Sumpah Regis

1432 Words
"Jangan dekat-dekat dengannya." Bisik-bisik terdengar saat Regis berjalan melewati kerumunan kota. Untuk pertama kalinya, kakaknya mengizinkannya keluar ruang bawah tanah istana dan ditemaninya. Bukan Regis tak mendengar, ia dapat mendengar bisikan-bisikan itu dengan jelas. Ia menunduk menatap kakinya yang terlindungi sepatu kulit hewan. Sangat terlihat jelas seperti apa perbedaan mereka. Semua iblis memiliki taring, tanduk, kuku, juga tubuh yang berotot. Sementara ia? Hap! Tangannya meraih tangan Kranz dan menghentikan langkah keduanya. "Ada apa? Bukankah kau ingin berjalan-jalan dan melihat dunia luar?" tanya Kranz yang menatap Regis yang menunduk dengan pandangan tak terbaca. Regis mengepalkan tangannya dengan kuat. "Mereka … membicarakanku, kan? Jadi … ini alasan ayah mengurungku?" tanyanya dengan sorot mata menyimpan kesedihan. Ia tak mengira bahwa akan sesakit ini menerima cibiran hanya karena rupa yang berbeda. Ia tak mengira bahwa semua iblis menolak kehadirannya. Ia kira, setidaknya ada satu iblis saja yang menerimanya atau berbeda dengan iblis lainnya yng menolak kehadirannya. "Kau lihat sendiri, bukan? Mereka memperlakukanmu yang istimewa sedemikian rupa. Tapi tujuan kakak mengajakmu kemari bukan untuk itu. Melainkan agar kau bisa lebih kuat menghadapi kehidupanmu. Mungkin dalam hatimu akan berkata bahwa kau tidak membutuhkannya karena kau tidak bersalah. Tapi tak dapat dipungkiri, kau merasakan sakit dan berharap mereka berhenti menghakimi. Tapi kau harus sadar Regis, tidak semuanya bisa sesuai keinginan dan harapanmu. Ada kalanya kau harus menghadapi itu," tutur Kranz dengan menepuk kecil kepala Regis dan mengukir kurva lengkung di bibir. Regis menggigit lidahnya hingga nyaris berdarah. Lagi-lagi ia tak mengerti apa yang kakaknya bicarakan. "Aku memang tak bisa membuat mereka diam, tapi bukankah aku bisa membungkam mulutnya? Mereka mencibirku hanya karena aku berbeda, jika mereka tahu kelebihanku, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk kembali menghinaku, kan kak?" pungkas Regis menggebu di akhir kalimatnya. Kranz terdiam, apa caranya salah? Ia hanya ingin agar Regis menerima keadaan dan takdir. Tidak penting seperti apa orang lain menilai dan memandangnya, ia harap Regis tetap menerimanya tanpa berusaha mengubah dirinya sendiri. "Jika kakak memintamu menerima takdirmu, apa kau akan menerimanya?" Regis menepis tangan Kranz yang berada di kepalanya. "Ck. Jadi apa yang kakak lakukan semata agar aku menyerah dengan hidupku? Coba saja kakak yang ada di posisiku, apa kakak tidak akan melakukan hal yang sama denganku?!" teriaknya dengan kemarahan memuncak hingga bola matanya berubah menjadi semerah darah. Kranz memejamkan mata sejenak kemudian menangkup wajah Regis dengan satu tangannya. "Jadi, apa yang kau inginkan?" "Sama seperti sebelumnya. Aku ingin kakak menjadikanku sama seperti iblis lainnya. Aku ingin kakak menjadikanku kuat agar ayah mengakuiku, hanya itu kak, hanya itu," lirih Regis di akhir kalimatnya dengan memegangi d**a. Kranz lagi-lagi hanya bisa terdiam. Mungkin rencana itu memang harus segera ia laksanakan. *** Kranz memberikan secangkir kecil berisi cairan berwarna hitam pekat dan meminta Regis meminumnya. Regis menerima cangkir itu dan seperti biasa mengendusnya dengan hidung sebelum meminumnya. Tiba-tiba iris matanya berubah menjadi merah. "Ada apa?" Kranz memperhatikan Regis yang tak segera meminum obat yang ia berikan. Regis menelan ludah kasar, tidak tahu kenapa, tangannya bergetar saat kembali teringat apa yang terjadi sebelum-sebelumnya. Ia tidak mempermasalahkan kondisinya setelah meminum setiap obat yang kakaknya berikan. Hanya saja, sensasi saat merasakan cairan itu mengaliri tenggorokan begitu melekat jelas. Sakit, panas, dan mencekiknya hingga ia seolah tak dapat bernafas benar-benar membuatnya sedikit merasakan trauma. "Tidak apa-apa," jawab Regis dengan menguatkan genggaman pada cangkir keramik itu. Kemudian perlahan mengangkat cangkir itu dan menenggak isinya dalam sekali tenggak. Satu detik … dua detik … tiga …. Prang! Cangkir itu terlepas dari tangan Regis dan jatuh ke tanah hingga pecah. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, Regis kembali mencekik lehernya saat rasa perih yang begitu pekat terasa melewati kerongkongan dan amat menyiksa. "Argh … kkh …." Regis tersungkur ke tanah dengan lidah menjulur dan mata terbelalak. Disaat seperti ini lah Regis membencinya. Ini sangat menyakitkan. Satu tangannya mencoba meraih Kranz dan memintanya menghentikan ini sekarang juga. Sensasi ini lebih menyakitkan dan lebih lama dari biasanya. "Ka-- kak-- kak!" Ia berusaha mengeluarkan suara agar kakaknya mendengar dan melakukan sesuatu. Tap … tap … tap …. Kranz melangkah mendekati Regis yang terlihat begitu kesakitan. Kemudian satu tangannya terangkat dan mengarah pada wajah Regis. Sebuah cahaya pun tercipta dari tangannya dan membuat Regis tiba-tiba tak sadarkan diri. Tanpa menunggu waktu, Kranz segera membawa Regis ke tempat yang sudah ia siapkan. Menyampirkan Regis di bahu kirinya sementara tangan kanannya mengarah ke depan dengan jari-jarinya yang terbuka. Selang beberapa saat sebuah cahaya muncul dari telapak tangannya hingga perlahan cahaya itu melebar. Ia melangkah memasuki cahaya nan menyilaukan itu kemudian menghilang seolah terhisap ke dalam cahaya. *** Regis mengerjap dan hal pertama yang ia lihat saat matanya terbuka sempurna adalah tempat yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ruangan gelap dengan cahaya bulan yang menembus atap lewat celah sempit tak mampu membuatnya melihat seluruh ruangan. Kemudian sosok Kranz terlihat menunduk di atas kepalanya. "Kakak," gumamnya seraya mencoba menggapai wajah Kranz. Namun ia tersadar saat kedua tangannya tak bisa bergerak karena terikat, begitu juga kedua kakinya. "Kakak, kenapa kakak mengikatku?" tanyanya tanpa memiliki prasangka buruk. Seperti apapun yang dilakukan Kranz, ia selalu percaya bahwa semua untuk kebaikannya. Yakni menjadikannya serupa iblis-iblis lainnya, memiliki kekuatan yang akan ia tunjukkan pada ayahnya. "Kau percaya pada kakak, bukan?" ujar Kranz dengan sorot mata tak terbaca. Regis mengangguk lemah. "Buat aku kuat sama sepertimu, Kak. Agar ayah bisa mengakuiku, dan agar aku bisa serupa dengan kalian." "Sebentar lagi, ayah akan mengakuimu," ujar Kranz dan bersiap memulai ritual. "Dan mengakui kematianmu," ucapnya dalam hati kemudian. Regis mengangguk, mengambil nafas panjang, ia telah siap dengan apa yang akan kakaknya lakukan. Meski selama ini, apapun yang dilakukannya selalu meninggalkan rasa sakit di tubuhnya. Seketika mata Regis terbuka lebar sepenuhnya. Apakah itu mimpi? batinnya. Ia seolah dibawa kembali saat ia begitu terobsesi menjadi lebih kuat agar diakui ayahnya. Namun saat ia mencoba menggerakkan kaki dan tangannya, keduanya benar-benar terikat sama seperti dalam mimpinya. "Ka-- kakak," panggilnya dengan suara tertahan. Rasa sakit di tenggorokannya masih tertinggal. Kranz hanya diam dan merentangkan tangan, kepalanya menengadah dengan mata merah yang bercahaya tertuju pada bulan purnama merah yang terlihat sempurna saat atap perlahan terbuka. Mulutnya terlihat merapalkan mantra kemudian perlahan tangannya terkatup dengan silau cahaya yang sanggup membuat mata manusia biasa kehilangan penglihatan. "Argh …." erangan Regis terdengar menyayat telinga hingga urat-urat di lehernya terlihat. Saat cahaya perlahan mulai pudar, jari-jari Kranz terbuka dan menekan tepat pada area pusar Regis dan kian membuatnya berteriak kesakitan. Sebuah tulisan aneh muncul, merambat dari tangan Kranz dan terserap ke dalam tubuh Regis hingga tercipta simbol aneh yang memutari pusarnya. "Argh …." Regis terus berteriak kesakitan, namun tak menghentikan apa yang Kranz lakukan. Jari tengah dan telunjuknya bersatu di depan mulut dengan mulutnya yang terus merapalkan mantra. Hingga cahaya telah benar-benar menghilang, Regis membelalak menatap Kranz yang mengukir senyumnya. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba muncul. Regis merasakan kesakitan tiada tara saat seolah kulit tubuhnya dikuliti dengan detak jantung yang tak terkendali. Detak jantungnya terus melaju bahkan seolah nyaris meloncat keluar. "Argh … akh … Ka-- kakak," panggilnya agar sang kakak menghentikan rasa sakitnya. Ini lebih menyakitkan dari rasa takutnya merasakan sakit kala menenggak cairan obat. Namun tak seperti yang ia harapkan, kakaknya justru mengukir senyum bengis ke arahnya kemudian tertawa lebar atas ia yang beberapa detik lagi kehilangan nyawa. "Selamat tinggal, Regis. Selamat tinggal, tidurlah yang nyenyak adikku, maka tak ada lagi yang akan menghalangiku. Hahaha." Kranz tertawa lebar hingga matanya melebar dan mengalir darah dari ujung matanya. Mata Regis kian melebar sempurna, tawa kakaknya yang mengiringi kedua matanya yang perlahan terpejam menorehkan luka tiada tara. Jadi ini tujuan kakaknya? Selama ini kakaknya ingin membunuhnya hanya untuk menyingkirkannya sebagai saingan, dan semua dilakukannya dengan topeng memberinya kekuatan. Kenapa? Padahal ia sama sekali tak berniat menjadi saingan kakaknya. Dan lagi, ia bahkan tak memiliki kekuatan untuk menandingi Kranz. Ia hanya ingin diakui, itu saja. Dan ia hanya ingin menjadi iblis seutuhnya seperti sang kakak dan ayahnya. Memiliki tanduk di kepala, kuku panjang nan setajam pedang, juga kekuatan besar, hanya itu yang ia inginkan. "Kenapa … kenapa … kenapa …." hanya kata itu yang mengisi hati saat ia hampir mati. Ingatan saat kakaknya melempar senyuman, mengetuk dahinya, mengajarinya mengendalikan kekuatan terus terngiang-ngiang diambang ia kehilangan kesadaran. Kata kenapa terus berputar-putar dalam otaknya yang nyaris tak bekerja. Jika tujuan kakaknya hanya untuk menghabisinya, untuk apa kakaknya menjadi malaikat pelindungnya selama ini? Kemudian sebuah rasa benci timbul di dadanya, ia bersumpah akan membalas kakaknya. Membalas iblis yang menghinanya dan akan membunuh kakaknya guna membalas dendam. Ia harap terlahir kembali dan diberi kesempatan membalas dendam meski harus membayar imbalan dengan nyawanya sendiri di kehidupan selanjutnya. Dan dihela nafas terakhirnya, nama kakak juga ayahnya terucap dalam sumpahnya membalas dendam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD