5. Handoko

1436 Words
    "Sel, dengerin Mama dulu dong," pinta Mama. Selin tetap saja berjalan, meninggalkan Mamanya secepat yang dia bisa.     Selin rasanya tak mau mendengar apa-apa lagi. Informasi yang dia terima selama makan siang ini seperti menikamnya secara tiba-tiba.     "Selin!" seru Mama.     Selin memutar matanya jengah. Gadis itu berhenti sejenak lalu menatap Mamanya dengan tatapan penuh pemberontakan.     "Buat apa Mama ngomong? Kenapa nggak ngomong dari kemarin-kemarin aja? Kenapa aku harus denger hal bodoh itu dari orang lain sih, Ma?" protes Selin. Amarahnya meletup-letup. Ia bahkan menghempaskan tangan Mamanya dengan kasar ketika berusaha digandeng.     Jelas Selin marah. Ia merasa tak dihargai karena baru saja dia diberitahu oleh Tante--teman Mamanya--itu bahwa dia akan dinikahkan dengan anaknya. Gila? Memang!     Selin lalu masuk ke kamar hotelnya dan tengkurap di kasur. Ia menutup area kepalanya dengan bantal. Menghindari Mamanya.     "Sel, dengerin Mama. Ini tuh demi kebaikan kamu sendiri," ucap Mama. Wanita itu duduk di tepi ranjang, memegang kaki Selin yang tergantung bebas.     "Mama emang salah karena nggak bilang sama kamu sebelumnya," kata Mama. "Tapi niat Mama jodohin kamu sama anaknya Tante Regina itu baik."     Selin tak habis pikir. Gadis itu bangun terduduk.     "Apa, Ma? Ini tuh udah 2019! Kenapa juga Selin harus dijodohin kayak Siti Nurbaya?" pekik Selin.     "Mama pengen kamu dapat kehidupan yang lebih baik, Selin!" ujar Mama.     Selin mengerutkan dahinya.     "Kehidupan yang lebih baik? Kehidupan macam apa maksud Mama? Hidup sama cowok yang bahkan aku nggak kenal? Menikah di usia muda dan nggak bisa nikmatin hidup? Mama serius hah?" ujar Selin.     "Selin, emang kamu mau terus hidup miskin sama Mama? Kamu mau terus-terusan nggak jajan buat beli apa yang kamu mau? Kamu mau harus kerja keras banting tulang serabutan kayak Mama? Kamu mau?" tanya Mama.     "Emang apa salahnya, Ma? Apa salahnya kalau kita miskin? Apa salahnya kalau kita harus susah payah buat beli sesuatu? Apa salahnya kerja keras banting tulang? Apa salahnya kerja serabutan? Apa, Ma?" bentak Selin. "Emangnya di dunia ini cuma tentang uang? Emangnya kita nggak bisa bahagia tanpa uang?"     Mama memegang kedua pundak Selin. Menatapnya dalam.     "Emangnya kamu bahagia sekarang ini? Kamu kira Mama nggak tau kalau kamu pengen kuliah, Sel? Kamu kira Mama nggak tau kamu punya mimpi lain yang harusnya bisa kamu capai? Kamu kira Mama nggak tau kalau kamu selama ini cuma bisa mendam keinginan kamu itu karena keadaan kita? Mama tau, Sel! Mama tau!" balas Mama. "Kamu kira Mama nggak ngerasa bersalah karena harus lihat kamu hidup kayak gitu? Seandainya Mama punya pekerjaan yang lebih baik, kamu pasti bisa hidup lebih baik. Tapi karena Mama dari awal cuma ibu rumah tangga, kita jadi terpuruk begini setelah Ayah kamu meninggal!"     "Aku nggak perlu kayak gitu, Ma! Aku nggak pernah sedikit pun salahin Mama karena keadaan kita! Aku terima, aku bersyukur karena kita masih bisa makan. Jadi kenapa Mama harus mikir kayak gitu sih? Kenapa Mama mutusin buat jodoh-jodohin aku begini?" teriak Selin. Untungnya kamar didesain kedap suara. Kalau tidak, mungkin satu lantai sudah tau perdebatan panas ibu dan anak ini.     "Mama tuh mutusin sesuatu tanpa ngasih tau Selin. Terus Mama bohong dengan bilang kalau kita jalan-jalan ke Jakarta! Selin tuh nggak suka, Ma!"     "Mama minta maaf soal itu, Sel. Mama nggak niat bohongin kamu. Mama cuma belum siap buat ngomongin ini semua sama kamu," kilah Mama.     "Tau nggak kenapa Mama nggak siap?" tanya Selin. "Karena ini bukan sesuatu yang baik, Ma. Karena ini salah dan Mama tau itu."     Tak banyak bicara lagi, Selin langsung keluar dari kamar. Meninggalkan Mamanya sendirian ditemani air mata di pipi.                                                                                                                      ...     "Syukur deh kalau lo udah sampai," ucap Selin pada seseorang yang sedang diteleponnya.     "..."     "Gue? Gue lagi di Jakarta sekarang."     "..."     "Nggak, bukan kerja. Awalnya gue kira liburan tapi ternyata bukan. Susah deh pokoknya buat dijelasin."     Tangan Selin tak tinggal diam sekarang. Ia sedang duduk di bangku sambil melipat sebuah kertas. Ponselnya ia kepit di antara telinga dan bahunya.     "..."     "Yaudah. Istirahat sana. Capek kan lo. Dah." Selin memutuskan sambungan teleponnya dengan Joshua.     Joshua mengabari bahwa dia sudah sampai di London. Pemuda berambut hitam pekat itu juga bercerita  bahwa cuaca London sedang cukup dingin saat ini.     Selin jadi membayangkan betapa indahnya hidup Joshua. Dia bisa hidup bebas tanpa harus diatur-atur oleh perjodohan bodoh seperti dirinya.     Begitu kertas yang dilipatnya membentuk sebuah perahu, Selin mendekat ke arah air mancur. Dia duduk di tepian sana lalu menghanyutkan perahu yang telah dilipatnya. Selin jadi teringat saat pertama kali Ayah mengajarinya membuat perahu kertas. Bukan perahu kertas biasa, melainkan perahu kertas istimewa. Perahu kesedihan, namanya. Perahu yang dibuat dari selembar surat yang berisi kesedihan pembuatnya. Katanya, kesedihan yang dirasa akan menghilang seperti perahu kertas yang hanyut ditelan air.     Dulu tiap kali Selin sedih atau kesal seperti bertengkar dengan Joshua dan jatuh dari sepeda, Selin akan membuatnya bersama dengan Ayah. Setelah Ayahnya tiada, Joshua lah yang menggantikan posisi itu. Dan karena sekarang Joshua tak ada di sisinya, Selin melakukannya sendirian. Selin mengembuskan napasnya berat. Ia tampaknya penat. Rasa kesalnya pada Mamanya tak kunjung hilang jua. Selin tak habis pikir saja mengapa bisa Mamanya berpikiran untuk menjodohkan anaknya sendiri dengan seseorang yang belum dikenal     Seingatnya, Mama berpikiran cukup modern dan terbuka. Jadi kenapa bisa seperti ini? Selin sendiri tidak paham. Padahal, belum tentu laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu baik. Bisa saja laki-laki itu adalah orang yang kasar dan punya temperamen buruk, kan?     Handoko. Dengan mengetahui namanya saja, Selin sudah bisa membayangkan bahwa laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu setidaknya sudah cukup berumur. Kepala tiga mungkin? Logikanya, kalau Handoko-handoko itu ganteng dan masih muda, kenapa juga orang tuanya yang kaya raya itu sibuk mencarikan jodoh untuknya? Kan aneh.     Beruntung saja laki-laki itu tadi mendadak tidak bisa datang. Kalau dia memunculkan diri, mungkin suasananya akan jadi makin tidak baik untuk Selin.     Selin kini berbaring di bangku yang tadi ia duduki, memutar lagu Bara di ponselnya, menutup matanya, dan sekilas meninggalkan dunia yang membuatnya penat lahir batin ini.                                                                                                              ...     Tok! Tok! Tok! Selin terpaksa harus mengetuk pintu hotel karena terkunci. Sejujurnya Selin tak ingin kembali ke hotel ini dan langsung pulang saja ke Surabaya, tapi gadis itu masih punya hati. Dia tak mungkin meninggalkan Mamanya sendiri di Jakarta. Lagipula, dia tak punya uang sehingga inilah pilihan terbaik yang ia punya.     Begitu dibukakan pintu, gadis itu masuk tanpa bicara sepatah kata pun. Dia tak ingin memulai perdebatan lagi. Baginya, perdebatan panjang yang terjadi tadi siang harusnya sudah cukup membuat Mama paham kalau dia tak menginginkan perjodohan atau apalah itu.     "Kamu dari mana aja, Sel?" tanya Mama.     "Mama nggak perlu tau," jawab Mama singkat.     "Kamu bikin Mama khawatir tau nggak?"     Selin diam saja, tak merespon apa-apa.     "Selin, kamu nggak punya mulut ya buat jawab Mama?" tanya Mama. Nadanya yang meninggi membuat Selin kesal.     "Apa sih, Ma? Selin lagi capek, lagi nggak pengen buat debat sama Mama," sahutnya.     "Iya, kamu dari mana?" cecar Mama. Masih mengejar pertanyaan yang sama.     "Dari taman deket sini."     "Ngapain?"     "Jernihin pikiran. Sumpek di sini sama Mama. Puas?"     Mama mengelus dadanya. Tampak mengumpulkan kesabaran agar amarahnya tidak meledak tiba-tiba.     "Ya udah, sekarang kamu mandi, makan, terus tidur awal. Besok pagi kita bakal ketemu lagi sama Handoko dan keluarganya," kata Mama.     "Apa, Ma? Ketemu lagi? Emangnya Mama nggak paham dari perdebatan kita tadi itu intinya apaan? Intinya Selin nggak mau, Ma! Selin nggak mau dijodohin atau apalah itu!" ujar Selin, teguh.     "Coba, Sel. Kamu bisa coba dulu. Kenapa sih kamu selalu keras kepala? Mereka tuh janji buat bayarin kuliah kamu sampai lulus. Mereka juga jamin kehidupan kamu nantinya. Kenapa sih susah banget?"     Kedua manusia itu sama-sama keras kepala. Tak ada yang mau mengalah sejauh ini. Mama tetap pada keinginannya, begitu pula Selin yang teguh pada penolakannya.     "Aku nggak mau, titik. Udah aku mau mandi. Aku capek, nggak mau debat lagi sama Mama."     Selin hampir saja melangkah ke kamar mandi. Namun Mama mencegahnya dengan sebuah genggaman di tangan Selin.     "Capek? Kamu kira Mama nggak? Mama juga capek. Capek harus biayain kamu sendirian. Capek harus banting tulang setiap hari biar kamu bisa makan. Mama capek hidup miskin dan serba kekurangan. Mama capek, Selin! Mama capek! Kenapa sih kamu nggak bisa berusaha ngertiin Mama?" bentaknya.     Selin tersentak. Bukan karena nada Mamanya yang meninggi, tapi karena isi dari ucapannya yang menyakitkan hati. Selin tak pernah menyangka, Mamanya akan mengatakan sesuatu seperti ini.     "Mama beneran Mama yang aku kenal selama ini?" tanya Selin. "Ini tuh kayak bukan Mama. Mamanya Selin tuh nggak egois kayak gini!"     Air mata Selin seketika melesat jatuh.     "Oke, Ma. Kalau memang Mama mau hidup serba berkecukupan kayak dulu lagi dan cuma ini jalan satu-satunya, aku bakal nikahin siapapun pilihan Mama," ucap Selin. "Tapi inget, mulai detik ini, aku bukan lagi Selin anak Mama. Aku udah Mama jual demi keegoisan Mama sendiri. Mama udah nggak berhak apa-apa lagi dari Selin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD