4. Plesir ke Jakarta

1336 Words
    "... Kami berterima kasih untuk jajaran dewan guru yang telah membimbing kami  dengan kasih sayang selama ini. Terima kasih sekali lagi!" akhirnya pidato kelulusan yang dibacakan oleh ketua angkatan itu pun berakhir.     Tak lama setelahnya, acara formal pun berakhir. Acara ini tentu tak akan berakhir begitu saja. Ada prom ala-ala yang akan digelar sore nanti. Acara yang Selin sendiri tidak yakin apa akan ia hadiri. Selin melamun sejak acara baru saja dimulai. Bukan tanpa alasan, ia hanya merasa sedih saat ini. Bukan karena berpisah dari teman-teman satu sekolahnya, bukan juga karena mamanya tidak bisa datang ke acara wisuda ini. Tapi karena harus berpisah dari Joshua.     Penerbangan Joshua adalah siang ini. Tepat setelah acara formal ini berakhir.     "Kenapa lo ngelamun mulu?" tanya Joshua.     Mata Selin mendadak basah. Ia tak dapat menahan tangisnya.     "Eh anjir, kenapa lo nangis? Itu eyeliner lo luntur semua nantinya." Joshua panik. Apalagi orang-orang di sekitar sudah mulai melihat ke arah mereka.     Joshua memegang dua bahu Selin dan berusaha memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.     "L-lo b-baik-baik ya d-disana. Sering-sering c-chat gue. J-jangan s-sombong," isak Selin.     Joshua tertawa. Baginya, Selin terlihat sangat lucu saat ini.     "Halah, lo nangisin gue ternyata?"     Joshua lalu memeluk Selin dan mengelus-elus kepalanya.     "Apapun yang terjadi, gue tetep temen lo kok, Lin. We're friend, forever."                                                                                                             ...     Selin meletakkan heels hitamnya ke rak. Mata dan wajah bengkaknya sehabis menangis menjadi lebih baik. Setidaknya perasaannya sudah lega sekarang walau ia masih tetap saja memilih untuk tidak mengantar Joshua ke bandara karena masih terasa sedih.     "Ih, kenapa bengkak gitu matanya?" tanya Mama.     "Sedih, Ma. Joshua kan berangkat ke London hari ini," kata Selin.     "Iya, Mama tau. Udah sana bersihin muka biar Mama make up-in lagi buat acara prom."     Selin hanya menggeleng.     "Selin nggak mau dateng, Ma."     "Lho kenapa? Acara kayak gini nggak dateng dua kali lho," kata Mama.     "Nggak ada Jo juga. Selin tuh nggak punya temen deket lain selain Jo," jawab Selin.     Bukannya Selin pemilih masalah teman, namun memang tak semua orang bisa cocok dengannya. Kebanyakan dari teman satu kelasnya adalah anak orang-orang kaya yang punya gaya hidup tidak bisa diraih Selin. Itulah mengapa Selin lebih nyaman bersama Joshua.     Meski Joshua terbilang punya segalanya, ia lebih memilih untuk bergaya sederhana. Tidak suka foya-foya adalah kunci yang membuatnya bisa klik dengan Selin untuk waktu yang cukup lama.     Mama hanya bisa geleng-geleng terhadap keputusan Selin. Kemudian Selin masuk ke kamarnya. Ia langsung berbaring di kasur, masih mengenakan kebaya mama yang dipakainya ke acara wisuda.     "Sel?" panggil Mama, seraya berdiri di ambang pintu.     "Apa, Ma?"     Mama menyodorkan selembar kertas padanya. Mata Selin otomatis melebar begitu melihat apa yang sedang di pegang ya.     "Jakarta?"                                                                                                               ...     Setidaknya rasa sedih di hati Selin sedikit terobati. Bahkan dia sudah rapi dibalut celana kulot hitam dan kaus kuning bergambar semangka meski masih belum genap pukul 6 pagi. Selin menyemprotkan parfum ke tubuhnya lalu memasukkan parfum itu ke dalam sebuah tas Travelling model jinjing berukuran ekstra besar. Semalam Selin sudah memasukkan beberapa potong baju yang ia suka beserta berbagai perlengkapan seperti alat mandi dan sisir.     "Sel, udah siap belum?" tanya Mama dari luar kamar.     "Iya, bentar," jawab Selin agak lantang.     Gadis itu lalu merapikan sedikit rambutnya dan menyambar tas yang sudah ia siapkan. Tak lupa, ia juga membawa potongan kertas yang diberikan mamanya kemarin.     Selin mengumbar senyum kemudian berkata, "Yuk! Berangkat!"                                                                                                             ...     Stasiun Gubeng sudah dipadati oleh orang-orang yang punya asal dan tujuan berbeda-beda. Seperti Selin dan Mamanya misalnya, sedang menanti jam keberangkatan kereta untuk ke Jakarta.     Entah angin apa yang membuat Mama tiba-tiba mengajak Selin ke Jakarta. Pakai kereta kelas eksekutif pula. Waktu Selin bertanya kemarin, Mama bilang, "Jalan-jalan aja kok."     Selin jelas tak keberatan. Pertama, Selin sudah tidak pernah lagi jalan-jalan keluar kota sejak ayahnya meninggal dunia. Keuangan yang menurun drastis mengubah segalanya. Kedua, keadaan Selin yang sedang sedih memang butuh hiburan. Walaupun sebenarnya Bali atau Lombok mungkin lebih tepat untuk liburan dibanding Jakarta. Begitu terdengar suara pemberitahuan bahwa kereta akan berangkat, Mama langsung menggandeng tangan Selin. Memasuki kereta dan duduk dengan nyaman di kelas eksekutif.                                                                                                         ...     "Eung ...." Selin menggeliat sekilas saat Mama mengguncang-guncangkan tangannya.     "Kenapa, Ma?" tanya Selin.     "Udah sampai, dasar tukang tidur!" ujar Mama.     Selin nyengir. Dia melihat ke arah luar jendela kereta untuk sejenak. Dan benar saja, ia kini sudah berpindah dari Stasiun Gubeng menjadi Stasiun Gambir. Ya, Selin memang tidur sepanjang perjalanan. Ciri khasnya sejak masih kecil.     Gadis itu kemudian berdiri meski masih sempoyongan. Keadaan kereta memang sudah cukup sepi. Penumpang lain mayoritas sudah turun dari kereta. Selin dan mamanya langsung turun begitu barang-barang mereka berhasil terambil. Begitu keluar dari stasiun, Mama langsung memberhentikan sebuah taksi. Tindakan ini membuat Selin membulatkan matanya.     "Ma, naik bis aja lah. Mahal tau taksi," kata Selin.     Mama cuma merespon dengan sebuah senyuman. Lalu masuk ke dalam taksi. Selin akhirnya memutuskan untuk mengekor. Mama menyodorkan sebuah kertas berisi alamat pada sopir dan taksi pun mulai berjalan.     "Mama menang togel, ya?" tuduh Selin.     Mama yang tidak menjawab makin membuat Selin curiga.     "Ih, Mama! Togel kan haram!" protes Selin.     "Apaan sih kamu, Sel. Ya enggak lah. Udah diem aja kenapa sih? Cerewet banget," sahut Mama.     Di tengah perjalanan, Mama menggenggam tangan Selin. Genggaman tangan yang sangat hangat. Bahkan lebih hangat dari biasanya.     "Sel, kamu percaya kan kalau Mama ngelakuin apapun itu demi kamu?" tanya Mama.     Selin mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum sumringah.     "Ya, contohnya sekarang. Mama kerja banting tulang biar aku bisa seneng kayak sekarang, kan, Ma?"     Tak seberapa lama, mereka sampai. Selin menganga. Bahkan sejak 10 menit tadi dja sudah menganga.     "Ma, ini beneran kita mau nginep di sini?" tanya Selin heran.     Pasalnya, semua orang juga tau kalau hotel di area HI itu punya tarif yang cukup mahal.     "Mama abis dapet uang kaget apa gimana sih?"     Mereka lalu masuk. Sembari Selin melihat-lihat lobi, Mama melakukan check-in. Setelah semua beres dilakukan, Selin dan Mamanya diantar oleh pelayan hotel menuju lantai 15. Tepatnya ke sebuah kamar bernomor 1567.     Suasana kamar sangat mewah. Ornamen-ornamennya berbasis warna emas, dilengkapi furnitur-furnitur yang cukup memanjakan mata. Selin ternganga. Untuk kesekian kalinya.     "Barangnya mau ditaruh di sini saja, Bu?"     "Iya, taruh saja di situ. Makasih ya, Mas," ucap Mama lalu memberikan tip yang entah berapa.     "Sel, kamu mau jalan kemana aja?" tanya Mama di tengah kekaguman Selin yang tak ada batasnya.     "Banyak, Ma. Emang Mama mau turutin semua?" tanya Selin.     Mama mengangguk. Selin bersorak riang. Dia tak tau apa yang membuat Mamanya jadi sebaik ini pada dirinya. Mungkin karena Selin sedih?     "Selin mau ke Monas, taman mini, mekar sari, Dufan, Ancol, pulau seribu. Boleh nggak, Ma?"     Mama mengangguk.     "Boleh. Tapi sebelum itu, kita ketemu temen Mama dulu, ya? Udah lama nggak ketemu."     Tanpa pikir panjang, Selin mengangguk.                                                                                                             ...     Lokasi pertemuan Mama dan temannya ternyata tidak jauh. Hanya di restoran hotel yang ada di lantai 20. Selin memakai gaun sifon motif bunga-bunga yang membuatnya tampak segar dan ringan.     "Sel, janji ya jangan bikin malu?" bisik Mama. "Jangan cerita tentang idola kamu Jean-jean itu!"     "Ih, orang udah nggak suka juga," desis Selin.     Ting! Lift yang mereka tumpangi terbuka. Mata Mama langsung melirik ke seluruh penjuru ruangan mencari-cari seseorang. Tak lama sepasang wanita dan pria paruh baya yang mungkin sepantaran dengan Mama melambaikan tangannya. Mereka telah duduk menunggu di pojok ruangan.     Mereka terlihat ramah. Senyum tak lepas dari wajah mereka meski Selin tau orang-orang itu dari kalangan kaya. Wajahnya asing, Selin mungkin belum pernah bertemu sebelumnya.     "Ya ampun, Mona. Apa kabar? Lama banget kita nggak ketemu." ucap sang wanita sambil memeluk Mama. "Ini anak lo? Ya ampun, cantik banget."     Selin menyalami wanita dan pria itu. Mereka lalu duduk bersama. Berhadapan sambil menunggu hidangan tiba. Mereka mengaku sebagai teman SMA Mama. Si wanita minta dipanggil Tante Regina, sedangkan pasangannya adalah Om Darmoko.     Mereka berbicara banyak hal. Bahkan Selin sudah cukup akrab dengan kedua teman Mamanya. Mereka tidak sombong dan membumi meskipun kaya. Membuat Selin cukup nyaman dan tak merasa ada perbedaan apa-apa.     Wanita itu mengecek jamnya berkali-kali sambil terlihat gelisah. Bahkan lebih parah ketika makanan sudah tiba. Inisiatif, Selin bertanya, "Kenapa, sih, Tante?"     "Ini lho, Handoko nggak dateng-dateng," jawabnya.     "Handoko siapa?" tanya Selin lebih lanjut.     "Handoko, anak Tante. Calon suami kamu."     "Hah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD