Prosecution | Chapter 11

893 Words
            Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Chrissy merasa sangat haus, jadi ia memutuskan untuk turun ke dapur meskipun kedua matanya terasa sangat berat. Dia baru saja menyelesaikan tugasnya setengah jam yang lalu, dan baru tertidur kurang lebih lima belas menit sebelum akhirnya terbangun karena rasa kering di tenggorokannya.             Sambil menarik kedua sisi mantel satinnya, Chrissy menuruni tangga. Matanya yang setengah menyipit menahan kantuk tiba-tiba terbuka lebar saat melihat sebuah siluet seseorang sedang duduk di bar dapur. Orang itu tengah menatap layar laptop yang bersinar terang di antara keremangan lampu bar, sementara sisi lain seisi ruang di sekitarnya dibiarkan gelap.             Tidak perlu berpikir terlalu lama bagi Chrissy untuk mengetahui siapa sosok itu.             Ben. Daddy-nya tadi sore mengabarkan kalau pria itu akan menginap malam ini di rumah. Chrissy tahu saat ia tak sengaja mendengar percakapan antara Aram dan Nathalie di telepon. Nathalie saat itu membesarkan volume suara ponselnya saat menerima telepon dari Aram. Karena saat panggilan telepon itu terjadi, Chrissy dan Nathalie sedang berada di bandara mengantarkan Samuel dan waktu itu keadaannya sangat ramai.             Chrissy menghentikan langkahnya saat ia sudah mencapai anak tangga terakhir di bawah. Wanita itu tidak tahu harus berwajah seperti apa saat berjalan ke dapur. Apakah dia harus diam saja seolah-olah Ben tidak ada di sana? Atau haruskah dia menyapa meskipun hanya mengucapkan ‘hai’? Tapi, untuk apa dia berbaik hati pada seseorang yang jelas-jelas sudah menganggunya? Lagipula kalau dipikir-pikir, setelah pengakuan di hari itu, Ben sama sekali tidak melakukan apa pun. Tidak ada permintaan maaf bahkan penjelasan.             Entah apakah karena sudah ketahuan, tapi sejak hari itu Chrissy tidak pernah lagi menerima gangguan apa-apa lagi. Kehidupannya kembali ke titik normal seperti apa yang diinginkannya. Tapi, alih-alih merasa lega, Chrissy merasakan sebuah ganjalan di dasar hatinya.            Chrissy merasakan tidak tenang saat melihat Ben bisa berkeliaran di sekitarnya dengan bebas. Tersenyum menyapanya di depan Aram atau Nathalie, namun ketika mereka berpapasan tanpa ada siapa pun di sekitar mereka, Ben akan bersikap seperti tidak melihat Chrissy sama sekali. Chrissy tidak bisa memahami, bagaimana bisa pria itu bersikap biasa seolah tidak ada apa pun yang terjadi, bahkan setelah dirinya sudah ketahuan?             Mengalami perubahan emosi secara tiba-tiba, sekaligus memanfaatkan kesempatan yang tidak mungkin datang untuk kedua kalinya. Hal yang terjadi selanjutnya adalah Chrissy menemukan dirinya berjalan cepat ke arah bar dengan perasaan kesal di atas rata-rata yang biasa ia rasakan selama ini. Dia menghampiri Ben, berdiri berhadapan dengan dipisahkan meja bar. Tentu saja, pria itu langsung menghentikan aktifitasnya begitu menyadari kehadiran Chrissy.             “Sebenarnya, apa maumu, Clayton?” Chrissy melipat kedua tangannya di depan d**a.             “Apa maksudmu?” Ben sama sekali tidak menjawab pertanyaan Chrissy. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung yang tidak dibuat-buat.             “Setelah semua yang terjadi—“ Chrissy berhenti sejenak, barusan ia merasakan dorongan yang kuat ingin menampar Ben. Ini adalah kesempatan yang bagus, tapi mengeluarkan isi hatinya dan mengetahui apa yang diinginkan dan dipikirkan pria itu lebih tepat daripada harus menuruti ledakan amarahnya. “Hhh—kau—bagaimana bisa kau bersikap sesantai itu saat menghadapiku? Don’t you remember every single things that you did to me? Kalau ada kata yang lebih tepat untuk mendefinisikan dirimu melebihi kata ‘berengsek’ aku akan mengucapkannya berkali-kali padamu.”             Melihat tidak ada reaksi berarti dari Ben, Chrissy melanjutkan. “Kau melecehkanku secara seksual, dan mental. Aku bisa memperkarakan apa yang kau lakukan padaku secara hukum! Tunggu sampai aku melaporkanmu kepada—“             “Ayahmu?” Ben memotong. “Dan bukti apa yang bisa kau tunjukkan untuk membuktikan kalau aku adalah pelakunya? Kau sedang berbicara dengan seseorang yang lebih memahami perihal hukum melebihi dirimu, Nona. Dan satu lagi, bukankah seharusnya kau bisa lebih tenang meneruskan hidupmu tanpa gangguan dariku? Oh... atau mungkin—keadaannya sekarang berbalik?” Ben tersenyum miring. “Jangan-jangan, sekarang kau mulai memperhatikanku diam-diam?”             Chrissy memukulkan kedua tangannya ke atas meja bar. Gelas-gelas yang menggantung di atas kepalanya pun bergoyang karena getaran meja. “F—“             “Language.” Ben menempelkan pena yang ia pegang ke bibir Chrissy. Mencegah wanita itu menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya. “Aku tidak percaya Tuan Alford mengajarkanmu berbicara seperti itu, terutama pada orang yang lebih tua,” lanjutnya, menyapukan ujung pena tersebut ke bibir Chrissy, seolah-olah mewakili jemarinya sendiri menelusuri bibir kemerahan itu. “But, I’m curious.... what kind of dirty words could you make, when you squirm under my ministration?”             Chrissy masih membeku saat Ben menegakkan tubuhnya, beranjak dari kursi dengan membawa gelas kosong yang dia ambil dari gantungan bar. Pria itu berjalan ke lemari pendingin, membukanya, dan mengisi gelas yang ia pegang dengan air dingin. Setelah itu, ia kembali kepada Chrissy.             “Sayangnya, aku tidak tertarik pada ‘buruan’ yang sudah menyadari ‘pemangsanya’. Kau kehilangan ‘pesonamu’, Nona...” ujar Ben setengah mendesis, seraya menyerahkan gelas berisi air itu pada Chrissy lalu melanjutkan, ”...or do you have something more interesting, Chrissy?”             Chrissy merapatkan kedua belah bibirnya rapat-rapat seraya mengambil dengan kasar gelas yang disodorkan Ben padanya. Wanita itu lalu menyiramkan isi gelas yang ia pegang itu ke wajah Ben, dengan segenap amarahnya.             Ben menggigit bibir bawahnya sendiri sambil menahan senyum, sementara Chrissy meletakkan gelas kosong yang ia pegang di atas meja bar.             Sebelum berlalu ke kamarnya, Chrissy terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu pada Ben. Namun, ia memilih untuk meredam keinginannya. Berlama-lama dengan pria itu, hanya akan mendatangkan mimpi buruk untuk dirinya sendiri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD