Sudah Waktunya

1712 Words
Kranz merupakan keturunan langsung Sirzechs yang digadang-gadang akan meneruskan kepemimpinanya. Sementara Regis seperti tak memiliki masa depan. Karena ia yang berbeda dengan para iblis lain hingga membuat ayahnya mengasingkannya di ruang bawah tanah istana. Sirzechs tidak ingin para iblis lain tahu bahwa ia memiliki anak yang tak mempunyai kekuatan apapun. Karena kebencian ayahnya itulah, Regis terus berusaha menjadi kuat agar diakui sang ayah juga agar bisa berbaur dengan iblis lainnya. Meski ia bahagia dengan adanya Kranz yang selalu menemaninya, tetap saja ia memiliki rasa ingin berteman dengan iblis sebangsanya. Hari terus berganti dan Regis kini mulai beranjak remaja. Selama ini pula Kranz tetap selalu mendampinginya. Namun ada keanehan yang Regis rasakan. Entah hanya perasaannya saja atau memang ada sesuatu yang telah terjadi pada kakaknya. "Minum ini," perintah Kranz dengan menyodorkan secangkir kecil cairan berwarna hijau.  Regis menerimanya dan menatap cairan pekat itu. Hidungnya terlihat mengendus dengan matanya yang tiba-tiba menjadi warna merah semerah darah. Seiring bertambahnya usia, perlahan instingnya mulai lebih kuat. "Ini obat agar kau bisa menggunakan kekuatanmu dengan maksimal," ujar sang kakak disertai senyuman manis seraya mengusap lembut pucuk kepala Regis.  Tanpa berpikir dua kali, Regis segera menenggak cairan berwarna hijau pekat itu dalam sekali tenggak. Ini bukan kali pertama kakaknya menyuruhnya meminum, memakan, atau melakukan sesuatu dengan dalih membuatnya lebih kuat. Sakit memang, namun hanya ini harapannya agar ayahnya melihatnya. Karena semakin ia dewasa, ayahnya justru semakin bersikap dingin padanya. Tiba-tiba mata Regis membelalak dengan tangannya yang mencekik lehernya saat cairan itu mulai membasahi tenggorokan.  Brugh! Ia terjatuh dengan kaki menendang udara dan tangan yang tak berhenti memberi cekikan berharap rasa panas di tenggorokannya sirna. Lidahnya setengah menjulur dengan air liur menetes membasahi lantai di bawahnya yang berdebu. Sementara Kranz hanya melihatnya tanpa berniat melakukan apapun. Dan saat Regis telah tak sadarkan diri, saat itu juga Kranz mengangkat dan membawanya ke dalam ruangan dengan cahaya bulan yang menembus atap ruangan. Ia merupakan keturunan iblis tercerdas di antara kalangan iblis lainnya dan inilah saatnya. Direbahkannya Regis di atas batu rata tanpa alas tepat dimana cahaya bulan mengenai dadanya. Kranz mengamatinya sesaat, kemudian kuku jarinya yang menjadi setajam bilah pedang menyayat d**a Regis hingga meninggalkan jejak menganga. Tak menunggu waktu, dengan cekatan ia mengambil sampel racun yang telah tertelan oleh Regis sebagai bahan penelitian. Setelah mengambil apa yang ia butuhkan, ia segera mengembalikan keadaan Regis seperti sebelumnya. Tangannya terlihat mengeluarkan cahaya terang dan menyinari d**a Regis yang sebelumnya terdapat luka menganga. Dan hanya hitungan detik, luka Regis telah bersih tak meninggalkan bekas. Perlahan mata Regis mulai terbuka. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, ia tak merasakan apapun. Ia bangun dan menegakkan punggungnya kemudian menatap punggung Kranz yang berdiri membelakanginya. "Kakak," panggilnya. Kranz menoleh dan melempar senyum seperti biasa. "Kau sudah sadar?" Ia melangkah mendekati Regis dan memberinya segelas darah hewan. Tanpa ragu Regis segera menerima dan meminumnya dalam sekali tenggak. Kemudian memberikan gelas itu kembali pada kakaknya. "Kak, boleh ku bertanya?" "Hm?" "Ada apa dengan Kakak," ujar Regis tanpa menoleh menatap Kranz. "Apa maksudmu, Regis?" "Semakin kesini, aku merasa kakak mulai berubah," ujar Regis yang mengatakan bagaimana perasaannya sekarang. Ia memang ingin kakaknya membuatnya kuat, tapi entah kenapa seperti ada yang mengganjal di hatinya. Kranz tersenyum tipis, mengangkat wajah Regis agar menghadapnya dan mengetuk dahinya dengan cara yang sama seperti biasa. "Lalu kau ingin kita berlarian seperti saat kau masih anak-anak?" tanyanya disertai kekehan. Wajah Regis bersemu merah dengan mata sedikit melebar. Memangnya kenapa? Apa itu memalukan? batinnya. "Bukankah kau ingin menjadi lebih kuat?" ujar Kranz kembali dan Regis hanya bisa mengangguk kecil sebagai jawaban. "Jika kau ingin lebih kuat, kau harus menahan perasaan anak-anak di hatimu. Apa kau tahu perasaan anak-anak seperti apa itu?" Alis Regis mengernyit dan menggeleng kecil. Kranz menatap tepat pada kedua netra hitam Regis. "Kau harus mengurangi rasa kasih dan sayang di hatimu. Kau harus bisa berpikir lebih dewasa bahwa tidak selamanya rasa sayang akan membawamu pada rasa bahagia. Kau harus belajar merasakan luka. Karena luka akan mengajarimu bagaimana menjadi kuat yang sesungguhnya." Regis hanya menatap Kranz dalam diam, ia tidak mengerti apa yang kakaknya bicarakan. Sampai beberapa saat kemudian, ia membuka suara. "Apa luka yang ayah torehkan masih belum cukup?" tanyanya. Kranz memejamkan mata sejenak dan kembali membuka mata menatap Regis dengan pandangan sulit diartikan. "Dunia ini kejam, Regis. Kau harus bersiap menerima luka yang lebih menyakitkan untuk terus hidup." Regis semakin tak mengerti. "Apa yang sebenarnya kakak katakan? Aku sama sekali tidak mengerti." Kranz menggeleng kecil disertai helaan nafas lelah kemudian kembali mengetuk dahi Regis dan memberinya senyuman. "Nanti kau akan mengetahuinya," tuturnya. "Aku ingin tahu sekarang!" tuntut Regis tak sabaran. "Semakin hari kau semakin keras kepala, ya," gumam Kranz yang lagi-lagi mengukir kekehan. "Ini semua karena kakak. Aku sudah melakukan apa yang kakak inginkan, tapi aku sama sekali tidak merasa lebih kuat," cibir Regis dan menoleh ke arah lain dimana kedua tangannya bersedekap d**a seolah mengatakan bahwa ia kecewa dengan janji yang kakaknya berikan. Kranz menekan dadanya seolah sebuah busur panah menancap tepat mengenai hatinya. "Kau menyakiti hati kakak." Seketika Regis kembali menoleh menatap Kranz. "A-- ma-- maaf." Matanya sedikit melebar merasa bersalah telah mengatakan demikian. "Coba hancurkan gelas ini tanpa menghancurkan batu itu." Kranz mengangkat gelas di tangannya kemudian berjalan ke arah sebuh batu besar dan meletakkan gelas itu di baliknya. "Mana mungkin, Kak?! Kekuatanku hanya bisa menghancurkan objek di depan mataku," teriak Regis tak terima. Sama saja kakaknya seperti mengerjainya. Regis memiliki kekuatan menghancurkan objek lewat tatapan mata, namun benda itu harus berada di depan penglihatannya tanpa terhalangi apapun. Jadi sangat tidak mungkin ia menghancurkan gelas yang kakaknya sembunyikan di balik batu tanpa menghancurkan batu itu. Kranz kembali berjalan menghampiri Regis. "Sungguh?" Menepuk bahu Regis dan tersenyum padanya. Kemudian arah Pandagannya tertuju pada sebuah batu besar di mana ia menyembunyikan gelas di balik batu itu. Duar! Gelas keramik itu pecah hingga serpihannya terlempar ke segala arah.  "Lihat," ujar Kranz menunjukkan bagaimana kekuatannya. "Bagaimana Kakak melakukannya?" tanya Regis yang cukup takjub. Karena ia tahu, sangat tidak mungkin menghancurkan objek tanpa menatapnya secara langsung. "Rahasia. Kakak akan memberitahumu jika kau sudah bisa melakukannya." "Tsk. Sial!" Regis hanya bisa mengumpat. Bagaimana bisa ia melakukannya tanpa kakaknya beritahu cara melakukannya? "Kakak harus menemui ayah. Belajar yang rajin, ya, adikku," kata Kranz dengan meneluk bahu Regis kemudian hendak pergi. "Tunggu, Kak," cegah Regis sebelum kakaknya pergi. Ia menggigit lidahnya saat hendak bersuara. "Hm?" "Bisa kakak katakan pada ayah? Aku … jika aku bisa melakukan seperti yang kakak lakukan, aku ingin ayah melihatnya." Kranz menatap Regis dalam diam dan menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. "Kau yakin kau bisa?" tanyanya. Regis segera menoleh menatap Kranz. "Aku … yakin," jawabnya mantap tanpa keraguan. Kranz kembali melempar senyuman. "Baiklah. Tunjukkan kemampuanmu, adikku." Kemudian melangkah meninggalkan Regis yang terlihat tengah berpikir keras. Tanpa Regis ketahui, Kranz seolah meremas hatinya dengan sorot mata penuh kesedihan. Waktu terus berjalan dan waktunya akan segera tiba.  **** "Regis." Regis segera menoleh saat mendengar suara sang kakak memanggil. Ia tengah melatih kekuatannya seperti kemarin, yakni menghancurkan objek tanpa menatapnya. "Bagaimana latihanmu?" Kranz berdiri di samping Regis dengan memperhatikan ruangan yang masih bersih. Jika Regis berhasil, tentu akan terdapat sisa-sisa pecahan objek yang ia hancurkan. "Sedikit lagi," jawab Regis tanpa menghilangkan konsentrasi. Regis masih berdiri beberapa meter dari sebuah batu besar dimana ia meletakkan sebuah objek di belakang batu itu. Kranz yang melihatnya hanya diam dan menunggu, memberi kesempatan Regis agar ia melakukannya. Namun setelah beberapa saat menunggu, tak terjadi apapun. Ia mendesah pasrah. "Belum bisa, ya?" Regis terdengar mendesah berat. Sepertinya, ia memang belum bisa melakukannya.  "Sudahlah, mari ikut kakak," ujar Kranz dengan menepuk bahu Regis  "Kemana?" "Seperti biasa, kakak sudah menemukan ramuan untuk merangsang kekuatanmu," jawab Kranz seraya berbalik keluar dari ruangan dan meminta Regis mengikutinya. "Jadi kelinci percobaan lagi?" ujar Regis yang berlari kecil di belakang kakaknya. Kranz menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. "Kau menganggap kakak hanya menjadikanmu kelinci percobaan?"  "Hah … mau bagaimana lagi, jika itu bisa membuatku lebih kuat, aku akan melakukannya," jawab Regis yang kini justru melenggang melangkah mendahului Kranz. Kranz menatap punggung Regis dengan pandangan tak terbaca. "Jika kau sudah kuat tapi ayah masih belum mengakui kekuatanmu, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya. "Aku akan menjadi lebih kuat lagi, lagi dan lagi sampai ayah mengakuiku nanti. Jika perlu, aku akan menjadi raja iblis menggantikan ayah," jawab Regis menggebu penuh semangat. "Oh, itu artinya, kau harus melangkahi mayatku," seru Kranz dan sontak membuat Regis menoleh ke arahnya. "A-- apa? Kakak juga ingin jadi raja?" Kranz tertawa kecil. "Tidak juga. Jadi kau sangat ingin jadi raja?" tanyanya. "Hanya agar ayah mengakuiku, Kak," jawab Regis dengan kembali melangkah. "Regis, tunggu." "Hm? Ada apa?" Regis kembali menghentikan langkahnya. "Ah, tidak ada," jawab Kranz yang mengurungkan niatnya mengatakan sesuatu kemudian menyamakan langkahnya dengan Regis. "Kakak mencurigakan," cibir Regis yang menatap Kranz dari samping. Sementara Kranz hanya diam dan terus melangkah bersama Regis di sampingnya. Bisakah ia melakukan ini selamanya? Tapi rasanya hal itu sangat mustahil. Lagi-lagi ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Sekarang lah saatnya dan ia harus melakukannya dengan sebaik mungkin. "Ada apa, Kak?" tanya Regis yang merasa aneh karena melihat Kranz memegangi dadanya. "Tidak ada. Kakak hanya merasa bahwa kali ini kakak akan berhasil. Jadi, kau tidak akan menyebut kakak menjadikanmu kelinci percobaan lagi," jawab Kranz disertai kekehan yang tersungging di bibir. Wajah Regis terlihat bersemu merah. Antara malu dan merasa bersalah karena ucapan kakaknya. "Bukankah sudah kubilang? Mau bagaimana lagi, agar aku bisa menjadi kuat, aku akan melakukannya," jawabnya dengan menggaruk pipinya yang tak gatal dan setengah mendongak menghindari tatapan kakaknya. "Regis, apa kau tahu dunia manusia?" tanya Kranz tiba-tiba. "Dunia manusia?" ulang Regis memastikan. Kranz mengangguk kecil. "Bagaimana menurutmu?" tanya Kranz kembali. "Jangan bilang kakak ingin jadi manusia," pungkas Regis penuh selidik menatap Kranz. Kranz yang mendengar tuduhan itu justru tertawa. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" "Kakak tiba-tiba bertanya mengenai hal itu," jawab Regis dengan mengedikkan bahu.  "Hanya sebuah pertanyaan," sahut Kranz yang juga hanya mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu, lagipula bagaimana aku tahu? Kita berada di dunia yang berbeda. Menurut yang pernah k****a, manusia memiliki hati iblis melebihi kita. Mereka bisa berkedok malaikat, tapi hatinya tak lebih baik kaum iblis. Mereka serakah, bahkan tak segan menghancurkan sesamanya hanya untuk menggapai tujuan." "Tidak semua manusia demikian, mereka tetap memiliki hati yang tersimpan sebuah kebaikan." "Darimana kakak tahu?"  Kranz hanya diam dan bergumam dalam hatinya. "Karena hal itu yang kakak harapkan padamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD