaha tersenyum ditengah kekesalannya. "Ar, gimana pendapat kamu ke Rachel?" tanya Jessie mengalihkan pandangan Arga dari ponselnya. Arga meneliti Rachel lekat dari tempatnya duduk, membuat Rachel sedikit salah tingkah diperhatikan sedetail itu oleh pria dingin yang akan menjadi calon suaminya ini. Sangking gugupnya, Rachel bahkan sampai meremas kakinya yang tersembunyi di balik gaun dengan kaki yang lain. "Cantik" ujar Arga datar. Tak ada ekspresi sama sekali dan jelas itu menimbulkan salah paham. Rachel bingung sendiri. Itu pujian untuk dirinya atau gaunnya? Dan lagi, itu tulus atau dibuat-buat? Wajah Arga yang datar membuat Rachel tak bisa membaca pikiran Arga. "Ada yang mau diperbaiki nggak Ar dari gaun Rachel?" tanya Jessie sekali lagi. Arga mendekati Rachel dan dua wanita paruh baya di sampingnya. Entah apa yang akan Arga buat, tapi langkah Arga membuat Rachel tiba-tiba menjadi sangat gugup. Dan dalam waktu sedetik setelah Arga berdiri di samping Rachel, tiba-tiba Rachel merasa darahnya berdesir hebat. Tangan hangat Arga seolah menyentuh punggung terbukanya, padahal pria itu hanya menunjuk bagian itu tanpa menyentuh sama sekali. Arga cukup tahu batasan untuk menyentuh bagian mana yang seharusnya diperbolehkan dan tidak boleh ia lakukan. "Di bagian punggung ini sudah terlalu turun, jadi saya minta supaya di bagian d**a agak dinaikamn supaya tidak terlalu terbuka sana sini" jelasnya kepada pemiliki butik. Rachel menghela nafas setelah posisi Arga agak menjauh darinya. Ia memandang sendiri ke arah dadanya dan menurutnya itu biasa saja, tidak terlalu rendah. Tapi sudahlah, jika Arga mengatakan seperti itu, Rachel setuju saja. Ia juga tidak merasa keberatan dengan komentar Arga, selagi pria itu tidak menyuruhnya memakai selimut saat di pernikahan mereka nanti. *** Setelah selesai mencocokkan baju pernikahan, Arga dan Rachel kembali berdua dalam satu mobil. Tadinya Rachel ingin ikut dengan Mamanya tapi karena Mamanya beralasan ingin arisan membuat Rachel membatalkan niat mengikut Gaby. Suasana canggung kembali Rachel rasakan, tetap tidak ada dari mereka yang berusaha membuka percakapan sedikit pun dari tadi, hingga Arga untuk pertama kalinya berbicara pada Rachel. "Saya mau mengambil beberapa dokumen di Kampus" Ujar Arga tanpa memandang Rachel. "Terserah Bapak kalau begitu, nanti saya turun di cafe sebelum kampus aja" ujarnya. Ia pikir harus ia yang izin agar Arga menurunkannya di tempat janjian dengan teman-temannya. "Oh oke" Setelahnya, keduanya sama-sama kembali diam, hingga mobil yang Arga kemudikan terparkir di sebrang cafe yang memang dituju Rachel. Arga melirik ke arah Rachel yang belum juga turun dari mobilnya. Ia dapat melihat gadis itu sedang melirik kanan dan kiri dengan wajah gelisah. "Sudah sampai" kata Arga memberitahu supaya gadis disampingnya segera turun dan tak membuang waktunya yang berharga. Rachel menoleh ragu ke arah Arga "Pak, Rara nggak bisa nyebrang di jalan besar gini. Bapak sebrangin Rara dulu ya" pintanya dengan wajah memelas. Ia merubah panggilannya sendiri agar terkesan lebih memelas. Ia tidak peduli kalau Arga akan mengejeknya kekanakan, tapi ia benar-benar takut untuk menyebrang sendirian. "Panggil saya Arga" ujar Arga tak terima dipanggil Bapak oleh calon istrinya sendiri. "Iya" kata Rachel ragu. Ia sebenarnya merasa lebih baik memanggil 'Pak' dibandingkan nama pada calon suaminya. Tapi kan aneh juga kalau calon istri manggil calon suaminya dengan sebutan 'Pak'. Arga segera keluar dari mobil dan memutari kepala mobil untuk membukakan pintu Rachel. Ia berdiri di samping Rachel sambil mengawasi mobil yang berlalu lalang hingga memberi kesempatan mereka menyebrang jalan. Rachel menghela nafas lega setelah menyebrang jalan. Ia melirik wajah Arga yang tetap tenang dan datar, sama sekali tak menunjukkan senyum geli atau raut mengejek karena Rachel yang terlalu penakut. "Makasih ya" ucap Rachel tulus. Arga dengan langkah cepat, seakan tak ingin membuang waktu lebih banyak berjalan kembali ke mobilnya. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, membiarkan Rachel dengan urusan pribadinya di cafe itu. *** Rachel menghampiri ketiga temannya dengan antusias. Ia bercipika-cipiki dengan ketiganya secara bergantian bahkan sambil mengucapkan kata-kata rindu dengan alay hingga membuat beberapa orang yang ada di cafe itu memandang sinis dan menganggap mereka berlebihan. Ketiganya tak memperdulikan hal itu sama sekali, karena sudah menjadi hal biasa bagi mereka dianggap alay oleh orang sekitar. "Puas ninggalin gue sendiri? Jalan-jalan aja terus bertiga" nyinyir Rachel jutek. "Bukannya gitu Ra, kan lo tau gimana takutnya nyokap lo kalo kita bepergian jauh" jelas Lidya Agatha, dipanggil Lidya. "Iya, tapi kan seharusnya kalian itu setia kawan. Ngga usah jadi pergi" "Yaelah, dua hari doang" dumel Megan Christie, biasa di panggil Megan. "Tau, lebay banget dah. Kan lo selalu ada bodyguard setia, yaitu pangeran Albert" tambah Ruth Levina sambil tertawa mengejek. Albert Guanta adalah cowok yang demen banget ngedeketin Rachel. Wajahnya ganteng tapi tingkahnya membuat Rachel kesal bukan main. Karena pria itu, ia sering menjadi bahan ledekan teman temannya sendiri. "Iih" geli Rachel "Tapi beberapa hari ini dia nggak ganggu gue lagi tuh" katanya serius. Memang beberapa hari belakangan ini, Rachel tak lagi melihat wujud Albert. "Jangan-jangan dia udah gantung diri karena lo nolak dia terus?" duga Ruth memasang ekspresi wajah berlebihan khasnya. "Atau minum kopi campur sianida seliter?" duga Lidya menambahi. "Jangan ngarang deh Rut, Lid. Gue tau otak lo nggak beres tapi tempatin juga dong ngegunainnya dimana" kata Megan menoyor kepala kedua temannya itu. Mereka masih tertawa sampai menyadari bahwa orang yang sedang mereka ledeki tengah melamunkan sesuatu, hingga tak mengoceh panjang lebar membalas ledekan mereka. "Hoii" Lidya menoyor kecil bahu Rachel tapi mampu mengejutkan gadis itu karena suara Lidya yang cempreng. "Apaan sih?" desis Rachel kesal sembari mengusap dadanya. "Lah, lo yang apaan? Pake acara ngelamun segala. Mikirin apaan?" Rachel menghembuskan nafasnya dengan kasar, merasa ragu untuk mengatakan tentang pernikahannya dan Arga kepada ketiga temannya ini. Namun disisi lain hatinya memaksa untuk jujur pada para sahabatnya itu. Mereka harus tahu kalau calon suaminya Rachel adalah Arga Teo Matias. "Nanti aja deh gue ceritain kalo udah di tempat sepi" kata Rachel. Ia ragu menceritakan di tempat terbuka seperti cafe ini, apalagi jika ada mahasiswa kampusnya yang nongkrong di cafe yg mereka kunjungi itu. Ia hanya takut jika nanti ketiga sahabatnya yang kurang waras itu berteriak kaget sambil mengucapkan nama Arga. Ruth mengernyit "Ngapain lo ngajak di tempat sepi? Astaga Tuhan, jangan-jangan mau ngajak nonton bokep lagi" duga cewek berponi itu. Rachel memijit pelipisnya pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya "Otak lo tuh perlu di bayclin" ketusnya. Lidya menggaruk kepalanya yang tak gatal "Bukannya Ruth nggak punya otak ya?" tanyanya tanpa dosa dengan wajah tipuan 100% sok polos. "Lo juga nggak punya" umpat Megan. "Astaga" keluh Rachel bingung. Bagaimana bisa ia dulu bertemu hingga menjadi sahabat dengan ketiga orang yang ajaib-ajaib itu. Wajah polos, tapi otak mereka tak jauh dari hal m***m dan kalau sudah dibahas, mereka rela membahasnya sampai subuh. Meski begitu, itulah yang membuat Rachel senang berteman dengan ketiga temannya yang blak-blakan dan tak tahu aturan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD