“Sepertinya kau bertambah gemuk, Sy.”
Chrissy sontak menoleh ke belakang. Kedua matanya membelalak lebar saat melihat sosok pria tampan yang berusia enam tahun lebih muda darinya, tengah merentangkan tangan sambil tersenyum manis.
“SAM! Astaga, Tuhan! Apa yang kau lakukan di sini?!” Chrissy berlari, memeluk adik laki-lakinya yang sudah beberapa bulan ini tidak bertemu dengannya. “Bagaimana Amerika? Sepertinya kau benar-benar betah....”
“Menyenangkan. Beberapa hari ini aku disibukkan dengan kegiatan olahraga bersama teman-teman asramaku. Kami mengadakan semacam pertandingan di asrama.”
“Ku kira kau akan menceritakan sesuatu yang lebih ‘pribadi’, Sam....” Chrissy menatap Samuel penuh arti. “Tapi sepertinya, adikku ini belum sembuh sama sekali dari penyakitnya. Aku khawatir kalau-kalau nanti kau benar-benar akan menjadi perjaka muda.”
“Kau berbicara seolah-olah sudah pernah ‘melakukannya’.” Samuel berjalan melewati Chrissy, tanpa menyadari perubahan raut wajah kakak perempuannya itu saat mendengar ucapannya. “Where’s Mom and Dad?”
“O-oh... Mom akan segera pulang. Daddy seperti biasa, sedang berkencan dengan tumpukan laporan pekerjaannya.”
Samuel tampak berpikir sesaat, sebelum mengedikkan kedua bahu acuh tak acuh. “Omong-omong, aku belum memberi tahu mereka kalau aku akan pulang hari ini.”
“Yah, dan salah satu dari mereka akan segera tahu....” Chrissy menatap ke arah jalan masuk menuju ruang tengah dengan penuh antusias. Barusan terdengar deru mobil milik Nathalie memasuki halaman rumah. Tinggal menghitung mundur sebelum ia mendengar celotehan panjang Nathalie karena Samuel tidak memberitahukan apa pun mengenai kepulangannya hari ini.
“SAMUEL! DEMI TUHAN!!”
Dan... sebelum Chrissy menyelesaikan hitungannya, apa yang ia tunggu-tunggu sudah lebih dulu terjadi.
***
“Sepertinya memberitahu atau tidak memberi tahu kalian soal kepulanganku akan tetap berujung pada hasil yang sama.” Samuel mengamati kantong-kantong belanja yang ia pegang. Kedua tangannya hampir tidak bisa memegangi semuanya. “Aku ingin pulang!”
“Tunggu sebentar lagi, Sammy.” Nathalie mencebik. “Lagipula ini semua untukmu. Kau mencuci semua bajumu sendiri, dan lihat ini....” Nathalie memegangi lengan kaus Samuel. “Aku tidak tahu bagaimana caramu mencuci baju-bajumu, tapi warnanya semakin lama semakin pudar. Padahal aku baru memberikan kaus ini sebulan yang lalu.”
“Mom, jangan mulai....” Samuel terlihat terganggu dengan ceramah kilat yang diberikan Nathalie padanya. “Paling tidak kecilkan suaramu saat mengatakan itu. Aku malu....”
“Oh, laki-laki puber dan problemanya.” Chrissy mengacak-acak rambut Samuel.
“Aku sudah melewati masa-masa itu, Sy!” Samuel menggeram. “Tapi teman-temanku bahkan mengejekku dengan sebutan ‘laki-laki tidak jadi’ karena perlakuan kalian padaku yang terlalu berlebihan.”
“Apa yang salah dengan menunjukkan rasa sayang?” Nathalie memprotes, seraya menjitak pelan kepala Samuel. “Omong-omong, Chrissy....” Nathalie berpaling pada Chrissy. “Di mana Liam? Katamu tadi dia akan segera menyusul ke sini.”
Chrissy pun teringat, tunangannya itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. “Kau mengingatkanku, Mom. Aku akan meneleponnya sekarang.”
“Tidak perlu, Sy.” Samuel melambaikan tangannya ke satu arah. Di depan toko sepatu yang berjarak tidak kurang dari tiga meter di depan mereka, Liam terlihat sedang menempelkan ponselnya ke telinga. Begitu ia bertemu pandang dengan Samuel, barulah pria itu menurunkan ponselnya, memasukkan benda kotak pipih itu ke saku celana, kemudian berjalan cepat menghampiri mereka bertiga.
“Kau lama sekali.” Chrissy melipat kedua lengannya di depan d**a. “Apa kataku tentang ‘keterlambatan’?”
Mendengar nada protes Chrissy, Liam hanya bisa menyengir. Setelahnya, perhatian pria itu teralih kepada Samuel yang merangkulnya.
“Long time no see, Brother.” Mereka berdua saling menepukkan punggung satu sama lain. “Bukankah aku sudah menyuruhmu ‘lari’ dari Medusa ini selama kau masih ada kesempatan?”
“Apa maksudmu dengan Medusa?” Chrissy menjewer telinga Samuel, menjauhkan adik laki-lakinya itu dari Liam. “Jangan menambahkan omongan apa pun, Liam.” Chrissy menaikkan sebelah alisnya, memandangi Liam, tajam. Dia tahu tunangannya itu bermaksud mengatakan sesuatu untuk memanaskan suasana. Pria itu benar-benar akrab dengan Samuel.
Nathalie menghentikan pembicaraan mereka bertiga sebelum semakin meluas. “Kids, paling tidak jangan berceloteh di tengah jalan,” ujar Nathalie.
“Hazel bilang ada restoran yang baru saja di buka di lantai satu, Mom. Wanna give it a try?” Chrissy memandangi Nathalie, Samuel, dan Liam secara bergantian. “Ok, kita akan mencobanya. Kalian terlalu lama berpikir,” ujar Chrissy, tidak sabaran. Wanita itu berjalan lebih dulu, memimpin di depan sementara yang lain mengikutinya dari belakang. Liam tampak asyik bercengkerama dengan Samuel, sementara Nathalie baru saja menerima telepon yang sepertinya dari bibinya—Helen.
Posisi mereka yang berada dekat dengan lift, membuat Chrissy memutuskan untuk turun ke lantai satu menggunakan lift daripada menggunakan eskalator.
Sudah ada tiga orang yang mengantre di depan lift. Chrissy, Nathalie, Liam dan Samuel berhenti tepat di belakang mereka.
Mereka baru saja akan menaiki lift, saat tiba-tiba sebuah suara yang terdengar familiar menyapa mereka berempat. Chrissy menoleh ke belakang, melihat Aram merangkul Samuel dan memiting kepalanya di bawah ketiak, sambil menggesek-gesekkan kepalan tinjunya ke dahi Samuel. Terpisah tidak jauh dari Aram, tepat di belakangnya, Ben berjalan ke arah mereka dengan kedua tangannya berada di dalam saku celana.
Chrissy cepat-cepat membuang muka saat tidak sengaja bertatapan dengan Ben, padahal pria itu tengah tersenyum ke arahnya. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia melakukan itu. Apa mungkin karena Liam melihat ke arahnya saat ia tidak sengaja bertukar pandang dengan Ben?
“Ku kira kau sedang rapat di kantor,” kata Nathalie, merangkulkan tangannya di pinggang Aram. “Apa yang membawamu tiba-tiba ke sini?”
“Begitu kudengar kabar anak laki-lakiku ternyata pulang dan sedang disandera, aku memutuskan untuk cepat pulang karena ingin makan malam bersama,” jawab Aram, tidak mengacuhkan tatapan sinis yang ditujukan padanya begitu Nathalie mendengar kata ‘disandera’.
“Ada yang salah dari tindakan seorang ibu yang membelikan baju untuk anaknya?” tanya Nathalie, kesal. Wanita itu berusaha melepaskan diri dari rangkulan Aram, tapi sia-sia.
“Kau dan emosimu yang meledak-ledak itu tidak pernah membosankan.” Aram sempat mengecup kening Nathalie, sebelum menuntun istrinya itu masuk ke dalam lift, diikuti dengan Chrissy, Samuel, Liam, dan Ben kemudian.
Di dalam lift sudah ada lima orang yang mengisi tempat. Chrissy sempat khawatir kalau-kalau lift itu akan berbunyi karena kelebihan beban, tapi apa yang dia khawatirkan ternyata tidak terjadi. Mereka semua berhasil masuk ke lift, tanpa harus ada orang yang dikeluarkan dari dalam sana, meskipun lift itu jadi terasa sesak.
Chrissy berdiri di tengah-tengah lift. Samuel dan Liam berdiri berimpitan dengan dinding kaca lift. Aram berdiri tepat di depan panel tombol lift, berdampingan dengan Nathalie, sementara Ben berdiri di sudut lift di bagian kanan. Selain mereka berlima, ada dua wanita berpakaian seragam toko yang sama, dan tiga orang laki-laki dengan setelan jas yang sibuk dengan ponselnya masing-masing.
“Lantai satu, Aram,” kata Nathalie. “Kami ingin mencoba restoran baru yang direkomendasikan Hazel.”
Lift mulai meluncur turun ke bawah, saat Aram menimpali Nathalie. “Sepertinya aku tahu restoran mana yang dimaksud Hazel. Helen juga merekomendasikannya padaku. Aku dan Ben berencana ingin mencoba makanan di sana kalau kami masih harus lembur lagi malam ini. Dan kalau aku tidak salah kira, sepertinya restoran itu adalah milik salah satu kolega bisnisku. Kau masih ingat dengan Sir Thompson? Pria tua yang bulan lalu bertemu dengan—s**t!”
Bersamaan dengan Aram, hampir semua orang yang berada di lift kecuali Nathalie dan Chrissy, mengeluarkan u*****n yang sama. Kemudian untuk beberapa detik, lift terasa seperti bergoyang. Lampu di dalam lift padam, begitu juga semua lampu di setiap lantai. Semua benda yang menggunakan tenaga listrik tidak bekerja sama sekali.
“Apa yang terjadi?” Terdengar suara salah seorang wanita dari dua wanita yang berseragam toko.
“Tenanglah. Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan teknis elektriknya.” Terdengar suara seorang pria menjawab pertanyaan wanita itu. Mungkin salah satu dari tiga pria lain yang berada di lift ini selain Aram, Samuel, Liam dan Ben.
“Di mall sebesar ini masih ada kesalahan teknis elektrik? Yang benar saja.” Aram mulai berkomentar, disambut dengan gelak tawa rendah semua orang di dalam lift itu kecuali Chrissy dan Nathalie.
“Tutup mulutmu, Sayang. Kau membuat lift ini semakin bergoyang karena leluconmu yang sebenarnya tidak lucu itu.” Nathalie menyahuti omongan Aram, dengan kalimat protes yang menuntut.
“Untuk ukuran mall sebesar ini, aku yakin masalah ini tidak akan lama.” Seseorang kembali bersuara, dan Chrissy mengira itu adalah Ben. Suara itu berasal dari sudut ruangan. Chrissy ingat pria itu berdiri di sana.
Dalam keadaan gelap seperti ini, Chrissy memutuskan untuk fokus ke setiap suara. Wanita itu tidak bisa meredam rasa takutnya yang tiba-tiba muncul. Entah kenapa, otaknya memunculkan bayangan-bayangan tersendiri, tentang kemungkinan yang bisa terjadi kalau seandainya penguntit itu berada di sini. Meskipun ia berada di antara orang-orang yang ia kenal, rasa takut itu tidak kunjung melunak.
Chrissy menggoyangkan kakinya, bermaksud menenangkan diri. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, sambil berulang kali menarik napas panjang dan dalam. Ia bermaksud menarik diri dari kesadarannya sendiri, tapi telinganya yang benar-benar peka itu masih bekerja dengan sangat baik, sehingga sulit bagi Chrissy untuk memudarkan fokusnya pada keadaan sekitar. Apalagi saat ia mendengar pekikan sakit salah seorang wanita di belakangnya, yang merasa kakinya terinjak oleh seseorang.
Tidak..tidak...dia tidak ada di sini, Chrissy. Kau harus ten—
Teriakan tanpa suara Chrissy yang hanya berlangsung di dalam kepalanya, menghentikan kalimat penyemangatnya pada dirinya sendiri.
Sentuhan itu hadir lagi, menelusuri lengannya yang tidak ditutupi sehelai benang pun. Chrissy tidak mungkin salah, karena dengan bodohnya, tubuhnya masih mengingat bagaimana cara pria itu membubuhkan sentuhannya.
Semuanya terjadi begitu cepat. Belum habis sensasi yang ia rasakan di lengannya yang mendingin, sentuhan itu sudah berpindah ke dagunya, menekan dan menarik dagu itu hingga wajahnya terdongak ke atas. Di detik selanjutnya, Chrissy merasakan kelembaban yang panas di bibirnya.
Satu detik.
Dua detik.
Dan pada detik ketiga, bibirnya merasa kosong.
“If you shout, I’ll do more.” Pria itu mengancam, berbisik tepat di telinga Chrissy. Kemudian mengulum ujung telinga wanita itu, sambil membubuhkan gigitan kecil.
Kesadaran Chrissy belum sepenuhnya kembali, saat tiba-tiba lampu lift menyala, dan pintu lift terbuka. Satu per satu dari mereka yang berada di dalam lift segera keluar, meskipun mungkin mereka belum mencapai lantai tujuannya.
Chrissy tetap berada di tempatnya, walau orang-orang yang keluar selalu bersenggolan bahkan sedikit mendorongnya. Ia gelagapan, matanya mencari-cari sosok yang mungkin menjadi jawaban dari semua mimpi buruknya.
Mimpi buruk yang sangat nyata.
Wanita itu merasa sedikit limbung saat pria terakhir keluar dari lift itu, dengan cepat menyusul orang-orang yang sudah lebih dulu keluar dari sana. Pria yang mengenakan setelan jas itu lalu berjalan sejajar dengan Ben yang sudah akan menyusul Aram.
Pandangan Nathalie kemudian mengarah ke anak perempuannya, disusul oleh suaminya dan juga tiga pria yang bersama mereka: Liam, Samuel dan Ben.
“Chrissy, apa yang kau lakukan?” Aram memandang heran ke arah putri sulungnya.
Pertanyaan itu dengan cepat memudarkan ingatan Chrissy mengenai apa yang sebelumnya ia lihat.
Ben melirik dari balik bahunya–
–dengan senyum yang tidak mampu Chrissy artikan.