Chapter 03

1329 Words
Aku terbangun karena mendengar suara nada dering di ponselku yang berada di atas nakas. Mengeceknya, aku melihat pesan dari Kilua yang mengatakan bahwa dia harus ke kampus dan telah meninggalkan sarapan untukku di kulkas. Great! Dia memang pria yang bisa diandalkan. Sayangnya dia tidak lagi available. Pikirku kesal. Dengan malas, dan karena aku yang tidak lagi mengantuk, akhirnya aku memilih memainkan tab-ku. Melihat harga saham hari ini dan mengecek bagaimana kondisi finansialku sejauh ini. Senyun lebar tentu saja tercetak di bibirku melihat bahwa aku masih bisa bersantai setidaknya untuk sepuluh tahun ke depan dengan bermodalkan saham yang tiap hari merangkak ke arah yang menguntungkan. Err, aku belum bilang ya kalau aku pintar bermain-main dengan saham dan pandai mengelola uangku? Jangan dikira bahwa kerjaku hanya bermain dan meminta jatah liburan kepada satu persatu keluarga yang bisa kurampok. Aku tidak se-pengemis itu. Usaha coba-cobaku ini dimulai sejak aku kuliah. Harus mati-matian memutar otak karena ayah mengatakan akan menghentikan subsidinya di tahun kedua. Karena itulah, ketika kartu kredit dan debit belum sepenuhnya ditarik, aku memanfaatkan fasilitas yang ada dengan maksimal. Setidaknya aku cukup berhasil dan memiliki sedikit properti yang bisa kubeli dengan hasil keringatku sendiri. Hanya Alfa, kakak tertuaku yang tahu mengenai saham itu. Karena aku membutuhkan bantuannya untuk mengurusi remah-remah tentangnya dan aku juga terlalu malas untuk mengurusi t***k bengek yang perlu dilakukan. Setidaknya, prediksiku mengenai kurs saham tidak pernah meleset dan Alfa juga melakukan investasi di area yang sama denganku. Tentunya dengan nominal yang berbeda jauh dari yang mampu kulakukan. Kakakku, kan CEO Gumala Groups. Satu jam berikutnya, setelah aku selesai memeriksa email dan lainnya. Tahu bahwa aku mendapatkan undangan di India di mana festival Dil Wali akan dilakukan sebulan ke depan, segera saja aku menyetujuinya. Tanpa pasangan dan tanpa rencana bukanlah dua hal yang baik. Karena itulah sebaiknya aku membuat diriku sibuk dengan rutinitas yang ada. Merasa bahwa badanku lengket, akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Memakai tank top berwarna putih tanpa bra yang melapisinya dan hot pans yang memeluk p****t seksiku. Kilua mengatakan bahwa ia akan pulang larut. Itu artinya aku hanya akan sendirian di rumah ini, kan? Rambutku yang panjang aku ikat menjadi buntalan di atas kepalaku. Menampakkan leher jenjang yang menurut Mike sangat seksi. Oh, tidak! Aku harus dengan segera melupakannya! Rutukku dalam hati. Tidak ada gunanya menangisi pria yang memilih pria lain. Meskipun dia sangat baik kepadaku... Aku mengerjap. Menggeleng keras dan menepuk-nepuk pipiku. Menghalau agar perasaan melow tidak lagi menyelimutiku. Masa berkabung untuk periode patah hatiku tidak pernah lama. Memang ada masanya aku menangis seharian. Mengonsumsi makanan berlemak sembari menonton film-film melow yang bisa menguras air mataku. Titanic dan Hachiko adalah favoritku. Setidaknya, membayangkan bahwa orang terkasih mati lebih baik daripada kenyataan bahwa dia memilih pria lain. Sial! Aku kembali memikirkan dia. Membuka pintu kamarku, aku segera saja berlalu ke arah dapur. Mengambil sarapan yang Kilua buat dan hampir meneteskan air liur ketika melihat Macaroni schotel yang tersimpan dengan aman. Aku mengambil dua, memanaskannya di microwave dan menuangkan segelas s**u full cream ke dalam gelas. Setelah microwave mengeluarkan suara yang menandakan sarapanku siap disajikan, segera aku membawanya ke meja konter. Bersiap untuk memakannya ketika aku mendengar suara pintu kamar Kilua yang terbuka. Memunculkan pria shirtless yang mampu membuat air liurku menetes bahkan tanpa bisa kucegah. Rambut bangun tidurnya yang gelap tampak remas-able. Dan ketika dia membuka matanya, netra biru kehijauan yang terlihat dibalik kelopak matanya itu. Tatapan mata kami sempat bertemu. Sebelum dia mengulas senyum miring dengan mata yang melihatku dari ujung kepala dan berhenti di dadaku. Berbeda dengan reaksi Kilua ketika dia pernah melihat keadaanku yang serupa berapa tahun sebelumnya dan dia langsung memalingan wajahnya dengan warna semerah tomat, pria di depanku yang kuduga seumuran dengan Kilua malah dengan tanpa malu melihatnya dengan jelas. Bibirku langsung membentuk satu garis tipis. Satu lagi pria b******n di sekitarku. "Hai," ujarnya dengan suara serak khas bangun tidurnya Dia lalu mendekatiku. Menarik satu kursi di depanku dengan masih mempertahankan senyum miringnya. "Gue teman Kilua, nama gue-" Deringan ponsel mengintrupsi perkenalannya. Aku yang malas menanggapi karena matanya yang tidak tahu diri, segera mengangkat telepon itu. Mengabaikan uluran tangan teman Kilua yang tidak mau kutahu namanya. "Ya, Kilua?" "Kakak sudah bangun?" tanyanya. Aku hanya diam dan menunggu dia mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. "Maaf Kak, sepertinya hari ini aku akan menginap di lab. Maaf karena tidak bisa menemani Kakak jalan-jalan," katanya sebelum aku mendengar suara teriakkan di belakangnya yang memanggil namanya. "I'll be there. Just wait a second," balas Kilua cepat. "Aku harus segera pergi Kak, sekali lagi maaf ya. Dan-" "Ya?" tanyaku mendengar suara Kilua yang tercekat. "Temanku menginap semalam. Usir saja jika dia menganggu Kakak. Bye, Kak." Klik. Aku mengernyit. Melihat sambungan yang langsung terputus oleh Kilua. Kelihatannya dia benar-benar sibuk meski sudah di tingkat akhir. Aku mengedikkan bahu memakluminya. Menolehkan kepala, aku melihat wajah pria dengan mata yang lagi-lagi mengarah ke dadaku. Aku berdecak kesal. Memukul kepalanya dengan sendok di tanganku dan membuatnya mengaduh. "Itu tolong ya! Mata harap dikondisikan!" desisku kesal. Mengambil sendok lain dan mulai menikmati sarapanku. Teman Kilua hanya meringis meminta maaf. Mengambil satu macaroni schotel yang telah kupanaskan dan makan bersamaku. "Nggak baik nolak rejeki," gumamnya dengan mata yang kembali mengarah ke gundukan dadaku. Lama-kelamaan bisa juga itu mata aku tusuk dengan garpu. Tetapi menyadari bahwa fisikku cukup menarik bagi pria muda membuatku sedikit senang. Yah, dalam kondisiku yang baru saja patah hati entah mengapa membuatku seperti tante girang kurang belaian. Ish. Memikirkan yang baru saja terlewat di kepalaku membuatku kesal. Enak saja! Aku tidak akan semurahan itu meskipun pria di depanku ini cukup tampan dengan wajah setengah bule dan mata biru kehijauannya. Dengan cepat, aku menghabiskan sarapanku. Bergegas masuk ke dalam kamar dan melapisi tank topku dengan blouse berkerah lebar masih tanpa braku. Aku hanya akan berjalan-jalan di dekat sini sebentar. "Mau ke mana?" tanya teman Kilua yang masih duduk di konter dapur dengan ponsel di tangannya. "Jalan-jalan," jawabku pendek. Lalu satu pikiran terbesit lagi. "Mau ikut?" ujarku yang merasa bahwa merasa sepi juga jika sendirian. "Tunggu sebentar. Gue mandi dulu," ucapnya cepat dan segera saja bangkit dan berlari ke kamar Kilua. Aku mengedik tidak acuh. Memilih duduk di sofa dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa menarik perhatianku di televisi. Sepuluh menit kemudian, teman Kilua itu sudah siap dengan kaos berwarna hitam yang mencetak tubuh atletisnya. Kaca mata hitam yang dia gunakan dan rambut basah sehabis mandi menambah ketampanannya. Jika saja dia bukan jenis bajingan... Aku menghela napas panjang. Segera beranjak dengan dia yang mengikutiku layaknya anjing pudel yang butuh belaian. "Kita mau ke mana?" tanyanya setelah sepuluh menit kami berjalan, dan tanpa sepatah kata yang keluar di bibirku. Sementara sepuluh menit terakhir, tidak terhitung banyaknya gadis yang flirting dengan teman Kilua ini. "Namanya juga jalan-jalan, ya gini aja terus sampai capek," jawabku sekenanya. "Jadi, tidak ada tujuan?" tanyanya sambil mengernyit. Aku akan menjawab iya ketika ponselku kembali berdering. Telepon dari Mei dan langsung membuatku was-was. "Ada apa?" "Kamu sudah di Oxford, kan?" tanyanya dengan suara keras. Aku bahkan sampai harus menjauhkan teleponku dari telingaku. "Iya, bawel. Ada apa sih?" tanyaku lagi sambil meneruskan jalan-jalan siang di antara bangunan kota Oxford yang sudah kuhapal. "Bagus! Kamu ke Alexis, gih. Kasih pelajaran ke Leon b******n katrok. Dia lagi di sana." Aku menghentikan langkahku. Memeriksa jika saja yang menghubungiku benar-benar Mei. Ada urusan apa Mei dengan Leon sampai-sampai dia memintaku memberi pelajaran untuk Leon? Well, Leon adalah satu dari sekian mantan pacar yang juga sama b******n dan brengseknya. Mengencaniku karena dia tahu bahwa aku adalah putri dari keluarga Gumala sementara di belakangku, penisnya dengan bebas memasuki liang-liang wanita lain. Mengingatnya saja membuatku mual. "Urusanku sama dia sudah nggak ada, Mei. Buat apa lagi capek ngurusin dia, sih?" "Karena dia bikin video dan bilang kalau dia udah berhasil tidur sama kamu di Instagramnya. Aku tahu dia bohong. Jelas kamu masih perawan. Iya kan?" "b******n!" geramku kesal. Kakiku langsung memutar haluan ke tempat yang tadi Mei katakan. Satu atau dua tendangan di bola bekelnya mungkin berguna untuk mengembalikan otaknya ke tempat yang semestinya.   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD