TERHARU 🥺🥺🥺

1035 Words
Mobil yang dikemudi Rayn memasuki halaman rumah. Leyra terkesima akan interior rumah yang tampak mewah sekaligus minimalis. Halamannya, hanya ditumbuhi setidaknya 3 pohon pinus serta air pancur yang cukup menenangkan mata. "Selamat datang, Tuan!" sambut antusias dari seorang security. Rayn dan Leyra keluar dari mobil. "Apa kami terlambat?" tanya Rayn sembari memberi kunci mobil. Sang security menggeleng, "nyonya Sania juga baru tiba," jawabnya sembari melirik Leyra. Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. "Tuan, Anda telah tiba," ucap seorang pria paruh baya. Rayn tersenyum, "bagaimana kabarmu Pak Roland?" Bukannya menjawab, yang dipanggil namanya itu menatap kedua pasangan yang di hadapannya dengan tatapan haru. "Nona Leyra, sangat cantik." "Terima kasih pujiannya," ucap Leyra dengan wajah bersemu malu. "Ayo masuk, makan malam akan segera tiba," ujar Roland sembari memimpin mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Setelah melewati ruangan utama, Roland pamit untuk mengerjakan pekerjaannya yakni memperhatikan pelayan dapur. Tinggallah Rayn dan Leyra yang melangkah masuk dan kembali canggung. "Rumahnya bagus," ucap Leyra menatap takjub. "Ini, hasil kerja keras mereka sebelum sukses. Dulunya, ini hanya lahan kosong setelah bekerja keras ayah dan ibu membangun rumah impian mereka," jelas Rayn. Leyra tersenyum, "dulu, aku selalu berangan-angan punya rumah impian dan akan mewujudkannya. Rumah yang indah dengan kolam renang meskipun aku tidak bisa berenang." Rayn terpaku, "apa di dalam rumah impianmu itu ada aku?" tanyanya. Leyra terdiam. "Sudahlah jangan diambil serius, ayo kita--" "Tentu saja...." "Maksud saya, rumah impian saya sudah berubah. Bagaimana pun bentuknya, asalkan ada Anda di dalamnya, itu impian saya sekarang," jawab Leyra. Rayn terdiam, tak sadar air matanya terjatuh. "Anda kenapa menangis?" Leyra menghapus air mata Rayn. Rayn tersenyum, ia lalu menggenggam tangan Leyra. "Ayo kita sudah terlambat," ujarnya sembari kembali melanjutkan langkahnya. Sedikit lagi, langkah mereka sampai tujuan, yakni ruang makan. Akan tetapi.... "Kakak ipar, aku kan sudah bilang tidak pernah menyetujui pernikahan itu. Rayn, ku yang malang. Bisa-bisanya, menikahi yang bahkan hanya seorang anak angkat!" Terdengar suara wanita tengah mengumpat kekesalannya. Leyra yang shock, menghentikan langkah kakinya yang terasa berat. Rayn yang mulai tersulut emosi hendak melanjutkan langkahnya namun ditahan Leyra. "Tolong, jangan hancurkan acara penting ini," bisik Leyra. "Mereka bahkan belum punya anak, padahal sudah menikah selama 2 tahun. Dan bisa-bisanya wanita itu hilang ingatan. Kakak, bukankah Anda merindukan langkah kaki mungil serta suaranya yang imut setiap kali memanggilmu nenek. Daripada menghabiskan waktu dengan wanita yang tidak berguna lebih baik cari wanita lain saja." "Rayn, kumohon untuk tidak mengungkit ini. Ayo, berpura-pura tidak tahu. Aku baik-baik saja," ujar Leyra sembari tersenyum. Rayn menghela napas panjang,berusaha menahan amarahnya, "lebih baik kita pulang saja," jawabnya sembari menarik tangan Leyra. Lagi dan lagi, Leyra menolaknya, "tolong jangan merusak acara spesial ini. Aku mohon," ucap Leyra. Rayn membuang napas, ia lalu mengangguk. Ia kembali menggenggam tangan istrinya itu lalu berjalan menuju arah suara tadi berada. Makan malam berjalan lancar, tak ada suara apapun terkecuali denting sendok dan garpu. Setelah selesai acara yang terdiri dari 6 orang itu dilanjutkan dengan berbincang-bincang di ruang tamu. Namun, terpisah karena para pria berinisiatif memanggang-manggang di halaman belakang. Leyra hanya diam, ia tidak tahu akan berbicara apa. Sementara itu, salah satu wanita tampak mengoceh seolah tidak menghiraukan kehadiran Leyra di sana. Ibu Rayn, Dianne hanya diam sambil sesekali meminum teh herbalnya. Ekor matanya melirik Leyra yang tengah menatap sebuah poto besar di dinding. "Bagaimana pendapatmu?" tanya Dianne. "Maksud Kakak ipar, pendapatku tentang siapa?" tanya Sania bingung. "Bukan kau, aku bicara pada menantuku," jawab Dianne sembari menatap tajam pada Sania. Leyra terkejut, ia memelotot bingung maksud dari perkataan mertuanya itu. "Bukankah kamu memperhatikan poto itu? Rayn, bukankah dia tampan?" tanya Dianne, mengartikan maksud pertanyaannya tadi. Leyra tertawa pelan, ia berusaha kuat menyembunyikan rasa canggungnya. Dianne kembali menatap Sania yang memasang wajah cemberut menahan kesal. "Kau datang dari pagi, apa kau tidak punya pekerjaan?" tanyanya sembari tatapan tajam. "Ah Kakak Ipar, aku kan sangat merindukanmu. Apa salahnya kalau aku ingin berlama-lama mengobrol denganmu?" Sania merengek manja, menahan rasa malunya. "Sudah cukup, aku ingin mengobrol dengan menantuku." "Kalian mengobrol saja, aku akan diam sambil menikmati makanan ini," jawab Sania sembari mengunyah biskuit. Dianne meneguk minumannya lalu meletakkan gelasnya ke meja dengan kasar. "Aku ingin mengobrol dengan menantuku. Kau tahu kan apa artinya? Aku ingin kau pergi sekarang," jawab Dianne. Sania kikuk seketika, ia lalu berdiri. "Baiklah aku pergi sekarang kalian lanjutkan saja mengobrolnya, dadah semua," ujarnya sembari tertawa menahan rasa malu. Wow! Mertuaku ternyata keren sekali. Leyra diam-diam menatap takjub namun sekaligus takut. Beberapa saat kemudian keadaan kembali canggung. "Kudengar, kamu baru kembali ke kampus. Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Dianne, membuka obrolan. Leyra menggeleng, "semuanya berjalan lancar hanya sedikit yang berbeda," jawabnya gugup. "Rayn, apa dia menjailimu?" tanya Dianne lagi. Leyra memelotot kaget, ia lalu melambaikan tangannya. "Dia sangat baik pada saya," jawab Leyra. Dianne tertawa melihat kepolosan menantunya itu. Dan itu membuat Leyra tertegun. Ternyata senyuman manis Rayn itu berasal dari ibunya. "Sania wanita itu abaikan saja dia. Dia itu penggosip handal yang hanya merasa hidupnya paling sempurna. Mulai hari ini, jangan pernah dekat dengannya," jelas Dianne yang langsung diangguki Leyra. "Setelah sekian lama, kita berkumpul kembali. Aku ingat sekali, kamu selalu berhalangan datang setiap kali ada acara seperti ini. Padahal, aku ingin menantuku yang datang tetapi yang selalu hadir hanyalah pria kaku yang dingin seperti patung itu yang datang. Dan itu sangat membosankan berada di tengah-tengah pria batu." Perkataan Dianne membuat Leyra tercengang. Dapat ia tebak yang dimaksud Dianne itu tak lain adalah ayah mertuanya dan Rayn, suaminya. Apa alasanku menghindari mertuaku yang baik ini? "Maafkan saya," ucap Leyra dengan wajah merasa bersalah. Dianne tersenyum, "ini bukan salahmu. Harusnya aku mengerti kegiatan di kampus memang sangat melelahkan, harusnya aku yang datang ke rumahmu untuk menghiburmu dan memasakkan makanan yang enak." Leyra tertegun, matanya berkaca-kaca terharu betapa baiknya wanita yang melahirkan suaminya itu. "Maaf, apa aku berbuat salah?" tanya Dianne sembari menghapus air mata Leyra. Leyra menggeleng, "Anda terlalu baik, selama ini saya belum pernah diperlakukan baik begini. Maafkan saya terlalu terbawa suasana." Dianne mengusap kepala Leyra, "sudah sepantasnya aku melakukan ini karena kamu menantuku yang juga berarti putriku juga." Memeluk Leyra lalu mengecup kepala wanita itu. Hangat, pelukan ini bahkan tudak pernah aku dapatkan dari nyonya Laoval yang selalu mengingatkanku posisiku yang hanya anak angkat dan tidak lebih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD