2. Terkhianati

1115 Words
    Selin memang sudah gila. Setidaknya begitulah pendapat Joshua.     "Lo yakin mau ngelakuin ini?" tanya Joshua. Selim yang sudah lengkap dengan pakaian serba hitamnya mengangguk mantap.     Ia melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil hitam milik orang tua Joshua yang dikendarai secara ilegal. Selin melambaikan tangan lalu berjalan memasuki sebuah bangunan bernuansa putih megah yang tak lain adalah sebuah hotel. Mata elangnya waspada mengawasi daerah sekitar tempatnya berjalan hingga akhirnya ia memasukki lift dan naik ke lantai 4.     Sesampainya di lantai 4, sesosok misterius itu menuju ke sebuah kamar bernomor 4825. Ia tak masuk ke dalam sana, hanya berdiri di depan pintu dan melepas masker yang sedari tadi melekat di wajahnya.     Selin bukannya tak punya tujuan. Ia tau apa yang akan dilakukannya di hotel ini. Dengan semangat berapi-api ia bertekad untuk mendapat foto selfie bersama Jean malam ini juga. Berbekal informasi dari salah satu akun Twitter stalker Jean, Selin berakhir di sini.     Tentu apa yang dilakukan Selin memang ilegal. Tapi mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur menantang Clara dengan sesumbar. Malu jika Selin tidak berusaha sama sekali.     Meet and greet akan berakhir pukul 9 malam. Selin masih harus menunggu setidaknya 2 jam. Ia mengepalkan tangan, menyemangati dirinya sendiri agar tak menyerah dengan mudah.                                                                                                             ...     Selin melirik jam tangan hitamnya. Sudah pukul 11 namun tidak ada tanda-tanda kemunculan Jean. Apa dia pindah hotel?     Jangan tanya, semangat Selin jelas sudah banyak menurun jika dibandingkan dengan beberapa jam tadi. Tapi bersama setelah ia menggerutu, suara langkah kaki memenuhi lorong dibarengi suara orang berbicara. Tampaknya dua orang laki-laki. Suaranya pun terdengar familiar untuk Selin. Ia buru-buru berjalan membelakangi dua orang itu agar tidak dikira sebagai penggemar aneh yang terobsesi.     Dua orang itu adalah Jean dan manajernya. Selin jadi salah tingkah. Ia kini bingung harus apa. Harusnya ia langsung meminta selfie bersama Jean tadi.     Ia hampir saja kembali duduk di depan kamar Jean ketika tiba-tiba pemuda itu keluar lagi dari kamarnya. Dia mengganti pakaian menjadi lebih kasual dan santai lalu pergi entah kemana. Sekali lagi, Selin kehilangan kesempatannya. Ia mendesah pasrah dan kembali duduk di depan kamar Jean. Namun, mata lelahnya tiba-tiba menangkap gambaran bahwa kamar Jean tak sepenuhnya tertutup. Ada celah di sana.     Sebuah ide gila membuat Selin nekat mendorong pintu berwarna putih itu. Jean sepertinya lupa mengambil kartu kunci yang ada di dinding. Tapi Selin sungguh tidak peduli, kini mulutnya malah ternganga kagum akan mewahnya kamar itu.     Astaga! Ini. Bener! Bener! Mewah!     Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dan memotret setiap sudut kamar itu. Dari kasur sampai sandal hotel, ia tak akan melewatkan satupun.     Clara bakalan mampus lihat ini, batinnya.     Selin senang bukan main karena merasa sudah menang telak dibandingkan Clara. Satu-satunya hal yang perlu ia lakukan hanyalah meminta selfie bersama Jean nanti ketika ia kembali.     Selin tak berniat berlama-lama di sana. Tinggal memotret beberapa hal lagi, ia akan keluar dari kamar itu. Selin membuka lemari dan memotret beberapa pakaian serta tas Jungkook yang ada di sana. Ia mengecek seisi ruangan untuk memastikan tidak ada hal yang lupa ia potret.     Sejenak, ia menggeser-geser layar ponselnya, melihat isi galerinya. Ia puas. Sangat puas. Tapi belum lama kebahagiaan itu bersarang di hatinya, tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka. Akibat panik, Selin langsung menyelipkan tubuh kecilnya tepat di bawah ranjang dan berusaha untuk bersembunyi dengan tenang di sana. Bahkan dia menutup mulut dengan telapak tangan agar suara nafasnya tak terdengar.     Tentu Selin harus berhati-hati. Pasalnya, jika ia ketahuan maka mungkin nasibnya akan berakhir di kantor polisi dengan tuduhan penyusupan. Tidak, bukan tuduhan lagi. Bahkan ia sudah terbukti menyusup. Selain itu, idolanya sendiri akan mengingatnya sebagai stalker gila yang obsesional. Hancur sudah masa depan Selin.     Sang pemilik kamar pun masuk. Selin bisa melihat dengan jelas sepatu Jean dari bawah sana. Namun tampaknya pemuda itu tidak datang sendiri. Sepasang kaki jenjang yang dibalut heels merah mengikutinya. Seorang wanita.     Jean melepas sepatunya, begitu pula perempuan itu. Sedetik kemudian ada sensasi hempasan yang berasal dari ranjang. Sepertinya Jean menghempaskan tubuh perempuan itu ke ranjang. Disertai dengan suara tawa centil perempuan itu.     "Gue udah bayar lo ya, awas nggak enak."     "Jangan khawatir. Gue yang paling populer di sini."     Selin tak bisa menutupi keterkejutannya. Ia menutup mulut agar teriakan tak lepas dari bibirnya.     Tak begitu banyak percakapan, yang ada adalah baju-baju yang tergeletak di lantai satu per satu. Baik baju Jean maupun perempuan itu.     Kemudian telinga Selin menangkap suara-suara aneh yang sudah jelas berasal dari Jean dan perempuan itu.     "Ahh ... ahh ... shh ... ahh."     Selin merasa terkhianati. Bayangannyatentang Jean yang polos dan imut seketika hancur begitu saja. Ia pikir, ia adalah orang paling paham tentang Jean. Tapi pemikirannya rupanya salah selama ini. Selin menutup mata dan telinganya. Dia tak mau mendengar dan melihat apapun lagi, hanya ingin segera keluar dari tempat itu. Bagaimanapun caranya.                                                                                                         ...     Sinar matahari yang menyusup membuat Selin terpaksa terbangun karena terganggu. Padahal rasanya ia masih ingin berlama-lama tidur di atas kasur empuk nan lembut itu. Ia memeluk guling putih yang ada di sampingnya. Menikmati sedapnya hari minggu. Tapi ...     Eh ...     Tunggu!     Guling?     Kasur?!     Ini salah. Bukannya semalam Selin tidur di kolong ranjang gara-gara bersembunyi? Bagai tersambar petir, seketika kesadaran Selin berada dalam mode penuh. Ia bangun dan terduduk di kasur. Tepat di hadapannya sudah ada Selin yang sedang duduk di kursi. Posenya angkuh disertai death glare yang mengerikan.     Astaga! Jangan-jangan gue ...     Selin meraba badannya memastikan tak ada satu helai pakaian pun yang terlepas dari sana. Ia bernapas lega karena pakaiannha masih utuh. Tapi ... bagaimana bisa Selin terdampar di kasur?     "Gimana bisa gue ada di kasur? Semalem kan gue ada di kolong!" ujarnya     Jean tersenyum miring. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas Selin ingin sekali melarikan diri dari tempat ini. Apalagi ketika ingat apa yang ia saksikan secara cuma-cuma tadi malam. Membuatnya bergidik ngeri. Bahkan cara pandangnya pada Jean pun berbeda. Jika biasanya ia memandang penuh kekaguman. Kali ini ia memandang dengan tatapan yang sedikit jijik.     "Sadar nggak sih, Mbak, kalau lo secara nggak sadar lo ngakuin kesalahan lo?" tanyanya.     Bingo!     "Lo nyusup dan tindakan lo itu bisa gue laporin ke polisi kalau gue mau," ujarnya.     Double Bingo!     Selin terdiam. Apalagi kata 'polisi' memembuatnya takut. Tapi Selin berpikir dia tak boleh menunjukkan rasa takutnya sekarang.     "G-gue nggak takut sama lo, m***m!" serunya.     "A-apa? Penyusup kayak lo ngatain gue m***m?!" Jean mengerutkan dahinya.     "Lo stalker, kan?" tuduhnya.     Selin menggeleng cepat.     "Ya ... Mana ada maling yang mau ngaku sih?" sindir Jean. "Tenang saja, aku akan menelepon polisi untuk menjemputmu."     Jean mengambil ponsel dari dalam celananya. Bug! Seketika itu pula, Selin menendang Jean kuat-kuat hingga terjatuh dari atas kursi.     Selin berlari sekuat tenaga, meraih key card yang terpasang di dinding. Ia membuka pintu dengan kunci itu lalu melemparnya ke sembarang arah. Kakinya berlari sekencang mungkin. Menghilang seperti kilat hingga Jean tak mampu mengejarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD