Prosecution | Chapter 6

1284 Words
                        Chrissy sadar. Salah satu cara untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa takut akan pengikut rahasianya adalah dengan menyibukkan diri.             Hari ini, ia memutuskan menerima ajakan Liam untuk nonton di bioskop. Sialannya, pria itu malah memesan tiket film horor—jenis film yang paling dihindari Chrissy karena dia penakut.             Chrissy menatap ngeri ke layar bioskop di depannya. Adegan yang sedang dimunculkan adalah adegan di mana si pemeran utama sedang bersembunyi di dalam lemari, melindungi diri dari kejaran hantu—which is stupid—karena hantu adalah makhluk halus yang bisa menemukan si korban di mana saja.             Sebenarnya dia bisa saja merengek pulang kepada Liam, dan sudah dapat dipastikan seratus persen pria itu akan menuruti keinginannya. Tapi, Chrissy tidak bisa menghancurkan kesenangan Liam begitu saja. Jadi, demi keselamatan jantung juga demi kesehatan kandung kemihnya yang sudah penuh, Chrissy memilih untuk menyingkir.             “Hei, Liam... I’m going to the toilet.”             Chrissy segera keluar dari bioskop setelah menerima anggukan mengerti dari Liam. Entah pria itu benar-benar mendengarkan, atau hanya sekadar asal mengiyakan omongan wanita itu karena terlalu fokus menonton film.             Toilet terletak di ujung lorong teater tempat filmnya diputar. Tidak ada banyak orang yang berada di sepanjang lorong. Chrissy pikir, semua orang sedang duduk manis di dalam teater. Itu menjadi pengingatnya untuk segera kembali, sebelum Liam panik mencarinya—yah, meskipun bisa jadi pria itu tidak akan mencarinya kecuali film sudah selesai diputar.             “Ups, sorry!” Chrissy meminta maaf pada seseorang yang tak sengaja bersinggungan bahu cukup keras dengannya, di depan pintu masuk toilet perempuan. Orang itu baru saja keluar dari toilet laki-laki. Wanita itu merasa sedikit berdosa karena meminta maaf pada seseorang tanpa menatap wajah orang itu. Tapi masalahnya, dia benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan desakan kuat di kandung kemihnya.             Di depan wastafel panjang, ada dua orang wanita yang tampak bercakap-cakap, mungkin membicarakan film yang baru saja mereka tonton. Chrissy masuk ke bilik kedua dari kanan, tepat saat ia mendengar pintu toilet terbuka dan menutup, lalu kembali membuka.             Merasa lega usai menuntaskan keinginannya, Chrissy keluar dari bilik toilet sambil sedikit bersenandung riang. Dan ketika Chrissy mengarahkan pandangannya ke cermin toilet, senandung riangnya seketika berhenti. Ia menutup mulutnya menggunakan kedua tangan yang mengatup menempel satu sama lain. Dengan tangan gemetaran, Chrissy menyentuhkan ujung jemarinya ke cermin, lalu mulai membaca dalam hati...             Are you afraid of me, Chrissy?             Chrissy segera berlari keluar usai membaca tulisan itu.             Dia bersumpah, cermin itu benar-benar bersih saat ia masuk ke dalam! Lantas, bagaimana bisa dalam waktu sesingkat itu dia bisa masuk dan menulis di sana? Di mana dia?!             Chrissy memasuki teater dengan pikiran kalut. Suara efek film horor yang bergaung keras, sama sekali tidak lebih menyeramkan dari sebaris kalimat yang ia baca di cermin toilet.             Tentu saja ini sudah keterlaluan, kan? Siapa yang tahu orang itu akan melakukan hal yang lebih berani? Semakin hari, ‘dia’ semakin menunjukkan keberadaannya di sekitar Chrissy, seakan-akan reaksi yang ditunjukkan Chrissy adalah sesuatu yang menarik untuk dinikmati.             Chrissy mendapatkan sedikit ketenangan sesaat setelah ia kembali duduk, dan bersandar pada Liam. Pikiran tentang tulisan di cermin yang sangat menganggunya pun perlahan sirna, saat ia memfokuskan diri pada adegan di layar bioskop; si tokoh utama sedang menyusuri lorong gelap nan panjang, suara napasnya yang terengah-engah terdengar jelas, dan... semua menjadi gelap.             Di saat Chrissy merasakan ketegangan kembali menyergapnya, sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh keningnya. Kemudian, ia mendengar bisikan...             “Don’t you know that your terrified face turns me on?”             Layar pun menyala. Chrissy adalah satu-satunya orang yang duduk sendirian di deretan kursinya. Yang barusan bukan Liam... tentu saja bukan. Tunangannya itu baru saja menaiki tangga bioskop menuju kursi yang kosong di sebelah Chrissy.             “Pergi ke toilet di tengah-tengah film seru itu menyebalkan—Apa aku melewatkan sesuatu?” tanya pria itu, tanpa tahu apa yang baru saja terjadi pada Chrissy. ***             “Kau bilang tidak ingin kuliah hari ini.” Liam menghentikan mobilnya beberapa meter sebelum gerbang kampus Chrissy. “Apa kau tidak lelah? Ekspresimu setelah menonton film horor tadi benar-benar membuatku khawatir. Kau pucat. Apa itu sangat menyeramkan?”             Chrissy menggeleng. “Tidak... bukan itu. Aku hanya merasa sedikit kurang sehat.”             “Kalau begitu kenapa kau memaksakan diri untuk pergi ke sini? Mengurangi satu saja daftar kehadiran sepertinya tidak buruk sama sekali, Chrissy.”             “Ya, kau benar—tapi, sepertinya akan ada sesuatu yang buruk kalau aku tidak hadir di kelas hari ini. Siapa tahu akan ada kuis tiba-tiba? Atau mungkin tugas kelompok? Aku tidak ingin mendapatkan kelompok sisa hanya karena tidak menarik undian.”             Liam tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. “Baiklah. Tapi aku tidak bisa menjemputmu.”             “Tidak masalah. Daddy bilang dia bisa menjemputku.”             “Sampai jumpa lagi, Chrissy.” Liam mengusap-usap puncak kepala Chrissy. “Kabari aku kalau terjadi sesuatu. Paling tidak aku bisa mengutus seseorang untuk menjemputmu kalau Daddy-mu terlalu lama.”             “Trims, Liam. Hati-hati di jalan.”             Chrissy keluar dari mobil Liam, segera berjalan cepat melewati gerbang tanpa menoleh ke arah Liam yang membunyikan klakson saat melintas mendahuluinya.             Sebenarnya Chrissy sendiri tidak yakin apakah keputusannya menghadiri kuliah hari ini akan menjadi keputusan yang benar. Dia hanya ingin melupakan apa yang baru saja terjadi di bioskop. Mungkin, menghabiskan waktu berkutat dengan materi-materi kuliah akan sedikit membebaskan perasaan takut yang perlahan kembali menggerogoti pikirannya tanpa henti. Dan siapa tahu, ia akan mendapatkan sedikit pencerahan—apakah ia akan melaporkan hal ini pada Aram atau tidak. ***             Chrissy keluar dari kelas dengan perasaan campur aduk. Nyatanya melarikan diri mencari pengalihan di kampus tidak membantu sama sekali. Wanita itu malah tidak bisa berkonsentrasi karena selama kelas berlangsung, suara teman-teman lawan jenisnya yang sekelas dengannya menDadak terdengar seperti suara pria asing itu.             Chrissy berjalan cepat menuju gerbang kampus sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ponselnya mati, dia tidak bisa menghubungi Aram. Satu-satunya jaminan agar ia bisa pulang dengan Daddy-nya itu, adalah menunggu di tempat biasa mereka janjian.             Untungnya, dari depan gerbang kampus, Chrissy melihat Aram melambaikan tangannya. Daddy-nya itu sedang bersandar pada sebuah mobil yang bukan miliknya. Di sebelah pria itu ada Ben yang mengenakan kacamata hitam. Sinar matahari menjelang senja memang menyilaukan dan lumayan menganggu konsentrasi menyetir.             “Dad....” Chrissy memeluk Aram cukup lama, tidak memedulikan beberapa pasang mata yang mengawasi tingkah mereka. “Aku sangat lelah hari ini.”             “Yah, Liam bilang kau sedikit tidak sehat sepulang dari menonton film.” Aram membukakan pintu mobil untuk Chrissy. “Masuklah, kita akan segera sampai di rumah. Ben pengemudi yang baik, kau bisa tidur tenang selama perjalanan.”             Chrissy menoleh sekilas ke arah Ben, tersenyum seraya menganggukkan kepala, sebelum kemudian masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, Aram dan Ben memasuki mobil setelah Chrissy.             “Bagaimana kalau kita ke dokter saja?” Ben membuka pembicaraan, seraya menatap Chrissy melalui rear view mirror. Pertanyaan Ben membuat Aram menoleh ke belakang, menatap cemas ke arah putrinya yang sama sekali tidak menunjukkan emosi apa pun selain terlihat bingung.             “Cheesy?” Aram mengulurkan tangannya ke belakang, mengusap pipi Chrissy, lembut. “Kau ingin Daddy membawamu ke dokter? Rumah sakit? Kalau dilihat dari dekat seperti ini, kau memang terlihat pucat. Kau benar-benar sakit? Atau ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?”             Chrissy menggeleng. “Bibirku terlihat lebih pucat dari biasanya karena warna lipstikku yang memudar, Dad, dan juga... ini tidak separah yang kau kira. Aku hanya kelelahan....” Chrissy tidak menjawab pertanyaan mengenai ‘sesuatu’ yang menganggu pikirannya.             Daddy-nya terlihat lebih lelah dari biasanya. Menceritakan masalahnya hanya akan menganggu konsentrasi bekerja pria itu. Tentu saja Chrissy tidak sampai hati menambah pikiran Aram. Setidaknya untuk saat ini dia bisa mengatasinya sendiri.             Si stalker sialan itu hanya akan mendekatinya saat Chrissy sedang sendirian. Chrissy pikir, selama dia tidak bepergian ke mana pun sendiri, dan mengurangi intensitas mengunjungi tempat-tempat umum terbuka selain kampus, dia akan baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD