Prosecution | Chapter 8

1221 Words
              “Sy!”             Yang pertama menarik perhatian Chrissy saat menghampiri Hazel yang sedang duduk di meja dekat jendela cafe, adalah deretan tiga gelas kopi yang sudah kosong. Menghela napas panjang nan dalam, Chrissy memutar bola matanya kesal. “Apa yang kukatakan tentang ‘hanya satu gelas kopi saja’, Nuts?”             Hazel menyengir kuda. Sepupunya yang bagaikan kloningan tante rambut pirangnya itu memang selalu seperti ini—menyebalkan, tapi entah kenapa sifatnya yang seperti itu terkadang bisa mengundang tawa.             “Salahkan dirimu yang terlambat hampir setengah jam lebih dari waktu janjian kita, Sy.” Hazel membela diri, sambil tersenyum memandangi kopi pesanan barunya yang sedang disajikan pelayan di atas meja mereka. Pelayan itu segera pergi setelah Hazel mengucapkan terima kasih.             “Tadi dosenku memberikan kuis menDadak,” jawab Chrissy. Wanita itu sedang mengikat rambutnya menjadi sebuah bentuk cepol.             “Kau tidak memesan minuman?” tanya Hazel.             “Aku sudah memesannya—nah, itu dia.” Chrissy menunjuk seorang pelayan yang sedang membawakan segelas es kopi tanpa cream ke arah meja mereka.             “Yucks! Melihat dari warnanya saja, aku sudah tahu itu pahit sekali—ah, aku tahu. Kau memesan kopi pahit karena hanya dengan melihatku saja kau sudah merasakan manis, bukan?” Hazel tertawa lepas usai mengatakan itu.             “Kau dan kepercayaan dirimu itu benar-benar menyebalkan.”             “Well, Mom yang mengajarkanku.” Hazel memilin ujung rambutnya dengan jari telunjuk, kemudian lanjut bertanya, “Jadi, ada apa tiba-tiba mengajakku bertemu? Kau bilang ini bukan tentang kencan buta.”             “Memang bukan.” Chrissy menimpali, cepat. “Karena aku tidak suka bertele-tele, jadi langsung saja...” Chrissy menarik napas dalam-dalam, bermaksud mengatakan kalimatnya dengan hanya satu tarikan napas. “...Haze, Ada seseorang yang sedang mengikutiku—stalker.”             “Apa?” Hazel menyerukan ketidakpercayaannya. “Kau tidak sedang bercanda atau salah paham terhadap seseorang, kan?”             “Tidak, tidak.” Chrissy menggeleng. “Ini serius—aku tidak sedang berkhayal atau melebih-lebihkan sesuatu—memang ada yang sedang mengikutiku, Haze. Aku tidak tahu siapa. Tapi, mungkin pria itu berada di lingkungan yang sama denganku.”             Hazel menutup mulutnya, seperti mencegah dirinya sendiri untuk berteriak. “Kalau memang itu seorang stalker—sudah sejauh apa tindakannya?”             Chrissy merasakan emosi yang berlebihan secara tiba-tiba, saat Hazel menanyakan apa saja yang sudah dilakukan ‘orang itu’ padanya. Wanita itu mati-matian menahan air mata yang sudah mengambang di pelupuk matanya, agar tidak jatuh menjadi buliran-buliran.             “Sy?” Menyadari perubahan raut wajah Chrissy, Hazel merasakan sesuatu yang buruk.             “He’s the guy who took something precious from me. The one I told you before.”             “You don’t say...”             “Ternyata tidak hanya sampai di situ saja, Haze. Waktu itu dia memberikanku bunga melalui pelayan di restoran tempat aku sekeluarga berserta Liam dan keluarganya makan malam bersama. Setelah itu, dia sering berada di tempat yang sama denganku dan...” Chrissy tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi.             “Jadi ini sudah berlangsung cukup lama?” Hazel membeo. “Dasar bodoh! Kenapa baru sekarang memberitahuku?!”             Chrissy buru-buru menyeka air matanya sebelum semakin deras.             Ini pertama kalinya Hazel melihat sosok Chrissy yang begitu rapuh. Biasanya wanita itu terlihat tangguh, seperti batu karang yang tidak akan terkikis meskipun ombak terus menerus menerpa dan menggulungnya.             Hazel mengulurkan tangan, menggenggam tangan Chrissy yang tergolek lemah di atas meja. “Apa Paman mengetahui soal ini?”             “Tentu saja tidak. Kau pikir apa yang akan dia lakukan?”             “Siapa pun yang melakukan itu padamu, dia tidak akan bisa menghirup udara lagi, segera setelah kau memberitahu Paman tentang ini.” Hazel menimpali, tegas. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”             “Sebenarnya dia sudah tidak mengangguku beberapa hari ini—tidak, ini sudah lebih dari satu minggu. Semoga saja dia benar-benar tidak akan menunjukkan dirinya lagi.” Chrissy menyeruput minumannya perlahan.             “Kau tidak berusaha mencarinya? Kau bisa meminta pertanggung jawaban atau—“             “Aku tidak mau. Pertanggung jawaban apa yang bisa kuminta dari seorang stalker?” Chrissy tersenyum sinis, namun di mata Hazel, itu lebih terlihat seperti senyum seseorang yang menertawakan dirinya sendiri. “Pria itu benar-benar ingin aku menyadari kehadirannya di sekitarku. Dia sering meninggalkan jejak—seolah-olah dia ada di mana pun aku berada. Jangan-jangan dia juga berada di sini seka—“             “Tidak, tentu tidak.” Hazel mencoba menenangkan Chrissy. “Memangnya dia tidak punya pekerjaan lain selain mengikutimu ke mana pun?”             “Bukankah itu yang dilakukan seorang stalker?” Chrissy menyahut. “Kau juga pernah mengalaminya, kan? Meskipun tidak separah apa yang aku alami. Ah... aku seperti kehilangan harga diriku sendiri, kepercayaan diriku, aku merasa benar-benar bodoh. Seandainya saja saat itu aku menyadari pria itu bukan Liam, mungkin semuanya tidak akan menjadi serumit ini dan—“             “Tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi, Sy. Sekarang yang harus kau pikirkan adalah keselamatanmu sendiri. Berdoa saja semoga pria itu tidak lagi mengganggumu.”             Chrissy menunduk sejenak, memandangi gelas kopinya, sambil memainkan butiran air dingin yang mengaliri sisi luar gelas. “Jangan katakan ini pada siapa pun—aku hanya ingin melepaskan sebagian bebanku saja. Aku lelah memikirkan ini seorang diri, aku butuh seseorang—ku pikir, kau mungkin mau—“             “Tentu saja!” Hazel memotong. “Siapa lagi yang akan menolongmu kalau bukan aku, kan? Samuel? Ah, adikmu itu tidak bisa diandalkan di saat seperti ini. Dia hanya akan bertindak gila seperti Paman.”             “Adikku itu adalah adikmu juga, Haze.”             “Na-ah, sepupu, Sy, sepupu....” Hazel menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri, di depan wajahnya.             Hazel baru saja akan mengatakan sesuatu, saat keduanya mendengar suara dering telepon dari dalam tas Chrissy. Hazel menunggu Chrissy membuka tasnya, mengambil ponsel, membaca nama si penelepon yang ternyata adalah Aram.             Chrissy memberi tanda pada Hazel kalau dia akan menerima telepon itu di luar, sementara Hazel berbisik ingin memesan minuman lain pada Chrissy. Keduanya meninggalkan meja di saat yang hampir bersamaan.             “Yeah, Dad?”             “Kau di mana?” tanya Aram, dari seberang. “Sepertinya berkas milikku tertinggal di dalam mobilmu. Aku menaruhnya di kantong kursi belakang. Dua map berwarna merah dan satu map hitam.”             Chrissy ingat ia melihat map-map dengan ciri-ciri yang sama persis dengan yang disebutkan Aram barusan. Dua hari yang lalu, Aram memang meminjam mobilnya. Mobil Ben sedang ada di bengkel saat itu, jadi mereka berdua menggunakan mobil Chrissy hampir seharian penuh.             “Aku tahu, Dad. Aku ingat aku melihatnya.”             “Great! Bisakah kau cepat pulang sekarang? Ben sudah dalam perjalanan menuju ke mari, aku tidak ingin dia menunggu terlalu lama.”             “Baiklah, Dad. Aku akan pulang sekarang.”             Chrissy mematikan telepon, dan bergegas mendorong pintu kafe, melangkah masuk, berjalan menuju mejanya dan Hazel yang kosong. Hazel tidak ada di sana. Mungkin dia pergi ke kamar mandi. Jafdi, Chrissy akan menunggu sampai sepupunya itu kembali, sekaligus berpamitan.             Sesaat setelah duduk, Chrissy mengambil gelas yang bertuliskan namanya, lalu mulai menghabiskan sedikit demi sedikit minumannya.             Ketika wanita itu hampir menghabiskan setengah gelas dari minumannya, ia melihat tisu yang diletakkan menelungkup dan dibentuk segitiga di atas meja. Chrissy meletakkan gelas minumannya lalu membalik tisu itu.             Terbelalak setelah membaca tulisan yang tertera di tisu, Chrissy meraih tasnya. Ia berlari keluar kafe dengan perasaan ketakutan. Keinginannya untuk berpamitan dengan Hazel sirna sudah. Ia terus melangkah cepat menuju tempatnya memarkirkan mobil. Tidak ada hal lain yang benar-benar Chrissy inginkan saat ini, kecuali memeluk Aram atau Nathalie. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD