Olivia - 7

1338 Words
Pagi ini yang terasa tidak baik bagi tubuh Olivia, ia merasakan lelah yang luar biasa, bahkan ia merasa jika dirinya terserang demam. Olivia tak dapat memejamkan matanya usai kepergian James. Ia terus terjaga hingga pagi, dan hanya tidur beberapa menit, itu pun dikarenakan matanya yang tak tahan lagi, mata yang mulai terasa panas dan berat. Olivia butuh kafein dalam darahnya, ia ingin tetap terjaga di tengah kesibukannya. Olivia meneguk kopi tanpa gula yang ia buat sendiri pagi ini dan sudah ia tuang ke dalam mug miliknya. Olivia sadar jika isi kepalanya butuh kafein untuk membuat otaknya tetap bekerja pagi ini. Kegilaan yang tak pernah ia duga, dan Olivia masih belum habis berpikir, bagaimana dan apa maksud semua ini. “Ya Tuhan,” desisnya sebelum meneguk kembali kopi panas dalam cangkir di genggaman tangannya. Olivia  menatap layar pnnsel di hadapannya. Panggilan Matt pagi ini sebanyak lima kali dan semuanya tak ada yang Olivia jawab. Namun ia telah mengirimi Matt pesan tertulis dan Matt akan menghubungi dirinya nanti siang saat jam istirahat. Olivia bergegas menyambar tas miliknya dan mengenakan mantel untuk segera bergegas menuju kantor. Namun betapa terkejut dirinya saat menuruni anak tangga menuju trotoar, James telah berada di anak tangga paling bawah. Ia bersandar di depan mobil yang sama dengan mobil yang ia kendarai pada perjumpaan pertama. Dugaan mobil itu miliknya, tak mungkin salah. James menatap Olivia yang terkejut dan masih berdiri di anak tangga paling atas. Wajah James yang lelah, sudut mata yang tampak merah, meski samar. Bayangan kejadian semalam berkelebat di kepala Olivia, ia tak mampu menyingkirkannya hingga pagi ini. Olivia menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum ia menuruni anak tangga dengan cepat. Olivia tak memiliki pilihan lain, ia tak ingin menatap James, ia akan langsung berbelok ke kanan begitu kakinya sampai di anak tangga paling bawah, namun apa daya, gerakan tangan James lebih cepat. Ia menyambar pergelangan tangan Olivia, membuat keduanya berdiri berhadap-hadapan dengan napas Olivia yang naik turun tak beraturan. “Lepaskan aku, James,” sembur Olivia sambil mengenyahkan tangan James dengan kesal dan kembali berjalan, namun James bertekat tak akan melepaskannya, ia kembali menyambar tangan Olivia sambil berkata, “Maafkan aku, Liv. Aku---” “Tidak James,” selak Olivia tegas sambil menatap mata pria itu. Langkah kaki Olivia berhenti, begitu juga dengannya. Olivia mencoba untuk memberanikan diri. Menggunakan sisa keberaniannya, Olivia sadar jika dirinya harus membuang semua ketakutan, meski ia merasakan tubuhnya gemetar. James menelan ludah. “Kau benar, aku mabuk.” Kalimat James seakan menjadi sebuah pengakuan pada Olivia. “Lepaskan tanganku. Kau telah menyakitiku,” ungkap Olivia pelan. Perlahan James mulai melepaskan pergelangan tangan Olivia. “Maafkan aku, Liv.” “Aku sudah terlambat, aku harus pergi.” Olivia berbalik dan James mengekor di belakang langkah Olivia. Bahkan langkah lebarnya berhasil mendahului Olivia, James berada di depannya. Ia berjalan mundur. “Aku akan mengantarmu.” James menawarkan diri. Olivia bergeming. “Ayolah Liv.” “Tidak, aku akan naik kereta.” Keduanya tetap melangkah menyusuri trotoar. Mereka berada di antara kesibukan pagi kota London. Orang yang berseliweran dengan tergesa-gesa. “Aku mohon, Liv. Izinkan aku menebus---” Olivia menghentikan langkahnya begitu juga James yang seketika berhenti. James tak menyia-nyiakan kesempatan, ia meraih kedua bahu Olivia. “Aku akan mengantarmu. Sebagai permintaan maafku.” “Tidak. Tidak perlu. Aku sudah memafkanmu,” kata Olivia dengan tegas dan menyingkirkan tangan James dari bahunya sebelum ia berjalan kembali, melangkah dengan lebih cepat. Meninggalkan James di sana. “Olivia!” pekik James memanggil namanya, sementara Olivia berharap jika James tidak mengikutinya, tidak menyusulnya hingga menambahkan kekacauan. Olivia terus berjalan tanpa menoleh, sampai saat dirinya akan berbelok untuk menuruni tangga stasiun bawah tanah, Olivia menoleh untuk berbelok. Betapa terkejutnya Olivia saat manik coklat matanya masih mendapati sosok James berdiri memandangi dirinya dari kejauhan. Ya, tatapan matanya yang tertuju pada Olivia sepenuhnya. Segenap hati Olivia bergetar hebat.   ***   “Siaaaaaaalllll!!!!” pekik James sambil melempar gelas dalam genggamannya ke dinding dan disusul suara pecah setelahnya. Meninggalkan runtuhan beling di atas lantai. Napasnya naik turun tak beraturan. Tatapan matanya nanar dan rahangnya mengeras, mengatup rapat. “Kau bodoh, James. Kau t***l! Dia berbeda. Olivia berbeda,” ucapnya pada diri sendiri. James menggeram marah, suaranya bagai serigala. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Menyandarkan kepalanya di sana. Menatap langit-langit rumah. Bayangan wajah cantik Olivia ada di sana. Wajah Olivia yang ketakutan, bagai anak kucing yang lucu berada di depan serigala kelaparan. “Ia takut padaku. Ya Tuhan, bodohnya aku.” James memejamkan mata, memijat pelipis di atas alisnya  yang terasa berkedut dan pening. Ada keheningan sebelum James beranjak dari sofa dan berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya sambil menanggalkan tshirt yang dikenakannya ke sembarang tempat, bunyi gemericik dari kepala sabuk yang ia tarik keluar, lalu celana jinsnya ia hempaskan, dan teronggok di salah satu anak tangga, menyisakan celana dalam yang menutupi miliknya yang mengeras. James berdiri di depan wastafel. Memandangi dirinya dengan tubuh yang nyaris telanjang berbalut celana dalam dan tampilan kusut. Matanya memerah, James tidak tidur, Ia terjaga di dalam mobilnya. “Aku sudah bertunangan, James.” Kalimat yang Olivia ucapkan dihadapannya. Kalimat yang serasa bagai tinju telak bagi seorang James Wallace, menghempaskannya hingga tak berdaya.  “Aku tak akan menyerah, Olivia.” Seringai miring khas James Wallace.   ***   The Peasant. 240 St. John Street Clerkenwell, London. Mungkin dengan asupan makanan lezat dan minuman enak, emosi dalam dirinya dapat pulih kembali. Olivia menghabiskan waktu paginya kali ini hingga jam makan siang di luar kantor. Olivia memutuskan untuk tidak ke kantor dan bekerja dari luar. Dirinya membutuhkan udara segar. Ia juga butuh menata kembali pikirannya. Mengenyahkan James dari dalam otaknya. Kegilaan yang tak pernah Olivia duga sebelumnya. Citra bayangan pertemuan dirinya dengan James pagi itu. Sikap misteriusnya, tatapan matanya yang tajam menghujam hingga ke relung jiwa terdalam seorang Olivia Franklin, hingga ia menghilang entah bersama dengan mobil sport mewahnya, mobil yang sama dengan yang di kendarainya pagi ini. Olivia meneguk kembali teh dalam cangkir yang ada di hadapannya. Selanjutnya ia memotong steak menjadi dadu lalu memasukkan ke dalam mulutmya satu persatu. “Apa yang terjadi sebenarnya. Ya Tuhan,” gumam Olivia sambil menggelengkan kepala pelan. Olivia melayangkan tatapan mata indahnya keluar jendela restoran, dengan sengaja dirinya selalu memilih duduk dekat jendela, ia dapat menyaksikan orang berlalu-lalang dengan langkah cepat, berkejaran dengan waktu. Mobil yang melintas. Sebuah kereta bayi yang berhenti tepat di hadapannya yang ada di balik kaca. Tampak sang ibu sedang menerima telepon. Bayi itu tepat menghadap ke arah Olivia. Bayi perempuan dengan mata bulat, bening dan tersenyum manis. Seringai lucu yang diperlihatkannya di hadapan Olivia membuat Olivia ingin menyentuhnya. Hati Olivia terasa tergelitik melihat senyumnya, hingga tanpa menyadari dirinya yang ikut tersenyum. Layar ponsel Olivia berubah terang berbarengan dengan suara denting pesan masuk. Dengan sigap ia meraih ponselnya, tak langsung membukanya sampai bayi perempuan itu kembali berlalu dari hadapan Olivia.   Maafkan aku, Sayang. Aku masih berada di ruang meeting. Aku akan menghubungimu nanti malam. I love you, Liv. Matt.   Isi pesan yang di kirimkan Matt untuk Olivia. Bayangan wajah Matt dan suaranya di telinga Olivia siang ini sirna. Matt telah pergi meninggalkannya demi pertemuan bisnisnya sejak kemarin pagi. Dan ia tak tahu kapan tunangannya akan kembali. Olivia merunduk, menghembuskan napas dengan berat. Ia merasakan dirinya sangat butuh melonggarkan rongga dadanya, paru-parunya butuh oksigen. Jam menunjukkan pukul dua siang.   Kau di mana Liv? Ada banyak kiriman bunga untukmu. Aku tak yakin akan cukup berada di ruangan kerjamu.   Seketika kelopak mata Olivia terbelalak saat ia membaca notifikasi pesan w******p pada layar ponselnya yang berubah terang. Pesan yang dikirimkan Gaby. Dengan gerakan jari yang untuk membuka ponselnya kembali, membaca pesan w******p sekali lagi.   Kau dimana Liv? Ada banyak kiriman bunga untukmu. Aku tak yakin akan cukup berada di ruangan kerjamu.   “Ya Tuhan,” desisku. Olivia seketika terdudu tegak dalam diam, matanya membulat, menatap ke depan. Ada sepasang pria dan wanita yang sedang berbincang di meja tepat di seberang meja yang ia duduki. Bayangan wajah Matt melintas di kepala Olivia, ia mencoba berpikir sejenak, sejak kapan Matt seromantis itu padanya. “Matt, ya aku yakin dia, siapa lagi?” gumam Oliva dalam hati dengan wajah yang berubah bahagia. Ia merasa pipinya menghangat. “Ia sengaja membatalkan teleponnya untuk memberikanku kejutan.” Olivia bergumam dengan pikirannya sendiri sambil menghela napas panjang, melambaikan tangan ke arah pelayan restoran sambil memberi aba-aba untuk memberi bill pembayaran padanya.     Aku akan segera ke kantor, Gaby.   Olivia mengirimi Gaby sebuah pesan balasan. Beberapa menit berlalu dan Olivia sudah berada kembali di kereta bawah tanah yang membawanya menuju kembali ke kantor.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD