Chapter 02

1875 Words
Mei tertawa keras. Dia bahkan memegang perutnya dan hampir saja terjungkal dari kursi tinggi yang sedang dia duduki. Sementara aku, dengan mata bengkak, rambut lepek, penampilan lusuh yang bisa saja membuat para banci pun mengernyit jijik, baru saja menceritakan kisah cintaku yang kandas dan tidak bersisa. Dan lihat, apa yang sahabatku yang kusebut titisan dari cenayang selevel Ki Joko Bodo itu lakukan? Dia tertawa! Tertawa yang bukan hanya he he he, tetapi tertawa lepas yang membuat rahang lelah karena terlalu lama terbuka dan perut keram karena otot perut yang terlalu dipaksa untuk bekerja keras. "Stop it! Mei!" hardikku kesal. Mei tampak berusaha berhenti tertawa. Membungkam bibirnya dengan kedua tangannya untuk dua detik sebelum dia kembali tertawa. Sial kuadrat! Memang salah jika aku bercerita mengenai kronologis di mana aku meneriakkan pertanyaan mengenai orientasinya kala itu. Bukannya harga diriku yang kembali, aku malah berada di titik menyedihkan dan menggenaskan di depan banyak orang. Ingin berkata kasar rasanya! Oh, s**t! Jika ini adalah panggung broadway, kisahku mungkin bisa dijadikan komedi tidak lucu yang hanya membuat orang-orang seperti Mei tertawa bahagia. Dasar sahabat kurang micin! "Mike! Are you, gay?!" teriakku keras malam itu. Aku memang sengaja melakukannya dengan suara keras. Membuat perhatian orang yang berlalu lalang terhenti dan tertuju ke arah kami. Aku bukanlah tipe perempuan lemah yang akan pasrah karena perilaku b******n di depanku. Diselingkuhi oleh perempuan lain di sebuah hubungan pernah kurasakan sebelumnya. Ingat kan kalau mantan pacarku kebanyakan adalah b******n b******k? Dan ketika aku memergoki si mantan sedang b******u dengan liar dengan wanita lain, aku tidak hanya diam dan menangis. Melainkan menampar keduanya dan berbalik dengan dagu terangkat tinggi. Dan kini... "Babe-" "Don't babe me, Mike! How dare you!" kataku dengan perasaan ribuan pisau yang menancap di jantungku. Ini bukanlah bualan. Mengingat bahwa sikap Mike begitu baik dan gentle kepadaku, benar-benar membuatku kecewa ketika tahu bahwa dia memiliki pasangan lain yang parahnya adalah, seorang laki-laki seperti... seperti.... Aku mengusap wajahku. Melihat tubuh Henry yang membeku. Wajah aristokrat khas Inggris tercetak di sana. Dan harus kuakui, sekilas dia terlihat manis untuk ukuran seorang pria. Oh God! "Bagaimana bisa kamu melakukan ini kepadaku, Mike! Kupikir... Kupikir..." Aku mulai terisak. Rasa sedih tiba-tiba menyergapku. Kupikir Mike berbeda dibandingkan mantan-mantanku sebelumnya. Kekecewaan mendominasi perasaanku saat itu. Ya ampun, aku tidak ingin menangis. Apalagi di depan umum seperti ini. Tetapi melihat raut wajah bersalah yang Mike tunjukkan apalagi dengan dia yang terlihat tidak mau mengelak, membuat jantungku terasa diremas dari dalam. Oh dear... Tubuhnya lalu condong kepadaku. Berniat untuk memelukku yang segera kutepis begitu saja. "Kamu harus memilih, Mike! Kamu tidak bisa melakukan ini kepadaku, ataupun kepada Henry!" kataku tajam. Dari tempatku, aku bisa melihat tubuh Henry yang membeku. Matanya tampak terluka dan ketakutan. Membuatku merasa di atas angin untuk sesaat sebelum jawaban yang keluar dari mulut Mike membuatku terlihat lebih merana. Seharusnya aku tahu bahwa Mike, tidak akan memilihku. Bahkan selama ini, Mike hidup satu atap bersama Henry! Hanya Tuhan dan mereka yang tahu perbuatan apa saja yang mereka lakukan selama ini. "I'm so sorry, Babe. But, Henry need me. Seperti aku yang sama besarnya membutuhkan dia. I can't lost him," katanya tanpa ragu. Dia lalu berbalik. Menggenggam tangan Henry di depanku. Di depan gadis yang baru dia tolak untuk pria lain! Teganya dia! Seolah aku tidak cukup mempermalukan diri di tengah khalayak umum, otakku yang sepertinya sudah menguap tak bersisa malah bertanya-tanya, mengapa Mike tidak pernah menyebut namaku. Selama ini dia selalu memanggilku Babe. Panggilan yang menurutku sangat manis jika saja dia memang bermaksud menjadikanku sebagai Babe-nya. Atau malah dia tidak memanggil namaku karena dirinya tidak ingat namaku, ya? "Apa kau tahu siapa namaku, Mike?" kataku cukup keras untuk didengar olehnya. Bukannya aku ingin menyadari bahwa aku masih dalam kartu keluarga Gumala yang cukup tersohor bahkan di Inggris Raya. Melainkan karena aku benar-benar tidak bisa menahan rasa ingin tahuku. Mike lalu berbalik. Mengulas senyum sedih kepadaku. "Aku tidak sejahat itu sampai tidak mengetahui namamu, Alisa. Perasaanku kepadamu selama ini tulus. But, I can't leaving him and just be yours. I can't do it. I'm sorry, Al." Dia lalu menggenggam tangan Henry semakin erat. Menariknya pergi bersamaan dengan bisikan seperti lebah yang bergaung di sekitarku. Tetapi setidaknya mereka tidak cukup lama ingin tahu dan segera membubarkan diri melihatku yang tertegun di tempatku. Dan setidaknya, aku tidak akan menetap di tempat ini sepanjang hidupku. Aku tidak perlu menjaga image dan tidak perlu mengkhawatirkan diri jika saja ada yang mengenalku dan menyapaku kemudian. "Aku akan memberitahu kepada Ted apa yang terjadi kepadamu. Tunggu sebentar!" kekehan Mei perlahan surut. Mungkin dia melihat betapa dalamnya aku terluka karena Mike. Tetapi mendengar nama Ted yang dia sebutkan membuatku menggeram kesal. Aku dengan cepat menarik ponsel di tangannya dan melemparkannya ke atas kasurku. "Hey!" Aku mendelik. Berkacak pinggang dengan mata yang menatapnya tajam. "Kamu itu ya! Benar-benar tidak bisa diharapkan! Apa sih maksudmu memberitahu Ted. Kamu ingin ceritaku diangkat di panggung Broadway?" Mei mengedik sebelum meringis. "Kalau pun iya, Ted pasti akan bijaksana dengan mengganti nama tokoh yang akan diperankan." Aku mendengkus kesal. Berdiri dan berjalan menuju dapur. Mengambil satu box s**u vanilla full cream dan meneguknya langsung dari tempatnya tanpa menggunakan gelas. "Jadi, galaunya sudah selesai, kan?" tanyanya ringan sambil mengikutiku. Duduk di depan meja konter dapur dengan kedua alis yang di naik turunkan dengan menjengkelkannya. "Kamu tuh temen yang nggak bisa diajak galau! Yang ada malah bikin kezel pakai huruf Z!" Mei kembali tertawa. "Kan memang begitu gunanya sahabat. Menertawakan kebegoan sahabatnya daripada ikut menangisi kegundahannya," jawabnya sok puitis. Meh! Dasar teman yang otaknya kurang setengh ons. Salah apa sih aku bisa betah temenan sama dia?! "Makanya dari awal kan aku sudah bilang ke kamu, mending kamu terima cinta tulus nan suci dari adik ipar sepupumu itu." Aku melongo. Menoyor kepala gebleknya yang semakin geblek seiring bertambahnya usianya. "Kamu nggak punya otak, ya? Dia masih sangat muda, Mei!" "Itu kan tiga tahun yang lalu. Sekarang dia sudah berusia ehm..." Mei mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja konter. "Seenggaknya, dia hampir lulus dan menyandang gelar Bachelor kan? Dari penerawanganku, ya, dia cerdas kok. Mampu lah memimpin salah satu anak cabang perusahaan kakakmu dan bisa menafkahimu," Mei lalu terkikik. Kuduga otak orak-ariknya sedang membayangkan Kilua yang inocent itu. "Jangan mikir yang enggak-enggak, ya! Kamu mau aku nggak punya muka di depan Arvind-Kanaya?" Kanaya adalah kakak Kilua yang menikah dengan Arvind yang juga adalah sepupuku. Jadi, Kilua adalah adik ipar dari sepupuku yang berarti juga sepupuku. Titik. "Memang kenapa? Toh wanita yang lebih matang daripada sang suami di jaman sekarang, sudah banyak terjadi. Kalian juga nggak terikat darah untuk bisa dinikahkan secara agama dan hukum." Aku mencebik kesal. Memangku daguku dengan kedua lenganku. Berhadapan dan berdiskusi dengan sahabat sablengku tidak pernah menjadi solusi terbaik. Dia adalah biang onar yang sesungguhnya. Memaksaku untuk keluar dari zona nyaman dengan iming-iming menikmati hidup. Walau memang penuturannya terkadang benar, sih. Setidaknya, namaku yang sudah diakui di kalangan travel blogger adalah karena sarannya yang kebetulan berfaedah. "Kamu tahu, kan teori yang mengatakan mengobati patah hati dengan cinta yang baru? Lagian patah hati tak berkesudahan nggak cocok buat imagemu. Apalagi patah hati karena diselingkuhi dengan cowok lain. Pffft..." katanya tanpa tedeng aling-aling. Jika sudah begini, aku menyesal memberikan akomodasi baginya untuk terbang dari New York ke London. Apalagi tiket pesawatnya menggunakan kelas bisnis yang cukup mengurangi isi tabunganku. Well, aku belum memperkenalkan Mei si kupret teman baikku, ya? Dia adalah sahabatku sejak jaman memakai pembalut pun masih sering terbalik antara depan dan belakang. Sahabat yang kadar kesetiannya sudah mengalahkan rexona yang setia setiap saat. Apalagi pepsodent yang cuma melindungi selama duabelas jam... "Nggak usah mikir macam-macam. Besok aku juga harus balik ke New York sebelum Ted nyusul ke sini," ujarnya bangga. Ted adalah suami Mei, salah satu astrada di teater Broadway yang terkenal itu. Sementara Mei adalah penata artistik di panggung Broadway. Mereka adalah orang yang hidup demi mengejar impiannya. Yang tidak menyerah dan berhasil hingga sampai ke titik ini. Dan perjalanan mereka, tidaklah semulus paha personil SNSD. Aku cukup tahu bagaimana Mei yang harus diam-diam mengambil dua jurusan ketika kuliah dulu, semata-mata demi bisa menjadi salah satu bagian dari tim Broadway. "Nah, sekarang kamu sudah siap untuk bertemu dengan cinta yang baru," katanya dengan mengutak-atik ponselku yang entah sejak kapan berada di genggamannya. "Aku sudah memesan tiket ke Oxford. Besok, kita sama-sama harus bertemu dengan cinta kita masing-masing. Aku akan menemui Ted, dan kamu-" Mei mengedikkan bahunya. "Entah siapa yang menunggumu di sana, kuharap kamu beruntung." Aku menaikkan satu alisku. "Kamu lagi nggak ngasih aku kutukan lainnya, kan?" Mei malah terkikik. "Memangnya aku sesakti Mpu Gandring atau Panuluh yang bisa kasih kamu kutukan? Keturunan dari emaknya Malin Kundang juga nggak ada!" "Tetapi kutukanmu tentang pria b******n di antara pria b******n yang selalu menjadi pacarku terbukti benar, tuh," ujarku masam. "Itu kan karena kamu yang terlalu bego dan buta menilai para pria. Kuharap, setelah kebodohanmu yang ini, kamu bisa sedikit lebih pintar, ya?" dia menyeringai. Menampakkan satu gigi gingsulnya yang membuat wajahnya terlihat imut dan awet muda. Pada akhirnya, aku melakukan apa yang Mei sarankan. Pergi untuk mengunjungi Kilua yang sedang mereguk ilmu di Oxford. Ah, dia menempati flat mungilku. Flat yang telah menjadi hak milikku dan kupaksa agar dia menempatinya. Karena jika tidak dipakai pun, aku masih harus mengeluarkan biaya perawatan setiap bulan. Dan untuk dijual pun, aku merasa sayang karena tempat itu cukup menyimpan kenangan yang menyenangkan. Sudah menjelang malam ketika aku sampai di flat bernomor 88 itu. Nomor yang kuanggap sebagai keberuntungan. Aku sudah memberitahu Kilua bahwa aku akan datang, meski dia belum membalasnya. Mungkin Kilua sibuk atau sedang tidak bisa diganggu. Yeah, itu tidak masalah karena aku masih memiliki kunci cadangan. Ketika aku membuka pintu flat, aku cukup terkejut ketika melihat Kilua yang sedang tertawa dan dalam posisi yang membuat pikiran orang yang melihatnya menjadi tercemar. Karena dalam posisinya yang sedang tengkurap dengan kedua tangan yang menjadi penopangnya, ada seorang gadis manis yang sedang tertawa bersamanya. Tatapan mereka terlihat bahagia satu sama lain dan aku cukup menyadari bahwa perasaan Kilua denganku telah lama musnah. Oh hati, bertahanlah untuk tidak kecewa. "Kak Ally!" pekik Kilua begitu dia menyadari keberadaanku. Dia segera bangkit. Menarik gadis yang beberapa saat lalu berada di bawahnya dan kini merona merah. "Sorry. Apa aku menganggu? Aku sudah mengirim pesan untukmu," tanyaku tidak enak. Kilua menggaruk kepalanya. Bergegas mencari ponselnya dengan layar gelap. "Maaf Kak, ponselku mati," dia meringis kemudian melirik kepada gadis di sampingnya. "Uhm... dia Mentari, Kak. Pacarku," ujarnya dengan wajah bangga yang berbinar-binar. Holly crap! Mengapa rasanya aku ingin berada di posisi Mentari, ya? "Hay, aku Alisa. Sepupu Kilua," kataku setelah mengenyahkan pikiranku yang tidak-tidak. Gadis bernama Mentari itu lalu memperkenalkan dirinya dengan sopan. Dari sekilas saja aku bisa menilainya bahwa sosok Mentari adalah gadis baik, manis, dan memang sesuai untuk Kilua yang sama baiknya. Ah Tuhan, mengapa rasanya begitu menggenaskan ya status jomlo kali ini?! "Kakak istirahat ya, aku mau antar Mentari pulang," pamit Kilua setelah melihatku yang tidak bisa lagi menahan kuap. Aku mengangguk. Segera memasuki satu kamar kosong lainnya yang memang sengaja kupinta jika saja aku ingin mampir. Dan di malam itu, aku bermimpi terbangun di malam hari dan kemudian mengambil segelas air dari dapur. Masih di tempat yang sama, mimpi yang sama juga, aku melihat manik biru kehijauan yang terlihat mempesona walau dilihat hanya sekilas di bawah temaram lampu dapur.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD