Prosecution | Chapter 12

1835 Words
              “Maaf aku terlambat.”             Chrissy mendongak ke atas, melihat Liam yang baru saja datang. Kedua alis wanita itu terangkat, seiring berkembangnya senyum di bibirnya yang merekah. “Tidak apa-apa. Aku juga belum lama berada di sini.”             Liam bergabung bersama Chrissy, duduk di sisi kosong kursi di sebelah wanita itu. “Kenapa kau tidak bosan sama sekali datang ke kafe ini?” tanyanya, kemudian. Liam memandangi Chrissy yang sedang berusaha menghabiskan es kopinya dengan tatapan heran.             “Sama sepertimu yang tidak pernah bosan duduk di kursi kerjamu, Liam.”             Mendengar Chrissy menimpali dengan sindiran, Liam tertawa. “Jadi, kau mau mengajakku ke mana hari ini?”             Menyadari Liam berusaha mengalihkan pembicaraan, Chrissy mengangkat sebelah alisnya. Ia bermaksud mengembalikan topik pembicaraan mereka, tapi akhrnya memilih untuk menjawab pertanyaan Liam. “Aku tidak tahu. Biasanya kau yang paling tahu ingin pergi ke mana. Aku butuh penyegaran. Akhir-akhir ini terlalu banyak kejadian mengejutkan yang membuat kepalaku pusing.”             Liam berpikir sejenak. “Kau mau nonton?”             “Tidak-tidak.” Chrissy menjawab cepat. Pergi ke bioskop hanya akan mengingatkannya akan Ben, sementara tujuannya hari ini memutuskan pergi bersama Liam adalah karena ia ingin melupakan pria itu, dan semua yang terjadi yang berhubungan dengan pria itu. Mengembalikan kehidupannya kembali ke sedia kala, adalah keputusan paling baik saat ini yang bisa ia ambil meskipun hatinya belum benar-benar bisa menerima perlakuan Ben padanya—apalagi karena pria itu telah ‘berbuat terlalu jauh’.             Satu hal yang bisa membuat Chrissy bertahan  untuk tidak menangis meraung-raung setelah malam pembicaraan antara dirinya dan Ben di bar rumahnya, adalah kepercayaan bahwa karma benar-benar nyata. Sudah dua hari berselang setelah malam itu, tiada hari tanpa Chrissy menyempatkan mengunjungi gereja di dekat rumahnya di pagi hari, untuk mendoakan Tuhan akan menghukum pria itu seberat-beratnya dengan cara apa pun.             Kembali ke pertanyaan hendak ke mana mereka hari ini, Chrissy mengambil ponselnya dari dalam tas yang ia letakkan di pangkuannya, kemudian menyodorkan benda itu pada Liam. “Cari rekomendasi tempat kencan yang bagus di sini,” katanya. “Aku pikir tidak ada salahnya kita mencoba tempat baru yang belum pernah kita kunjungi.”             Liam tersenyum jahil. “Kalau begitu, aku tahu kita harus pergi ke mana,” ujar pria itu, menyodorkan kembali ponsel Chrissy. ***             Chrissy menatap bangunan putih di depannya dengan tatapan muram, sementara Liam yang berdiri di sampingnya sedang tertawa terbahak-bahak. “Apa-apaan ini? Kau mengajakku berkencan di rumahku sendiri?!”             “Kau bilang kau ingin berkencan di tempat yang belum pernah kita kunjungi, kan?”             “BELUM PERNAH KITA KUNJUNGI, LIAM.”             “Kalau begitu, aku membawamu ke tempat yang tepat—maksudku, kita belum pernah berkencan di rumahmu sendiri.”             Chrissy mengembuskan napas pendek. “Kau benar—tapi, kan—“             “Kita bisa melakukan banyak hal di sini, Chrissy. Kita bisa memasak bersama, bersantai di taman belakang, menonton film, atau mungkin....” Liam memainkan kedua alisnya, jenaka.             Chrissy tertawa. Dia tahu betul ke mana arah pembicaraan Liam. “Anything but that, Liam. Jangan lupa tentang kesepakatan kita.”             Liam mengacak-acak rambut Chrissy, gemas. “I know, Chrissy. Kau terlihat terlalu kaku dan tegang entah kenapa. Kupikir, kau butuh sedikit jokes ringan meskipun aku sendiri tidak yakin apakah aku akan selamat dari pukulanmu setelah mengatakan itu barusan.” Liam menautkan jemarinya ke jemari Chrissy. “Jadi kapan kau akan mengundangku masuk?”             “Tanpa aku mengundangmu masuk ke dalam, kau akan mengundang dirimu sendiri, kan?”             “Kau benar.” Liam menyengir, kemudian menggiring Chrissy masuk ke rumahnya sendiri.             Sebastian menyambut kedatangan mereka saat mereka memasuki pintu utama. Kepala pelayan itu sedang memegangi kemoceng bulu berwarna hitam. “Kau sedang membersihkan sesuatu?” tanya Liam.             “Begitulah. Tuan Alford menyuruh saya membersihkan koleksi seninya,” jawab Sebastian. “Saya tidak tahu Nona akan pulang secepat ini. Nyonya sedang pergi keluar dan menyuruh pelayan untuk tidak memasak makanan apa pun karena hari ini dia akan memasak.”             Chrissy menggeleng. “Tidak apa-apa, Sebastian. Liam berencana memasakkanku sesuatu katanya.”             Liam menoleh cepat ke arah Chrissy. “Apa? Aku tidak—“             “Bukankah kau sendiri yang bilang kita bisa memasak bersama?” Chrissy tersenyum jenaka, lalu meninggalkan Liam di belakangnya sementara wanita itu melenggang lebih dulu ke arah dapur.             Di saat yang sama, pintu ruang kerja Aram terbuka. Ben keluar dari dalam sana sambil membawa beberapa map tebal. Baik Ben mau pun Chrissy, sama-sama tidak bisa menghindar saat mereka berdua berpapasan dan akhirnya bertabrakan satu sama lain. Chrissy terjungkal ke belakang, dan Ben masih bisa menahan keseimbangan tubuhnya sehingga hanya map-mapnya saja yang jatuh.             “Kau tidak apa-apa?” Ben mengulurkan tangan. Chrissy menepis, seraya memberikan tatapan tajam ke arah pria itu. Melihat cara Chrissy memandangnya, Ben mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring. “Ah, kau bisa berdiri sendiri.” Kemudian ia berjongkok, merapikan isi map-mapnya yang hampir sebagian besar berhamburan keluar, berserakan di atas lantai.             “Kau tidak apa-apa?” Liam menghampiri Chrissy lalu mengajukan pertanyaan yang sama dengan Ben. Pria itu juga mengulurkan tangannya pada Chrissy dan—berbeda dari apa yang dilakukan pada Ben—wanita itu menerima uluran tangan Liam.             “Aku tidak apa-apa, Liam. “ Chrissy berdiri, sambil menepuk-nepuk pantatnya.             “Kita pernah bertemu sebelumnya, kan? Di mall, makan bersama di restoran.” Liam memastikan ingatannya pada Ben.             “Kau benar,” timpal Ben, santai. “Tuan Alford ada di dalam kalau kau ingin—“             “Na-ah, biarkan dia keluar sendiri dari dalam sana, baru kemudian aku akan menyapanya.” Liam tertawa, sambil sedikit mengintip Aram melalui celah kecil pintu ruang kerja yang terbuka. “Sepertinya dia sedang sangat sibuk.”             Ben terkekeh. “Baiklah kalau begitu,” katanya, berlalu dari Liam dan Chrissy.             Liam menunggu Ben sudah berada di jarak yang cukup jauh, sebelum kemudian ia bertanya pada Chrissy. “Apakah kalian berdua tidak akur?” tanyanya, polos.             “Apa?” Kedua alis Chrissy mengernyit, heran.             “Kau memandangnya seolah-olah dia adalah musuh terbesarmu,” ujar Liam, lagi. “Apa mungkin kalian pernah bertengkar, berdebat, atau—apa pun?”             “Tidak, Liam...” Chrissy menggeleng. “Aku hanya tidak menyukainya.” ***             “Bagaimana rasanya?” tanya Liam. Pria itu terlihat serius menunggu reaksi dan jawaban Chrissy setelah memakan pasta buatannya. “Aku membuatnya dengan sepenuh hati.”             Chrissy dengan sengaja mengunyah pasta di dalam mulutnya dengan gerakan pelan yang dilebih-lebihkan. “Hmm... ini hambar.”             “Benarkah? Jangan dimakan kalau begitu. Aku akan membuatnya la—“             “Just kidding, Liam.” Chrissy tertawa. “Ini enak. Sangat enak. Sepertinya kalau kau membuka usaha restoran dan menjadi koki di sana, kau akan memiliki banyak pelanggan setia.”             “Percayalah, aku berpikir untuk memulai bisnis itu nanti—“ Liam terkekeh, seraya menyuapkan pasta buatannya sendiri ke dalam mulutnya. “Saat kita tua nanti, sepertinya itu akan menjadi investasi yang bagus.”             “Apa?” Chrissy melihat ke arah Liam dengan tatapan terkejut. Kedua matanya membulat, dan bibirnya sedikit terbuka.             “Perlu kuperjelas?” Liam memastikan. “Aku tidak keberatan kalau harus berceloteh panjang lebar untukmu, so that you realize what I feel about you.”             “Aku tidak mengerti, Liam.” Chrissy menggelengkan kepala berulang kali dengan kikuk.             “What I’m going to say is... aku ingin melanjutkan pertunangan kita ke hubungan yang lebih serius, Chrissy. Sebenarnya, aku menunggu waktu yang lebih tepat dari ini—tapi, aku sudah terlalu lama diam dan sepertinya aku tidak bisa menahan perasaan ini lebih lama lagi.”             Chrissy meremas ujung rok selututnya, lalu berdiri. “Liam—bukan maksudku untuk menolak tapi—“             “Aku tahu, Chrissy.” Liam terkekeh. “Kau tidak perlu melanjutkan kalimat itu lebih jauh lagi karena aku tahu apa yang akan kau katakan padaku. Tidak masalah, Chrissy. Paling tidak, kau sudah mengetahui apa yang kurasakan—kau bisa jadikan itu sebagai pengingat agar segera menyelesaikan studimu.”             Chrissy menarik napas dalam-dalam, berbalik memunggungi Liam. Wanita itu menatap air kolam yang bergerak pelan karena gerakan angin yang menerpa permukaan air, dengan tatapan kosong. Tidak bisa bertahan dengan atmosfir yang mulai mendingin antara dirinya dan Liam, Chrissy memutuskan untuk menjauh sesaat. “Aku haus. Kau mau minum sesuatu?”             “Ah, kau benar. Aku lupa membawakan minuman.” Liam menepuk keningnya. Chrissy lega melihat pria itu tetap bersikap biasa. “Bagaimana dengan cola? Kau menyimpannya di lemari pendingin?”             Chrissy mengangguk. “Satu kaleng cola dingin akan segera datang.”             Menjauh dari Liam, barulah Chrissy bisa bernapas lebih lega.             Barusan, Liam mengatakan sesuatu yang sudah Chrissy tunggu sejak lama. Pria itu berniat melanjutkan hubungan mereka, bukan hanya karena berdasarkan perjodohan yang telah ditentukan kedua orangtua mereka. Bukankah seharusnya Momen tadi adalah saat-saat yang paling membahagiakan bagi Chrissy? Lantas, kenapa sekarang ia malah merasakan sesak?             Chrissy berjalan lunglai memasuki pintu yang menghubungkan taman belakang dengan dapur. Baru saja ia melangkahkan kakinya beberapa langkah, ia menyadari kehadiran Ben yang sedang duduk di kursi bar sambil menghadap laptop. Pemandangan itu membuatnya ingin memundurkan langkahnya, tapi rasa haus yang semula hanya kebohongan kecil untuk membebaskan Chrissy dari suasana canggung dengan Liam, tiba-tiba jadi terasa nyata di tenggorokannya. Ah, kalau dipikir-pikir, ini hampir menyerupai kejadian di malam itu; merasa haus, pergi ke dapur, bertemu Ben yang sedang duduk di bar, dan... boom!             Ben yang mengetahui kehadiran Chrissy hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus pada layar bercahaya di hadapannya. Sikapnya itu membuat Chrissy geram setengah mati, tapi ia memilih untuk tidak terlalu terbawa perasaan. Wanita itu memutuskan untuk segera menyelesaikan tugasnya, dan pergi.             Chrissy membuka pintu lemari pendingin, berdecih setelah mengetahui tidak ada Coca Cola, atau bahkan persediaan minuman dingin yang biasa ia minum di dalam sana. Menutup pintu kulkas, pandangan Chrissy tertuju kepada lemari penyimpanan minuman di bawah meja bar. Setelah memastikan Ben sepertinya tidak akan mengacuhkan kehadirannya lebih jauh lagi, Chrissy melangkah ke arah meja bar, berjongkok, kemudian membuka lemari penyimpanan dan mengambil empat kaleng cola, sekaligus ember kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan es.             “Berkencan di dalam rumah, eh?”             Chrissy nyaris menjatuhkan ember berisi kaleng-kaleng cola, saat baru saja berdiri dan menemukan Ben tengah bersandar di tiang bar sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Sejak kapan pria itu bergerak dari kursinya? Chrissy bahkan tidak bisa merasakan gerakan pria itu.             “Kau hampir membuatku menjatuhkan ini.” Chrissy mencebik. “Di mana pun tempat yang kujadikan tempat berkencan bukan urusanmu.”             “Memang bukan urusanku.” Ben mengangkat sebelah alisnya, sudut bibirnya ikut tertarik ke dalam, membentuk senyuman pendek. “Tapi, aku jadi sedikit penasaran.”             “Kau tidak memiliki hak untuk penasaran tentang apa saja yang aku kerjakan.”             “Dan kau tidak berhak untuk menentukan apa saja yang bisa menjadi hak-ku dan bukan, Chrissy.” Ben mendekati Chrissy, membuat wanita itu refleks melangkah mundur dan terpojok di bar.             “Ben, aku bisa berteriak—“             “Then just shout. I don’t think they will put me in jail only because of this.” Ben menjulurkan tangannya ke atas mengambil salah satu gelas, lalu menunjukkannya tepat di depan wajah Chrissy. “Kau pikir hanya kau yang haus? Aku juga ingin minum,” lanjutnya, seraya menjauh dari Chrissy yang masih berkutat dengan debaran keras di Dadanya.             
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD