THE LOVE AND LOSE

1977 Words
Waktu 20 menit perjalanan dari apartemen Ethan ke rumah sakit St. Elizabeth tempat Ibunya dirawat terasa bagai setahun perjalanan bagi Cherry. Cherry sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bulir bening lolos deras dari pelupuk matanya, masih tanpa mengeluarkan suara. Cherry menangis dalam diam. Sesekali Ethan menoleh memastikan Cherry baik-baik saja. Cherry langsung berlari menerobos masuk ke dalam rumah sakit begitu Ethan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Ethan memberikan kunci mobil pada seorang satpam, meminta tolong membawa mobilnya ke tempat parkir. Ethan masih bisa melihat Cherry yang berlari kalap dan Ethan segera berlari menyusulnya. Ethan masuk lift menyusul Cherry sepersekian detik sebelum pintu lift tertutup. Ethan langsung memeluk Cherry, menenangkan. Kata-kata apa pun pasti tidak akan bisa membuat Cherry tenang. Ethan hanya memeluknya, dan merasakan betapa tangan Cherry balas memeluknya erat, seakan takut terjatuh. Tubuh Cherry gemetar hebat. Denting lift berhenti di lantai 5 tempat Ibu Cherry dirawat. Cherry segera menghambur keluar, menyusuri lorong dan berhenti tepat di kamar nomor 23. Seorang perawat yang berada di depan pintu menahan Cherry. Tidak memperbolehkan Cherry masuk karena Ibunya sedang mendapat penanganan. Perawat yang melihat Ethan datang bersama Cherry mengangguk hormat dan mempersilahkan Ethan mengikuti jalannya penanganan. Perawat tadi berusaha menenangkan Cherry yang menangis. Cherry dibawa duduk di kursi tunggu. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Dua puluh menit kemudian Ethan keluar bersama 2 orang dokter dan dua orang perawat. Berbicara istilah-istilah kedokteran yang tidak di mengerti oleh Cherry. Pintu ruang inap terbuka lebar, dua orang perawat keluar mendorong ranjang berisi tubuh Ibunya yang telah terpasang selang dimana-mana. Cherry menjerit tertahan. Ethan menahannya mengikuti sang Ibu. Ethan merengkuhnya dan membawanya duduk. “Berdoa yang terbaik, okay. Kami akan pindahkan Mommymu ke ruang ICU, beliau membutuhkan perawatan yang lebih intensif.” Ethan menjelaskan kondisi unconscious, kondisi tak sadarkan  diri karena fungsi liver sang Ibu yang mendadak drop. Hati Cherry perih tak terkira. Pening kepalanya datang lagi. Dia sangat khawatir dengan kondisi Ibunya. Dia juga bingung memikirkan  biaya rumah sakit nantinya. Meminjam pada bos tempatnya bekerja tidak mungkin karena minggu lalu dia baru saja meminjam sejumlah uang untuk menebus obat Ibunya. Ethan masih memeluk pundak Cherry erat. Kepala Cherry lemas terkulai di leher Ethan. Napas halus penuh lelah bisa dirasakan oleh Ethan. Ethan mengeluarkan ponsel dari sakunya dan melakukan panggilan pada seseorang. Cherry tak begitu tahu pembicaraan Ethan dengan orang itu, tapi selang lima menit kemudian datang seorang pria tampan, sangat tampan, berbadan tegap, berambut ikal rapi dengan mata biru menghampiri mereka. Pria itu memakai kemeja putih dan celana bahan hitam. Sepatu mengkilap yang sangat apik membingkai kakinya. Pria itu duduk di samping Ethan dan menanyakan beberapa hal pada Ethan. Sesekali matanya melirik Cherry yang berada dalam pelukan Ethan. Matanya bersinar jahil. Sesekali senyum miringnya mengembang membuat Ethan menggeleng. Bukan waktunya bercanda! Ethan menatap pria itu tajam. Pria yang di panggil Henry oleh Ethan itu berdiri, menepuk pundak Ethan dan melangkah pergi. Tadi sekilas Cherry melihat pria itu dengan ujung matanya. Pria itu tampan, mengingatkan Cherry pada pemeran tokoh Superman. Mirip sekali terutama mata dan senyum nakal berlesung pipinya. “Mau melihat Mommy mu sekarang?” Cherry mengangguk cepat. Ethan menggandengnya menuju ruang ICU di lantai 6. Cherry mencuci tangannya dengan sabun antiseptik dan memakai baju khusus untuk masuk ke ruangan tempat ibunya dirawat. Sekuat tenaga Cherry menahan tangis. Ibunya tergolek tak berdaya dengan begitu banyak selang penunjang kehidupan. Terbaring koma. Kondisi yang sama sekali tak terlintas di benak Cherry. Dokter masih mengobservasi kondisi Ibunya, kata Ethan tadi. Cherry mencium kening Ibunya lembut. Membisikkan bahwa Cherry ada untuk Ibunya. Cherry hanya diizinkan berada di ruang ICU selama sepuluh menit saja. Setelah itu dia harus keluar. Dengan berat hati Cherry keluar dan menemukan Ethan yang sedang berbicara dengan seorang dokter jaga. Ethan menoleh, berjalan menghampiri Cherry. “Ethan, bolehkah aku menunggu di sini?” Cherry menatap Ethan dengan pandangan sayu.  Ethan menggeleng. Telinganya beradaptasi cepat dengan panggilan Ethan tanpa embel-embel apa pun yang entah mengapa terdengar sangat lembut. “Tidak boleh Cherry...kita harus pulang. Kau juga harus istirahat. Tidak mau bukan semua drop? Kau harus tetap sehat agar bisa merawat ibumu. Aku janji akan memantau terus keadaan beliau.” Cherry mengangguk beberapa saat kemudian. Ethan mengacak rambutnya pelan. Ethan menggandengnya keluar dari rumah sakit dan kembali ke apartemennya. Pukul 20:00 ketika Ethan tiba di apartemen. Ethan menggendong Cherry yang kelelahan dan merebahkan Cherry di ranjang ruang tidur tamu. Terlalu lelah hingga Cherry sama sekali tak terusik mketika Ethan menggendongnya. Ethan memandang wajah damai Cherry. Temaram lampu tidur tak mengurangi kecantikannya. Wajahnya terlihat lelah. Sesekali dahi Cherry mengernyit. Bahkan dalam tidurnya, Cherry melakukan itu. Mengernyit dalam seakan teringat beban berat yang menggelayuti hidupnya. Ingin sekali Ethan mencium dahi itu, menghilangkan jejak pedih di wajahnya. Ethan membetulkan letak selimut Cherry, kemudian melangkah ke luar dari kamar menuju ruang kerjanya. Ethan duduk terdiam di kursi kerjanya. Memikirkan betapa serius kondisi Ibu Cherry. Bunyi pesan masuk. Ethan membaca pesan itu dan beranjak. Ethan ke luar dari ruang kerjanya. Melangkah ke arah ruang tamu. Duduk di sofa tanpa menyalakan lampu. Menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Menunggu... Tiga puluh menit kemudian bel berbunyi. Ethan melangkah ke arah pintu dan membukanya. Sesosok perempuan cantik tersenyum. Ethan mempersilahkan perempuan itu masuk. Mereka menuju kamar Ethan sambil bergandengan tangan. Ethan membuka pintu kamar dan mempersilahkan wanita itu masuk terlebih dahulu. Wanita itu masuk dan begitu juga Ethan. Ethan menutup pintu. Membiarkan wanita itu berganti baju dan merebahkan diri di ranjangnya. Ethan menuju kamar mandi, membersihkan diri, berganti baju dan menyusul wanita tadi tidur di ranjangnya. Mereka mengobrol.  Nyatanya, Claudia Wilson, wanita itu adalah teman sekolah Ethan dulu. Obrolan tentang masa-masa high school seakan tak pernah masuk daftar bosan. Claudia sudah sering tidur di ranjang Ethan terlihat dari sikapnya yang biasa saja dan tidak merasa canggung. Dan pagi harinya... Paginya Ethan bangun sedikit kesiangan. Dia melirik ke arah jendela yang masih tertutup rapat. Claudia masih bergelung manis di sampingnya. Ethan memutuskan untuk mandi dan sedikit merapikan beard nya. Jam 07:30 Ethan keluar dari kamar tidurnya dan mendapati Philip sudah ada di dapurnya, menyiapkan menu sarapannya. “Pagi, Sir.” Philip menyapa Ethan tanpa menghentikan kegiatannya. “Pagi Philip...pagi sekali datangnya.” Ethan bertanya sambil melihat jam di tangannya. “Oh...kebetulan saya dari Street Market membeli bahan-bahan makanan. Stoknya habis.” Philip menunjukkan apa saja yang telah dibelinya.  Ethan mengangguk sambil memandang Cherry yang sibuk memilah dan memasukkan belanjaan Philip ke dalam kitchen set dan lemari pendingin. Hari ini Cherry memakai sebuah kaos putih dan sebuah celana pendek warna biru. Ethan duduk di meja makan sambil menatap aktivitas kedua orang itu. Seperti biasa Cherry mengikat rambutnya, memperlihatkan leher jenjang yang menjadi sensasi tersendiri bagi Ethan. Sebuah kalung emas putih dengan liontin hati melingkar menambah sensasi keindahan leher jenjangnya. Cherry berbalik. Matanya bertemu dengan mata Ethan. Mata segelap malam itu sudah mulai menjadi hal yang biasa baginya. Tadi Cherry bangun dalam kondisi bingung, karena tidur bukan di kamarnya. Ethan pasti menggendongnya. Dia tak ingat jatuh terlelap, tidur di mobil karena terlalu lelah. Padahal dia ingin pulang ke rumahnya. Istirahat di sana dan berniat pergi ke rumah sakit paginya. Cherry yang sudah selesai dengan pekerjaannya di dapur melangkah ke arah ruang tamu. Ingin membereskannya, walaupun sebenarnya ruang tamu itu sudah rapi. Cherry bingung, apa fungsinya di sini kalau kenyataannya apartemen ini selalu dalam keadaan sempurna? Ethan tersenyum geli melihat Cherry yang bingung. Dia melangkah mendekati Cherry. Menarik pundak Cherry hingga terduduk di sofa bersamanya. Cherry kaget ingin berdiri lagi, tapi gelengan kepala Ethan dan tatapan dinginnya membuat Cherry mengurungkan niat. Ethan meraih remote menyalakan TV. Memindah mindahkan channel beberapa kali hingga berhenti pada chanel yang menayangkan kartun Tom anda Jerry. Ethan menoleh pada Cherry yang duduk diam, lalu menekuri layar TV lagi. Tiba-tiba Cherry tergelak, membuat Ethan menoleh. Cherry masih tergelak melihat adegan kartun yang lucu. Tawanya makin kencang dan tanpa sadar dia mengangsurkan kepalanya ke d**a Ethan mencoba meredakan tawa. Sekuat tenaga Ethan menahan  diri untuk tidak mencium gemas kepala Cherry. Dia ikut tertawa karena memang adegan kartun itu lucu sekali. Cherry menarik kepalanya dari d**a Ethan begitu sadar akan posisinya. Ethan menoleh tak rela. “Maaf, Ethan.” Cherry berkata sangat lirih. Ethan tersenyum. Cherry beranjak dari sofa.  “Istirahatlah. Tidak usah mengerjakan apa-apa. Siang nanti kita ke rumah sakit.” Cherry mengangguk dan melangkah ke arah Philip. Membantu Philip menyiapkan piring dan gelas ke meja makan. Pagi ini Philip menyiapkan sarapan berupa nasi goreng keju, satu pitcher sedang orange juice, dan semangkok besar salad. Cherry yang sedang serius menata piring dan gelas, mendongak begitu mendengar suara langkah kaki menuju ke arahnya. Seorang perempuan cantik menghampirinya.  “Selamat pagi.” Wanita itu menyapa Cherry dengan suara yang terdengar sangat merdu. “Selamat pagi...” Cherry menjawab sambil mengangguk sebelum melangkah ke arah dapur. Sekilas melirik Ethan yang berjalan ke arah meja makan. Saat Cherry menoleh ke arah meja makan, Cherry melihat Ethan mencium kepala wanita itu. Hati Cherry berdesir. Cherry membantu Philip membereskan peralatan dapur. “Itu tidak seperti yang kau bayangkan Cherry”. Philip menatap Cherry yang terlihat keheranan.  Cherry mengendikkan bahunya tak mengerti, tapi segera larut dalam kesibukannya membantu Philip.  Ethan menyantap sarapannya bersama Claudia. Sesekali melirik ke arah Cherry. Apa yang ada dibenak gadis itu? Apa yang dipikirkan gadis itu? Entah sejak kapan apa yang dipikirkan gadis itu menjadi amat penting baginya sekarang. Ethan menyelesaikan sarapannya sambil sesekali berbincang dengan Claudia. Cherry juga sudah menyelesaikan pekerjaannya dan menghilang di balik pintu kamar. Ethan mengantar Claudia sampai ke pintu ketika wanita itu berpamitan untuk pulang. Ethan menutup pintu dan melangkahkan kaki menuju kamarnya. Canggung sekali rasanya melihat tatapan Cherry yang menyelidik tadi. Ethan tidak pernah merasakan hal seperti ini. Dia bahkan tidak pernah memedulikan tanggapan orang terhadapnya. Tapi tanggapan Cherry? Entah mengapa begitu penting baginya sekarang. Jam 11:00 Cherry tak keluar lagi dari kamar sampai Ethan mengetuk pintu kamarnya dan mengajaknya ke rumah sakit. Gadis itu segera menyambar tas dan melangkah keluar, berpamitan pada Philip yang akan berada di apartemen Ethan hingga malam. Hening. Cherry duduk tenang dalam mobil. Sesekali bergerak mengubah posisi. Ethan, entah kenapa merasakan suasana menjadi canggung. Untunglah traffic sedang lancar hari ini hingga mereka sampai ke rumah sakit lebih cepat. Ethan memarkir mobilnya di basement. Cherry keluar dari mobil dan melangkah pelan. Ethan mengikuti Cherry sambil terus merasakan perasaan yang kian canggung. Belum ada perkembangan terbaru dari kondisi Ibu Cherry. Masih seperti kemarin. Ethan menelepon Henry dan dokter yang menangani Ibu Cherry tadi sebelum mereka ke rumah sakit. Cherry berdiri terpaku di ujung lorong menuju ruang ICU. Hatinya bergetar hebat ketika terjadi kesibukan di ruangan itu. Ada apa ini? Ethan yang tadi berada lumayan jauh di belakang Cherry sedang menerima telepon dari Henry yang mengabarkan kondisi Ibu Cherry. Langkahnya tergesa. Ethan melihat Cherry yang berdiri panik ditenangkan seorang asisten dokter. Asisten dokter itu mengangguk dan Ethan segera masuk ke dalam ruang ICU setelah memenuhi prosedur masuk ruangan dengan sterilisasi tinggi itu. Tiga puluh menit yang begitu menyiksa bagi Cherry, sebelum akhirnya Ethan keluar dari ruang ICU, melangkah mendekati Cherry dan merengkuhnya. Hening... “Kami sudah berusaha yang terbaik...maaf beliau tidak bisa bertahan.” Ethan berkata setengah berbisik. Dunia Cherry seakan runtuh. Lebur sudah rasa yang tak dapat dijelaskan yang selama ini berkecamuk di hatinya. Rasa lelah, khawatir dan bingung yang selama ini menggelayut, pecah berserakan membuat Cherry merasa pening. Rasa itu sudah menemukan muaranya. Yaitu sebuah kehilangan yang akan memakan waktu seumur hidup untuk bisa menyembuhkannya. Akan menjadi sesuatu yang entah bisa dihadapinya dengan baik atau tidak. Cherry hanya mampu terpaku dalam rengkuhan Ethan. Merasakan dirinya begitu sendiri di dunia ini. Dan memang dia sendiri di dunia ini, setelah satu-satunya orang terfavoritnya di dunia itu pergi. Pergi selamanya. Menyusul sang Ayah yang telah mendahuluinya. Tanpa kata dan meninggalkan kenangan yang begitu banyak. Kenangan yang kelak pasti akan membuatnya sering menangis dan tertawa. Koridor yang mendadak hening. Seakan menemani tangis dalam diam seorang Cherry yang membayangkan betapa dirinya akan terlunta tanpa tempat untuk pulang lagi. Hati sang Ibu, yang selama ini menjadi tempatnya berlabuh, terenggut oleh takdir bernama kematian. Ethan menjelaskan beberapa istilah kedokteran yang asing di telinga Cherry. Kadang begitu jelas dan samar bergantian. Namun akhirnya semua terasa kabur,bersamaan dengan kegelapan yang menyelimuti Cherry. Lelap membawa duka yang tak terperi. Sekilas, Cherry berharap semua hanyalah mimpi dan dia akan terbangun dan semua akan baik-baik saja. Ethan membopong tubuh lemah Cherry menuju ruang kerjanya, membaringkannya di tempat tidur yang biasa dia pakai untuk beristirahat. Lelap yang sungguh bukanlah lelap yang damai. Ethan memandang wajah Cherry. Wajah yang begitu lelah itu begitu mencuri hatinya. Satu hal terbersit dalam hatinya. Betapa dia ingin melindungi gadis itu. Melindunginya dengan cara apa pun. Semampu dirinya. Ethan menghela napasnya pelan. Menoleh saat seorang perawat masuk untuk membantunya memberi penanganan pada Cherry. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD