Chrissy melangkah gontai menuju ruang makan. Kedua tangannya penuh memegangi tas dan map-map tugas kuliah yang berhasil ia selesaikan dalam semalam, meskipun sebagian besar bukan tugas yang akan dikumpulkan hari ini. Dia mengerjakan tugas-tugas itu hanya untuk menjauhkan kepalanya dari pikiran-pikiran yang tidak penting tentang bunga dari pria berengsek yang telah—ah, she really can't stand it.
"Aku baru saja ingin naik dan membangunkanmu, Chrissy." Nathalie menoleh sekilas ke arah Chrissy yang menghampirinya, setelah sebelumnya menaruh barang-barangnya di kursi meja makan. "Selamat pagi," kata Nathalie, menyambut kecupan hangat dari Chrissy di pipinya.
"Tidak pernah ada kata terlambat bangun pagi dalam kamus hidupku, Mom. Kau yang paling tahu." Chrissy mengambil sepiring tumpukan roti bakar dan sosis panggang buatan Nathalie untuk sarapan pagi ini, lalu membawanya ke ruang makan dan mulai menata piring-piring itu. Nathalie tampak mengikuti dari belakang sambil membawa sebuah teko berisi teh hangat.
Tak lama setelah selesai menata piring dan gelas, Aram memasuki ruang makan bertepatan dengan Chrissy dan Nathalie yang baru saja mendaratkan b****g mereka ke kursi masing-masing. Pria itu terlihat terburu-buru mengancingkan kedua kancing pergelangan kemejanya, dan Sebastian mengekorinya sembari membawa jas hitam yang senada dengan celana Aram.
"Sepertinya aku harus melewatkan sarapan pagi ini—" Aram berhenti meneruskan kalimatnya saat bertemu pandang dengan Nathalie. Ia terdiam beberapa detik, kemudian berdeham kikuk. "—well, sepertinya aku bisa memakan satu potong roti dan beberapa potong sosis panggang...."
"Sarapan itu penting, Sayang." Nathalie memberi penekanan berlebih saat menyebut kata ‘sayang’. "Kita sudah sering membahas ini, jadi jangan coba-coba—"
"Aku tahu," potong Aram. "Tadi aku hanya sedang—ah, lupakan—anggap aku tidak mengatakan apa-apa." Aram tersenyum manis, menggeser kursinya, lalu duduk. Sambil mengambil roti dan sosis, Aram beberapa kali mengamati wajah Chrissy yang sedang mengunyah sarapannya perlahan, kemudian pria itu mendesah. "Hhh... jam berapa kau tidur semalam, Cheesy?"
"Aku belum tidur, Dad," jawab Chrissy, singkat.
"Memangnya sebanyak apa tugasmu? Ini bukan karena kau juga mengerjakan tugas yang batas pengumpulannya pun masih lama, kan?" Melihat reaksi diam Chrissy, Aram bisa menebak jawabannya. "Ah, lagi-lagi..."
Chrissy terkekeh pelan, "Aku tidak bisa tidur semalam. Kukira dengan mengerjakan tugas-tugas itu aku bisa mengantuk."
Aram berpaling pada Nathalie. "Apakah ini sesuatu yang kalian sebut insomnia akut?"
Nathalie memelankan kunyahannya, ia tampak berpikir. "Kau mau aku membawamu ke dokter?" tanya Nathalie pada Chrissy.
Chrissy menggeleng. "Tidak perlu, Mom. Ini bukan sesuatu yang harus dicemaskan."
"Apa kau yakin?" tanya Aram. "Atau kau menginginkan sesuatu? Berlibur beberapa hari di kepulauan Karibia mungkin? Siapa tahu kau bisa lebih rileks."
"Tidak, Dad..." Lagi-lagi Chrissy menggeleng.
Aram menatap Chrissy sejenak, kemudian menghela napas panjang nan berat. "Baiklah, kalau memang tidak ada yang harus kulakukan—dengan siapa kau akan berangkat pagi ini?"
Chrissy melihat jam di tangannya. Sepertinya belum terlalu terlambat kalau dia ingin pergi sendiri naik bus. "Aku bisa pergi sendiri, Dad. Kau tidak perlu mengantarku—bahkan Sebastian." Wanita itu beralih pada Sebastian, yang segera menundukkan kepala tanda mengerti begitu bertatapan dengan Chrissy.
"Hari ini kau telah menolak Daddy-mu berkali-kali, Cheesy." Aram mengernyitkan kening, menunjukkan ekspresi kecewa. "Hari ini aku tidak berangkat sendirian. Ben akan menjemputku, dan kami akan pergi menggunakan mobilnya. Kau bisa memakai mobilku kalau kau mau—kau bisa mengendarainya sendiri, tapi aku lebih suka jika kau menyuruh seseorang menyetir. Kau kurang tidur, kau tahu maksudku."
"Karena itulah aku memilih naik bus, Dad." Chrissy terkekeh. "Lagipula, aku tidak terlalu suka mengendarai mobil Dad yang terlalu menarik perhatian itu."
"Maafkan Daddy-mu yang memiliki selera sangat bagus." Aram tertawa, sambil menaikturunkan kedua alisnya yang tebal.
Tawa Aram perlahan mereda ketika ia menyadari kehadiran seseorang yang belum lama berdiri di depan pintu ruang makan. Pintu itu hanya tertutup setengah, memunculkan sebagian figur seorang pria yang mengenakan setelan jas biru tua melalui celahnya. Pria itu seperti sedang menunggu saat yang tepat untuk mengetuk pintu dan masuk, tapi Aram sudah lebih dulu memanggil namanya.
"Masuklah, Ben," kata Aram, menyeka bibirnya dengan tisu, setelah sebelumnya menghabiskan secangkir teh hangat.
"Selamat pagi, Sir..." Ben membungkuk bergantian ke arah Aram, Nathalie, dan Chrissy. "Aku hanya ingin memastikan apakah kita sudah bisa pergi sekarang atau tidak," lanjutnya, melangkah masuk melewati ambang pintu, lalu berhenti.
"Kau tidak ingin sarapan dulu? Aku yakin kau belum sempat mengisi perutmu." Aram memberi isyarat agar Ben bergabung. Dan ketika pria itu menunjukkan ekspresi ingin menolak, Aram mempertegas tatapannya sehingga mau tidak mau Ben pun menurut.
"Kalau begitu, mungkin secangkir teh hangat akan menyenangkan," kata Ben, mengedikkan bahu. Tak berselang lama, pria itu sudah duduk berseberangan dengan Nathalie, tepat di sebelah kiri Aram.
"Aku akan membantu Mom membereskan piring-piring yang sudah kosong." Chrissy ikut berdiri, mengikuti Nathalie yang mulai menumpuk satu per satu piring dan cangkir yang sudah kosong.
"Sepertinya Dad cukup dekat dengan pria itu." Chrissy memulai pembicaraan, saat dia dan Nathalie baru saja keluar dari ruang makan, tengah berjalan menuju dapur. "Kemarin aku melihatnya bersama pegawai lain yang datang ke rumah ini. Apa dia salah satu pegawai yang setia atau bagaimana?"
"Yah... dia pengacara yang baru saja dikontrak—hmm, tidak begitu baru sebenarnya karena kurang lebih dia sudah bekerja selama hampir dua tahun dengan kita. Akhir-akhir ini dia lebih sering muncul di dekat Daddy-mu, karena ada proyek besar yang baru saja dikerjakan oleh Daddy-mu. Ben sangat kompeten di bidang itu."
Chrissy manggut-manggut mengerti. "Rasanya aneh melihat orang lain selain Sebastian membantu Daddy. Biasanya Daddy sangat pemilih dalam hal kepercayaan," katanya, menaruh tumpukan piring dan cangkir di bak cuci piring. "Mom mau kubantu atau...?"
"Tidak perlu, kau bisa terlambat masuk kelas pertamamu."
"If you say so..." Chrissy mencium kedua pipi Nathalie, lalu segera beranjak menuju ruang makan untuk mengambil barang-barangnya.
Ketika Chrissy sampai di sana, Aram dan Ben sudah tidak ada. Chrissy melongok ke jendela ruang makan yang terbuka, yang menampilkan langsung halaman depan rumah, dan melihat sebuah mobil BMW hitam baru saja keluar dari gerbang pagar. Mungkin itu Daddy-nya dan Ben.
Setelah mobil itu menghilang dari pandangannya, barulah Chrissy mulai merapikan barang-barangnya sendiri, lalu melenggang pergi meninggalkan ruang makan.
***
Hari ini sepertinya adalah hari keberuntungan Chrissy. Setelah mati-matian berusaha memahami materi kelas pertama yang sama sekali tidak bisa masuk ke otaknya, tiba-tiba saja dua kelas selanjutnya ditiadakan.
Jadi, Chrissy memutuskan menghabiskan waktu dua kelas yang ditiadakan itu, dengan menikmati ice mochacino di kafe langganannya di dekat kampus. Beberapa teman sekelasnya ternyata ada yang memiliki rencana sama, jadi ia sempat berpapasan dengan mereka sekaligus berbincang sebentar sebelum mereka mendapatkan meja mereka sendiri. Sebenarnya Chrissy menawari mereka untuk tetap duduk bersamanya, tapi mereka menolak karena tidak ingin menganggu Chrissy dengan obrolan tugas mereka tentang mata kuliah lain.
Menatap ke layar ponselnya, Chrissy menghela napas. Ia sudah membaca hampir semua berita di situs berita langganannya, dan ia sedang tidak ingin menyelesaikan tugas kuliahnya segera seperti yang biasa ia lakukan, tapi... dia juga tidak ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Menghabiskan waktu di rumah hanya akan membuatnya semakin mengingat hal yang sedang sangat ingin ia lupakan—bunga, dan pria asing yang menganggunya.
Tunggu dulu... bukankah sendirian di luar seperti ini juga berbahaya? Bagaimana kalau ternyata diam-diam pria itu mengikutinya?
Chrissy menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, mengamati satu persatu wajah pengunjung kafe sekaligus pelayan-pelayannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat mencurigakan. Semuanya melakukan sesuatu yang wajar.
Chrissy menyesap sisa ice mochacino-nya. Memikirkan kemungkinan keberadaan orang asing itu di dekatnya, malah membuatnya tidak bisa tenang. Setidaknya berada di rumah lebih aman, meskipun itu bukan sepenuhnya ide yang bagus saat pikirannya sedang kacau seperti ini.
Sebelum pulang, Chrissy pergi ke kamar mandi kafe untuk merapikan diri. Ia hanya ingin merapikan tatanan rambut dan memoles ulang lipstiknya. Tidak akan memakan waktu lama, jadi Chrissy memutuskan meninggalkan barang-barangnya di atas meja, setelah sebelumnya menitipkannya pada teman-teman yang tadi berbincang dengannya. Meja mereka hanya terpisah beberapa langkah saja.
Sekembalinya dari kamar mandi, Chrissy mulai memasukkan buku catatan dan alat tulis yang sempat ia keluarkan.
Saat ia akan mengangkat buku catatannya, pandangan Chrissy terpaku pada selembar tisu yang tertumpuk di bawah buku itu. Seketika jantungnya berdebar keras, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kafe dengan tatapan nanar. Masih berusaha menenangkan perasaannya, Chrissy segera beralih ke meja teman-temannya.
"Apa—apa kalian melihat seseorang mendekati mejaku?"
Salah seorang dari mereka yang berambut pirang, Shanon, merespons, "Tidak ada yang mendekati mejamu, hanya beberapa pelayan yang berlalu-lalang mengantar pesanan. Ada apa? Kau kehilangan sesuatu? Aku dari tadi mengamati dan tidak terjadi sesuatu. Atau aku melewatkannya?"
"Tidak—bukan begitu." Chrissy cepat-cepat meralat, sebelum Shanon merasa melakukan sesuatu yang salah padahal tidak. "Aku hanya memastikan..." lanjutnya, membubuhkan senyum.
Berjalan dengan kaki yang seperti tidak bertenaga, Chrissy nyaris seperti menyeret kakinya sendiri. Wanita itu kembali ke mejanya, tidak melanjutkan membereskan barang-barangnya melainkan hanya duduk terdiam, memandangi tisu di hadapannya dengan tatapan ngeri.
Sebuah tulisan dengan tinta hitam yang sedikit tidak rata tercetak jelas di sana.
Hi, Beautiful! Have a nice day...’