Berikan alamat dan nomor ponsel atas nama Olivia Franklin. Sekarang juga.
Isi pesan tertulis yang dikirimkan James pada sang sekretaris di malam yang telah larut. James tak peduli saat ini malam telah merambat menuju hari berikutnya. Apa yang diinginkannya harus ia dapatkan.
James mengendarai mobilnya seorang diri. Membelah keheningan malam yang tak benar-benar hening. Degup jantung kota London masih jelas terasa, lampu-lampu menerangi jalan, seperti rasa yang menghantui perasaan James malam ini. Pikiran dipenuhi dengan sesi pemotretan tadi siang. Wajah cantik dan polos milik Olivia Franklin berkelebat di dalam kepalanya. Aroma parfume yang Olivia kenakan, membuat rasa manis itu masih terasa di ujung hidung mancung James. Hangatnya kulit leher Olivia di bawah sentuhan lidahnya.
“Damn!!!” pekik James sambil meninjukan tangannya ke setir mobil, dan spontan kaki menginjak pedal rem. Mobil berhenti di tepian jalan yang gelap. Beberapa pejalan kaki dan mobil melintas. Napas James berubah cepat dan naik turun tak beraturan.
“Kita bisa membicarakannya baik-baik. Aku rasa---”
Suara Olivia kembali terngiang di telinganya dengan jelas.
“Apa?!” Mimik wajah Olivia yang terkejut, masih segar dalam ingatan bercampur dengan protes yang Olivia ajukan, “Tidak, aku tidak bisa. Jangan main-main, James.”
“Kau harus menjadi milikku, Liv,” desis James dengan rahang mengatup, sedetik kemudian, layar ponselnya berubah terang. Sebuah pesan masuk, membacanya dengan jelas alamat dan nomor ponsel milikku. Seringai di senyum miring James sebelum ia kembali memacu mobilnya dengan cepat.
***
Malam yang kian merambat dan Olivia yang terlelap dalam tidur, tergeletak di atas sofa, meringkuk dengan bantal sofa dalam pelukannya yang erat. Lelah yang telah menghempaskan tubuhnya dengan telak. Buku yang menemaninya saat terjaga beberapa jam sebelumnya hingga tertidur telah terhempas di atas lantai dengan halaman yang tidak lagi pada tempatnya.
Sepasang mata memandang apartemen mewah yang didalamnya ada Olivia, pria itu menatap dari balik kaca mobil. Mengamati segalanya. Ada gejolak yang tak mampu disingkirkan dari dalam kepala. Terus menyiksa bagaikan mantra yang memabukkan. Flat yang masih tampak terang di bagian kamar.
“Sial. Kau berhasil membuatku gila, Liv,” desis James seorang diri dari dalam mobilnya.
Diraihnya ponsel miliknya yang tergeletak di jok disampingnya, menekan sederet nomor yang ia terima dari sang sekretaris. Dering-dering panjang yang tak terjawab.
“Ayo jawab, Liv.” Pandangan mata James masih terus tertuju dan belum berpindah.
Ia tinggal bersama tunangannya. Seorang pengusaha muda di bidang properti.
Isi pesan tambahan yang di terima James.
“Persetan dengan tunanganmu, Liv.” Kedua rahang James mengatup rapat. Ada emosi yang merambat naik. Dering panjang dari ponsel James ke dalam ponsel Olivia masih terus terdengar di keheningan flat yang hanya ada Olivia. Ia tak menjawab hingga membuat James berang.
Tik tok tik tok.
Satu jam berlalu, dering panjang kembali terdengar dan kali ini membuat Olivia terhenyak. Terbangun dengan mata terbelalak. Napasnya naik turun tak beraturan. Suara ponsel dan bel pintu berdering bersamaan di jam dua dini hari.
“Ya Tuhan, siapa yang datang di malam yang selarut ini? Mungkinkah…” Arah pandangan mata Olivia tertuju pada jam dinding yang menempel pada salah satu sisi dinding di ruangannya. Sekali lagi Olivia menoleh ke ponsel, nomor yang tak ia kenali. Bel terus berbunyi semakin nyaring di tenangnya malam.
Olivia beranjak dari sofa dengan langkah gontai, terhuyung-huyung, terasa bagai dunia berputar-putar. Suara berisik bel yang jelas tak sabaran membuatnya tak mampu berpikir dengan jernih. Olivia tak menaruh curiga siapa sosok di balik pintu flatnya, Olivia memutar kenop pintu dan betapa terkejut dirinya. Matanya membulat.
“James…”
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, James mencondongkan tubuh ke arah Olivia, dengan cepat, menekan mulutnya ke arah mulut Olivia. Lidahnya memisahkan bibir keduanya dan meluncur ke dalam mulut gadis itu.
James terasa samar-samar seperti minuman yang memabukkan. Janggut dua hari tak di cukur terasa kasar dan maskulin, perasaan yang tak pernah Olivia rasakan dari Matt. James berbau cologne mahal dan itu membuat Olivia ingin mengubur wajahnya di leher James dan menghirup aromanya.
Pesona James terasa memabukan bagi Olivia. James mampu menghancurkan kewarasan dalam diri Olivia hingga tak menyisakan apa pun. Olivia terbuai meski dirinya tahu jika ia tak sepantasnya seperti itu, tapi ia membiarkan James terus menciumnya. Membiarkan James masuk ke dalam flatnya yang sepi tanpa siapa-siapa selain dirinya yang seorang diri, dan semua pertahanan Olivia lepas sudah. Pintu tertutup di belakangnya dengan sekejap, dan James mendorong Olivia mundur sambil lidahnya menjelajahi mulut Olivia tanpa ampun.
Bagian belakang kaki Olivia menyentuh sofa dan ia hampir terjatuh jika saja tangan James segera menyambarnya, sama seperti kejadian awal pertemuan keduanya. Dengan gesit lengannya menahan Olivia, dan menurunkannya dengan lembut ke sofa tanpa melepaskan ciuman.
James mencium Olivia dengan rakus dan menjelajah disetiap sudut mulut Olivia, menggeram pelan dan ia bisa merasakan dirinya yang dibakar gairah.
Kaki Olivia terpisah dan gaun tidur satinnya yang sedikit naik ke atas, memperlihatkan kulit pahanya yang mulus, sementara tangan James melilit bagian belakang salah satu paha itu dan dia menetap di antara kedua kaki Olivia yang terbuka. Melalui celana yang dikenakan Olivia, dan melalui kain celana itu, Olivia merasakan kedutan darigundukan di antara pangkal paha James terhadap Olivia.
“Tunggu,” kata Olivia, menarik mulutku menjauh darinya. Napasnya terengah-engah, tatapan keduany berkabut gairah. “Kita tidak bisa melakukan ini.” Olivia mengatakannya dengan cemas dan seakan ia baru tersadar dari mabuknya akan pesona seorang James.
“Tidak biasa b******u di sofa? Kau ingin di mana?” James mencium Olivia lagi membuat Olivia kewalahan dan sulit bernapas. Olivia meletakkan tangannya di lengan berotot James untuk mendorongnya. Tapi begitu ia merasakan otot bisep milik James, yang dilakukan Olivia justru meremasnya. James mengerang. “Kau sungguh manis, Liv.”
“James. Aku… tidak, aku tidak bisa.”
James berhenti menciumnya, berhenti menggosokkan dirinya terhadap tubuh Olivia yang tak berdaya di bawah tubuhnya. Tapi di sinilah dia.
“Aku ingin kau, Olivia. Di sini. Sekarang.” James menundukkan kepalanya dan lidahnya dalam mulut Olivia, menjilati setiap inci lidah Olivia tanpa ampun hingga membuat Olivia merasa butuh oksigen sebanyak-banyaknya.
Olivia menutup matanya sementara jari lentiknya membelai rambut coklat James. Olivia bisa mendengar jantung miliknya yang berdetak di dekat telinganya dan udara yang semakin panas yang berasal dari napas James yang berat, telah membuat ciuman keduanya semakin panas.
“Oh James…” desah Olivia dengan tubuh menggeliat.
Tangan James mengelus paha dalam milik Olivia yang terbuka dengan gerakan yang posesif, jari-jarinya membelai tepi kain segitiga yang dikenakan Olivia. James menarik diri dari ciuman dan menunduk saat ia mengangkat ujung gaun yang membungkus tubuh Olivia lebih tinggi, mengekspos kaki telanjang dan celana dalam sutra berendra, yang kini sudah mulai basah.
“Ya Tuhan, Olivia. Kau begitu seksi.”
Suara yang di keluarkan dari pita suaranya yang begitu rendah hingga hampir berupa getaran pada saat itu, tubuh Olivia begitu dekat dengan tubuh berotot James hingga seolah-olah ia bisa menyerap suara yang pria itu buat. Situasi ini benar–benar panas.
“Kau tercipta dengan keindahan, Olivia.”
“James,” desis Olivia mencoba untuk mengumpulkan sisa kesadarannya.
James mendorong Olivia, membiarkan gadis itu merasakan betapa keras miliknya yang ada di balik celana jins yang dikenakannya. Olivia mengangkat pinggulnya untuk bertemu dengan milik James yang telah mengeras. Olivia hanya menatap ke dalam mata James dan melihat keingin pria itu yang berpedar di mata gelapnya. Pikiran Olivia berenang dalam fantasi, membayangkan menjadi obyek yang James Walles inginkan.
Jemari James terus menjelajah, meraba bahu Olivia yang terbuka. Satu jarinya membuat tali gaun tidur Olivia tergelincir ke bawah. Ini dia. James akan membuat Olivia polos seutuhnya di hadapannya saat ini. Keadaan tak akan bisa kembali lagi setelah itu. Bukan hanya karena ia tidak ingin berhenti, tapi karena Olivia juga sadar jika ia tak ingin yang terjadi berhenti.
Ini buruk, berita buruk. Itu penuh dengan potensi untuk merusak hubungan dirinya dan Matt. Ini bisa menghancurkan segalanya. Ini bisa menghancurkan Olivia. Pikiran yang meletup-letup dalam kepala Olivia saat jemari James mulai merambat untuk melepas kan kait bra yang membungkus dua gundukan kenyal milik Olivia. Saat jemari James berhasil melepaskannya, Olivia dengan refleks menganggkat punggungnya.
“Kau terlihat begitu cantik, Liv sayang,” ucap James sebelum ia membenamkan wajahnya ditengah gundukan Olivia. James menjilat permukaan kulit Olivia sementara jemarinya yang lain berada di ujung gundukan, memilinnya sebelum ia mengulum dalam mulutnya hingga membuat Olivia tersentak, bagai sengatan listrik.
Pandangan mata Olivia berkabut, ia berada di persimpangan. Rasa yang begitu ia dambakan. Dan kini semua bagai mantra yang membuatnya tak berdaya, hingga pandangan mata berkabut Olivia mendapati foto berbingkai, foto dirinya bersama Matt. Foto pertunangan keduanya.
“Tidak,” batin Olivia bersamaan dengan ispan James pada ujung dadanya dan Olivia tersentak, menengadahkan kepalanya dan dirinya kian tak berdaya saat jemari James lainnya telah berada di antara kedua pangkal pahanya, menggeser kain segitiga yang membungkus miliknya.
“James,” desah Olivia dengan napas yang terengah-engah dan pandangannya kabur, langit-langit ruangan yang samar dan James berhasil membuat Olivia menyerah. “Kau basah, Baby.” Olivia tak mampu berkata-kata selain mencari wajah James, membutuhkan ciuman pria itu.
Di atas semua itu, ada risiko besar tentang gaya hidup dunia fashion yang terbiasa dalam situasi seperti ini sepanjang waktu. Saat benih keraguan dan ketakutan yang tidak menguntungkan memasuki pikiran Olivia, ia tak bisa membuangnya. Olivia berpikir sadar tidak ingin masuk dalam daftar wanita petualangan James Walles. Ia tak ingin kegilaan ini. Ia harus menghentikan yang mereka lakukan saat ini, saling menyesap, meraba dan membawa keduanya ketepian, Olivia bertekat menghentikannya sebelum semuanya jadi terlalu jauh.
“Tidak, James. Apa yang kita lakukan salah.”
Suara Olivia terdengar bergetar. Wajahnya begitu dekat dengan James. Desir napas keduanya beradu. James menyusupkan kepalanya di tekuk leher Olivia. Menghirup aroma gadis itu di sana. Olivia tak dapat bergerak. James mencengkram tangan Olivia dengan kuat.
“Liiivvvv…” James menjilat kulit Olivia di sepanjang lehernya. “Kau membuatku gila, Liv,” desis James di telinganya sebelum ia menggigit daun telinganya hingga membuatnya bergidik.
“Tidak, James. Tidak,” kata Olivia pelan.
James menatap Olivia. Menempatkan wajahnya begitu dekat. Aroma alkohol dari napas James.
“Kau mabuk,” desis Olivia.
James mendekatkan keningnya ke kening Olivia.
“Aku tidak mabuk. Aku sadar menginginkanmu, Liv.”
“Aku sudah bertunangan, James,” desis Olivia spontan.
Seketika James menarik dirinya, membuat Olivia terdiam, menatap ke dalam mata James yang menatap dirinya lekang. Mata itu berubah keruh. Jantung Olivia terasa ingin copot dan jatuh ke lantai. Terdengar James manarik napas dan menghembuskannya dengan kasar.
“Aku akan membuatmu menjadi milikku, Liv.”
“Tidak, James.”
“Aku akan buktikan itu.”
James mengakatannya dengan penekanan dan sorot mata yang tajam menusuk, hingga Olivia merasa bergidik. James beranjak pergi, meninggalkan Olivia di balik hentakan pintu flat di belakang langkahnya.
***