05

1660 Words
Rachel memainkan pulpennya sambil menatap ponselnya, sejak tadi tidak berhenti berbunyi. Ia yang tadinya ingin fokus belajar malah menjadi tergoda untuk memainkan ponselnya dan membalas chat dari teman-temannya. Rasanya, waktunya terlalu hampa jika tak memegang ponsel semenit saja. Ia ingin belajar hanya ketika hendak tidur karena hanya buku lah pendongeng terbaik yang mampu membuatnya mengantuk. "Fokus Ra, fokus" ujarnya menyemangati diri sendiri. Rachel kali ini benar-benar fokus memahami catatan milik temannya karena ia tidak masuk kelas Arga kemarin. Ia bahkan sudah mematikan ponselnya supaya bisa memahami isi buku itu dengan cermat, sayangnya ia memang sulit mengerti materi tersebut, apalagi tanpa penjelasan dari dosen ganteng itu. Sulit tapi lama-kelamaan Rachel mengerti walau tidak sepenuhnya. Ia masih mengamati buku itu sambil memutar-mutar pulpen di tangannya. Sesekali ia akan berkata "Oh, gini" kemudian mencoret-coret lembar bukunya. "Ah udah ah, nggak ngerti lagi" tuturnya sambil menutup buku kemudian mengaktifkan ponsel pintarnya. "Ra, ada Arga nih" teriakan Gaby mampu menusuk telinga Rachel. Gadis itu segera bangkit dan mengintip ke lantai utama, melihat apakah benar ada Arga di bawah. Dan benar saja, tepat ketika Rachel mengintip, Arga justru melihat ke arahnya hingga mata mereka bertemu tanpa sengaja. Dengan terpaksa Rachel turun dari tangga menuju ke arah Arga yang sedang mengobrol dengan Papanya. Tanpa menunggu instruksi, ia sudah lebih dulu duduk di samping Arga. Bukan bermaksud kegenitan, tapi Mamanya sering mengingatkannya untuk lebih mendekatkan diri dengan calon suaminya itu, jadi tak salahkan kalau ia dekat-dekat dengan Arga saat ini. "Apa Ma?" "Arga mau ke pesta Om David, kamu temenin ya. Kan kasihan kalau Arga pergi sendirian, entar dikira jomlo lagi" goda Mamanya. “Harus banget gitu? Rara lagi belajar tahu, mata kuliah Integral Trigonometri. Kemarin Rara nggak dikasih masuk sama dosennya, jadi nggak ngerti sama sekali” jelas Rachel sengaja menyebutkan mata kuliah yang diampu oleh Arga, matanya bahkan melirik Arga agar pria itu sadar telah mengganggunya. Gaby mencubit Rachel hingga gadis itu meringis “Sakit Ma” “Siapa suruh kamu alasan gini? Sok-sok belajar lagi” “Beneran tahu” tekan Rachel kesal. Arga melihat Rachel dan menatap gadis itu “Gapapa Tante kalau Rara-nya nggak bisa” Hah? Sejak kapan nih orang sok akrab sampai manggil Rachel dengan sebutan Rara? Batin Rachel mendelik kepada Arga. “Nggak apa-apa lah Ar, masa iya sih kamu segan gitu manfaatin calon istri” Gaby menenangkan Arga seolah itu bukan masalah yang besar. “Gih sana kamu siap-siap” titahnya kepada anak gadisnya. Rachel mendengkus kecil sambil melirik Arga "Yaudah, Rara ganti baju dulu" ujarnya kemudian meninggalkan ketiga insan itu. *** Inilah yang Rachel benci saat bersama Arga, mereka akan pasang aksi saling diam di dalam mobil bagaikan sepasang orang belajar bisu yang tengah ditakdirkan bersatu oleh Tuhan. Padahal nyatanya, Rachel tidak tahan dengan situasi seperti ini. Ia tidak terbiasa diam jika bersama orang lain. Sampai mobil berhenti pun Arga masih tak membuka mulutnya, bahkan mungkin akan membiarkan Rachel di dalam mobil sendiran jika saja Rachel tidak keluar sendiri. Musnah sudah bayangannya memiliki suami yang romantis plus humoris. Nyatanya, satu dari keduanya tidak ada dalam diri Arga. Pria itu kaku dan sangat sangat tidak romantis. Rachel perlahan memasuki gedung hotel yang di gunakan sebagai tempat pesta, membiarkan Arga berjalan sendirian menjauhinya. Toh ia bukan anak kecil lagi yang harus dituntun supaya mengerti jalan. Gadis itu sedikit mendengkus ketika yang ia lihat rata-rata adalah tampang tua dari para Om-om. Yah, ia sedikit paham jika pesta ini akan banyak dihadiri oleh rekan Om David sendiri, si pemilik pesta, tapi ia tak menyangka kalau ia akan berada dalam salah satu tamu. Ia tersenyum sumringah ketika matanya menangkap sosok yang ia kenal selain Arga dan Om David di tempat ini. Alvino Rayendra. Dosen tampan dan humoris itu tengah menebar pesonanya pada beberapa wanita yang hadir. Sikap Alvino di Kampus dengan di luar Kampus benar-benar taka da bedanya, tetap santai dan penggoda yang cerdik. "Pak Vino" teriaknya agak kencang. Vino menyipitkan matanya sebelum akhirnya menghampiri Rachel ketika sudah mengingat jelas mahasiswinya itu. Masih tetap dengan senyumnya yang begitu manis, mampu membuat Rachel terpesona. Tanpa membuang waktu lebih lama, Rachel juga mendekati Vino. “Kamu anak Matematika kelas C 2017 kan?” tany Vino. “Iya, Pak. Saya Rachel Dirgantara” “Calon istrinya Arga kan?” goda Vino. Rachel menatap Vino dengan khawatir “Pak Arga cerita sama Bapak?” “Sedikit sih, cuma jelasnya dia bilang mau nikah sama Rachel Dirgantara. Saya pikir bercanda, ternyata kamu juga nggak membantah” “Begitu lah Pak” "Kamu ngapai disini?" "Bapak sendiri ngapain disini? Yg Bapak lakuin itu juga yang saya lakuin di tempat ini" Vino terkekeh "Saya tebar pesona disini biar dapet calon istri, kamu juga tebar pesona biar dapet calon suami?" godanya membuat Rachel segera menggeleng. "Saya mah nggak usah tebar pesona, orang udah terpesona sama saya pak" ujar Rachel begitu narsis. "Kamu sama siapa kesini?" "Ah tau ah pak, nggak penting juga" Rachel tak ingin membahas Arga yang tak mengacuhkannya. "Kamu cantik banget loh Ra malam ini" puji Vino. Rachel memang tampak begitu cantik dengan dress hitam tanpa lengan, hanya sebatas paha yang mengekspose tungkai jenjangnya. Rachel mengibaskan kecil rambutnya yang tergerai "Udah dari lahir kali Pak, cantiknya" desisnya justru semakin percaya diri. "Bapak sini aja ya, biar saya nggaK dikira jomblo" celetuknya ngasal. Vino tertawa kencang "Kalau kamu mau jadi pacar saya sih, saya mau nemenin kamu selamanya. Bukan cuma disini" goda Vino mampu membuat Rara merona karena salah tingkah. "Pak, serius deh" dumelnya merajuk. "Yaudah yuk, saya anterin ke Arga. Kamu datang sama dia kan?" ujar Vino kali ini sungguh-sungguh. "Kok bapak bisa tau?" "Apa sih yang saya nggak tau soal Arga, diakan pacar saya" goda Vino disertai kekehan kecil. Rachel berdecak sebal melihat Arga yang tampak anteng dengan kesendiriannya. Tidak terlihat sedikitpun mencemaskan keberadaannya. Kalau bisa memohon pada Tuhan, ia sangat ingin menukarkan Vino dengan Arga, supaya Vino yang menjadi calon suaminya, bukan Arga. "Gih hampirin" Rachel memandang Arga dengan malas "Dih, dia kira saya cewek apaan" katanya. Gengsilah nyamperin doi duluan. "Udah, hampirin aja sana. Arga memang gitu, dia nggak bakal luluh sama kamu kalo kalian cuma diem-dieman aja" "Ya tapikan harusnya dia yang nyamperin saya Pak. Emang dia kira saya ini cabe apa nyamperin cowok duluan" "Emangnya setiap yang nyamperin cowok duluan itu semuanya cabe?" tanya Vino polos. "Ah udah lah, sana samperin Ra" kesal Vino pada akhirnya mendorong Rachel hingga cewek itu melangkah ke arah Arga yang sedang duduk diam memainkan ponselnya. Rachel menghembuskan nafasnya beberapa kali dengan kasar saat kedatangannya tidak digubris sedikitpun oleh pria kaku dan datar itu. Ia mencoba menekankan kesabarannya agar lebih meningkat lagi untuk menghadapi Arga Teo Matias. "Pak" serunya judes. Arga menoleh ketika panggilan ‘Pak’ dari Rachel memasuki telinganya. Ia menaikan sebelah alisnya ketika gadis di depannya sedang menatapnya dengan tatapan tak biasa. "Saya laper" adu gadis itu manja. Rachel merutuki mulutnya yang bodoh, entah kenapa malah lapar yang menjadi alasannya menghampiri Arga. Ia tidak tau alasan apa yang bisa membuat Arga tidak mengacuhkannya, hingga jadilah ia menggunakan alasan laper. "Lalu?" tanya Arga yang tak paham. Cowok kaku kok dikasih kode. See! Pria itu menyebalkan dan sekarang tidak peka. Tidak tahukah dia bahwa itu kode keras dari Rachel supaya ditemani makan? Apa masih kurang jelas? "Pak, yang bawa saya kesini itu Bapak. Kalau saya laper ya harusnya Bapak ajak makan. Sebagai laki-laki harusnya Bapak tanggung jawab dong" Rachel mendumel panjang lebar supaya Arga mengerti kemauannya. Arga mengangguk kemudian menyimpan ponselnya di saku celana kanan. Ia berjalan mendahului Rachel menuju ke arah perjamuan pesta. Dengan menghentak-hentakkan kaki kesal, Rachel mengikuti langkah Arga yang berhasil memacu emosinya. "Pak Arga yang terhormat, saya mau pulang" pekiknya di balik punggung Arga. Tanpa menunggu persetujuan Arga, ia sudah berlari keluar dari pelataran pesta. Hatinya benar benar dongkol menghadapi calon suaminya itu. Tidak bisakah pria itu bersikap sedikit hangat hanya untuk mengeluarkan suara. Memangnya suaranya begitu mahal? Atau akan meracuni otak Rachel jika sampai mendengar suaranya? Rachel tidak perlu sebuah sentuhan, hanya tanggapan, ia akan menghargainya. Tapi Arga tidak melakukan dua hal itu sedikitpun. Baiklah, dari pesta ini Rachel mengambil sebuah pelajaran. Dan ia tidak akan pernah mau lagi menemani Arga kemanapun. Sikap pria itu hanya akan memacu emosionalnya. Ia bukan orang yang sabar untuk menanti perubahan dari Arga, jadi jangan salahkan dirinya kalau ia mudah marah ataupun merajuk. Disisi lain, Arga mendengkus sebal melihat sikap calon istrinya yang agaknya sedikit semena-mena padanya. Setelah tadi meminta ditemani makan oleh Arga, gadis itu malah meninggalkan Arga dengan alasan ingin pulang saat Arga akan menuruti kemauannya untuk ditemani makan. "Kejar sana, jadi cowok kok nggak peka" ledek Vino yang entah sejak kapan berada di samping Arga. "Ck" hanya decakanlah yang menjadi tanggapan Arga akan ucapan sahabatnya itu. Ia tidak merasa sama sekali jika Rachel memberikan kode padanya, jadi apa yang dikatakan tidka peka. Arga segera keluar dan menelusuri keberadaan gadis itu lewat penerawangan matanya. Ia dapat melihat Rachel sedang duduk di kursi luar hotel tempat pesta diadakan. Nampak gadis itu tidak menyadari kehadirannya yang sudah berada dekat. "Ngapain?" tanya Arga hanya menatap datar pada calon istrinya. Ia ikut duduk di samping Rachel tanpa meminta persetujuan. Rachel nampak mendengus sebal akan kehadiran Arga yang tidak diharapkannya "Nggak usah nanya-nanya deh Pak, saya itu lagi kesel sama Bapak" dumelnya tak berusaha menutupi rasa dongkolnya terhadap calon suaminya. Jujur adalah caranya berkomunikasi. "Saya salah apa?" pertanyaan itu semakin sukses membuat Rachel emosi stadium akhir. Sudah kaku, tidak humoris, tidak romantis, tidak peka lagi. Umpat Rachel dalam hati. Rachel tersenyum paksa ke arah Arga "Bapak nggak salah apa-apa kok" ujarnya dengan menggertakkan giginya berkali kali. "Yaudah, ayo, pulang aja kalau begitu" ajak pria itu spontan. Lagi-lagi dan lagi mereka hanya saling diam di dalam mobil. Entah sampai kapan Rachel bisa menahan kebisuan ini. Ia tidak tahan menjadi bisu setiap bersama Arga, sedangkan Arga tampak tak masalah dengan keheningan yang mereka lakukan itu. “Sabar Ra” Rachel mengepalkan tangannya keatas untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia tidak memerlukan semangat dari orang lain karena memang hanya dirinya yang harus menyemangati hati, pikiran, jiwa dan tubuhnya. Ia perlu lebih beradatasi dengan Arga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD