CHAPTER 2 : HIDUP KEMBALI

2047 Words
Hongli dan Haoran menatap penuh selidik pada dua wanita berpakaian putih yang masih berada di ruangan yang sama dengan mereka. Tubuh kedua wanita itu gemetar ketakutan sambil terduduk lemas di pojok ruangan. "Ge, mereka siapa?" Haoran menanyakan dua wanita tersebut. Hongli mengangkat bahunya, tentu ia tak tahu. Pria itu memilih mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan tempat mereka berada sekarang. "Sepertinya ini tempat upacara doa, syukurlah peti mati kita belum ditutup." tutur Hongli. Memang setelah upacara doa biasanya peti mati akan ditutup dan dipaku rapat. Setelahnya jenazah baru dibawa ke tempat pemakaman. "Ge, ruangan ini seperti yang ada di zaman dinasti film-film," balas Haoran meneliti. Hongli mengangguk menyetujui ucapan sang adik. Setelahnya Hongli dan Haoran keluar dari peti mati, lalu berjalan menuju dua wanita yang sama sekali belum beranjak dari tempat tersebut. Salah satu wanita menggunakan cadar, Hongli menatap tajam wanita itu saat melirik sekilas ke arahnya, seketika wanita itu kembali tertunduk. Dasar wanita lemah, sindir Hongli dalam hati. "Kalian siapa?" Suara Haoran yang terdengar ramah membuat keduanya mengangkat kepala mereka. Ternyata Hongli dan Haoran sudah duduk berhadapan dengan mereka. Hening. Ya, keduanya sama sekali tak menjawab karena terkejut akan pertanyaan itu. "Apa kalian tidak bisa bicara?!" Ucapan ketus dikeluarkan oleh Hongli membuat dua wanita kembali tertunduk takut. "Ge ... mereka tuh takut, bayangkan kita baru saja bangkit dari kematian," terang Haoran. "Ladies, kalian siapa? Apa hubungannya dengan kami?" tanya Haoran lagi kepada keduanya. Salah satu wanita menatap Haoran. "Apa Yang Mulia tidak ingat apapun?" "Yang Mulia?" Ah berarti benar kami itu sekarang pangeran. "Iya kami tidak ingat. Ehmm nama kamu siapa? Apakah seorang pelayan di sini?" Haoran kembali bertanya. "Saya Liu Niyi. Saya—" Ucapan Niyi terputus karena ragu mengatakan statusnya. Sementara Haoran terlihat sangat penasaran. "Kamu istri Haoran, bukan begitu?" sambung Hongli yang sudah curiga status mereka berdua. "Hah kamu istriku!?" Haoran sedikit tak percaya. Kalau dilihat istrinya cantik dan manis. Tapi, seingatnya pemilik asli tubuh ini senang menganiaya istrinya. Kenapa bisa begitu? Niyi mengangguk. Haoran menangkup pipi Niyi dengan kedua telapak tangannya membuat wanita itu terkejut. "Wifey maaf ya aku lupa sama kamu," ungkapnya dengan tatapan teduh. Meski dia bukan lupa karena aslinya memang tidak kenal. Niyi tertegun, tapi mengapa dia dipanggil Wifey. Apa artinya? "Wai—pi?" tanya Niyi tak mengerti. "Oh, Wifey itu panggilan sayang buat istri. Nanti kamu panggil aku Hubby ya jangan Yang Mulia." Haoran tidak suka panggilan Yang Mulia, sangat kuno menurutnya. "Hubby?" Haoran mengangguk dan tersenyum mendengar sang istri memanggil itu, bukankah sangat romantis. Plak! Hongli memukul lengan Haoran. Tangan Haoran pada pipi Niyi terlepas. "Sudah mesra-mesranya!" Dia malas melihat adiknya yang langsung tebar pesona. Hongli menatap wanita bercadar di sebelah Niyi. "Dan kamu pasti istri saya. Siapa namamu?" Perempuan bercadar itu mengangguk dan mengangkat kepalanya berusaha menatap Hongli. "Saya Hu Yueer." Kemudian Yueer menunduk kembali takut terhadap tatapan sang suami yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dulu suaminya selalu menatapnya dengan tatapan mencemooh dan jijik, tapi saat ini tatapan sang suami sangat dingin membuatnya merinding. "Saya tidak suka mempunyai istri lemah dan penakut. Angkat kepala kamu! Tunjukkan kalau kamu pantas menjadi istri saya!" tegas Hongli. Istri seorang bos mafia, lanjut batinnya. Yueer mengangkat kepalanya lagi. Dia tidak mau membantah perintah suaminya. "Sekarang sebaiknya kita pergi dari sini," usul Hongli. "Ayo Wifey ...." Niyi mengangguk dan berusaha untuk berdiri begitu juga dengan Yueer. Mereka berempat keluar dari ruangan itu. Haoran seketika merasa heran mengapa cara jalan istrinya yang berpegangan pada Yueer sedikit bermasalah. "Wifey, kakimu kenapa?" tanya Haoran memegang lengan sang istri. Niyi menoleh ke arah Haoran yang berada di sampingnya. "Aku—" Dia ragu untuk mengatakan sebenarnya, ia takut suaminya akan kembali seperti dulu yang selalu menghinanya. Dia tidak mau kehilangan sosok hangat suaminya saat ini. "Kenapa?" Haoran penasaran. Hening. Niyi memilih diam mematung, begitu juga Yueer. Otomatis semuanya berhenti. "Sepertinya istrimu mengalami kecelakaan, kakinya mungkin patah hingga berjalan pincang seperti itu." Hongli membuka suara melontarkan dugaannya. "Benarkah?" Haoran menatap Niyi. Wanita itu mengangguk sambil menunduk. Tanpa diduga, Haoran langsung menggendong Niyi. Niyi memekik dan segera melingkarkan tangannya di leher Haoran. "Kenapa tidak bilang? Kalau kesusahan berjalan aku bisa menggendongmu." Haoran memang selembut itu, dia tidak pernah tega melihat wanita lemah. Dia mengutuk jiwa asli tubuh yang ia gunakan saat ini karena menindas Niyi yang lemah. Niyi terharu dengan perkataan suaminya, Haoran benar-benar berubah. Ini seperti mimpi, dia tak pernah berpikir jika hal ini akan terjadi. Pria yang menghinanya, sering mencambuknya, dan menyuruhnya tidur di halaman ketika malam hari, sekarang pria itu menggendongnya, tampak mengkhawatirkannya. Rasanya ingin menangis. "Terima kasih, Yang Mulia." "Yang Mulia?" Haoran tidak suka mendengar panggilan itu. "Eh—terima kasih Hubby." Niyi segera meralat panggilannya membuat Haoran tersenyum senang. "Sudah tidak usah banyak bicara, ayo cepat kita pergi." Hongli mulai bosan melihat adegan romansa antara Haoran dan istrinya. "Syirik aja sih, Ge," protes Haoran yang jelas tidak ditanggapi oleh sang kakak. Mereka melanjutkan perjalanan ke kediaman anggrek, tempat mereka tinggal. Hongli heran karena sepanjang perjalanan tampak sangat sepi. Tadi saja di ruang doa hanya ada sekitar lima orang yang mendoakan mereka termasuk Yueer, Niyi, dan pendeta di dalamnya. Namun, saat mereka bangun pendeta dan dua orang lainnya kabur. Hari memang mulai gelap, kalau perkiraan Hongli saat ini sekitar pukul 6 sore. "Kenapa di sini sepi sekali?" tanya Hongli melirik sang istri. Yueer yang mendengar pertanyaan ditujukan untuk dirinya mendadak kaku. Entah mengapa aura suaminya begitu dingin. "Biasanya tidak seperti ini. Mungkin—karena berita Yang Mulia Pangeran hidup kembali telah tersebar," jawab wanita bercadar itu ragu. "Saya tidak senang mendengar kata mungkin dan jawaban ragu seperti tadi!" Pernyataan itu membuat Yueer mengatupkan bibirnya. Salah lagi, batin Yueer. Keempatnya sudah sampai di kediaman tempat mereka tinggal. Kediaman cukup besar seperti kediaman pangeran di masa dinasti Tiongkok, namun sangat sepi. Hanya saja Hongli langsung mengetahui ada yang mengintip kedatangan mereka. "Keluar! Tidak perlu bersembunyi!" seru Hongli. Dua pelayan wanita dan dua pekerja pria keluar dari persembunyian, berjalan ragu mendekati mereka. "Wifey, apa pekerja di sini hanya empat orang?" bisik Haoran pada sang istri. Niyi mengangguk dia masih nyaman berada di gendongan Haoran. Ck. Pangeran apaan, dulu kami lebih kaya daripada ini, pelayan di rumah saja ada dua puluh orang. Lagi pula kediaman ini kuno sekali, batin Haoran. Saat Haoran sibuk dengan pemikirannya, Hongli menatap penuh selidik pada empat orang pekerja di kediamannya. Tatapan itu membuat keempatnya menjadi kaku. Entah mengapa aura Hongli terasa berbeda dari biasanya. Apa karena bangkit dari kematian? "Kalian siapkan makanan! Setelah membersihkan diri kami akan makan bersama." Tunjuk Hongli kepada pelayan wanita. "Dan kalian jaga tempat ini dengan baik. Kalau ada yang datang segera beritahu kami!" Kemudian beralih menunjuk dua pekerja pria. "Baik Yang Mulia," jawab mereka serempak. Haoran yang mendengar itu terkekeh dalam hati. Dage sudah menghayati saja jadi pangeran. Memang si Dage orangnya 'kan bossy. "Wifey ... ayo kita cepat ke kamar," ajak Haoran bukan karena dia pegal menggendong Niyi, tapi karena sudah gerah ingin mandi. "Maaf ya pasti aku berat. Aku bisa turun sekarang." Haoran menggeleng. "Bukan karena itu, cuma aku gerah ingin mandi. Oke … Ge, kakak ipar, aku ke kamar dulu ya," pamitnya santai. "Sana pergi. Ingat nanti saat makan malam banyak yang harus kita bicarakan." "Siap, Ge." Haoran dan Niyi pergi menuju kamar mereka. *** Sementara itu di kediaman Huang guifei atau bisa disebut selir resmi kekaisaran, tampak kaisar dan selirnya itu sedang menyantap makan malam berdua. Seorang penjaga datang, lalu memberitahukan kabar mengejutkan jika pangeran ketiga Zhang Hongli dan pangeran keempat Zhang Haoran hidup kembali. "Kedua anak itu bisanya buat masalah saja!" kesal Kaisar yang bernama Zhang Weiheng tersebut. "Sabar, Sayang. Baguslah mereka tidak jadi mati, rumor tentang pangeran bodoh yang bunuh diri karena mabuk di rumah bordil bisa segera dihentikan." Han Yiran yang merupakan selir resmi kekaisaran berusaha menenangkan suaminya. Sebenarnya Han Yiran masa bodoh jika dua pangeran lemah itu hidup kembali karena mereka berdua tidak akan mengancam dua putranya untuk menggantikan posisi kaisar. "Entah mengapa aku menyesal punya anak seperti mereka." Weiheng memang sangat menyukai memiliki anak lelaki, tapi tidak pernah mengira kalau dua orang putranya akan bodoh serta pembuat onar seperti Hongli dan Haoran. Kalau saja mereka berdua tidak punya kekuatan sihir elemen, sudah lama Weiheng membuang keduanya. "Mungkin walau gen Yang Mulia hebat, tapi tetap saja mereka anak wanita miskin." Han Yiran terdengar menyindir latar belakang Hongli dan Haoran. Li Feixing, ibunda dari Hongli dan Haoran memang berasal dari kalangan bawah. "Itu juga yang aku sesalkan mengapa dulu aku bisa tertarik dengan Feixing." "Kalau Yang Mulia sudah merasa muak asingkan saja mereka." "Baiklah nanti akan kupikirkan. Terima kasih ya Sayang kamu sudah melahirkan putra-putra yang berbakat untukku." Han Yiran juga memiliki dua orang putra yang sangat Kaisar banggakan selain putranya dari permaisuri. "Ya dan semoga putraku, Junhao bisa menggantikanmu kelak." Zhang Junhao adalah pangeran kedua negeri itu sekaligus anak dari Han Yiran. "Aku mendukungnya Sayang, tapi aku juga harus adil karena Chenyu tidak kalah hebat." Zhang Chenyu adalah pangeran pertama negeri itu, sekaligus sebagai putra mahkota, anak dari permaisuri, Luo Yijia. Yiran tampak tak suka membicarakan Chenyu, dia berharap di pertandingan dan misi tahun ini Junhao akan menang sehingga bisa mendapat gelar putra mahkota sekaligus bisa menggantikan Kaisar karena sepertinya Kaisar sudah ingin beristirahat dari jabatannya. *** Hongli sedang menikmati berendam air hangat di sebuah bathtub dari kayu. Lumayan nyaman. Rasanya seharian ini kejadian yang ia alami sangat berat, mulai dari bertarung melawan mafia lain bersama Haoran, menolong gadis kecil dan neneknya, lalu mobil mereka meledak bahkan tubuh keduanya terbakar, bertemu Dewa, dan akhirnya bisa sampai di dunia seperti ini. Benar-benar sesuatu diluar nalar. "Sekarang berada di Dinasti apa?" tanya Hongli pada seorang wanita yang berada di belakangnya sedang memijat bahunya. Siapa lagi kalau bukan Yueer. Mumpung dia punya istri dimanfaatkan saja melakukan hal-hal seperti ini. Mengingat dirinya tak terlalu suka orang lain menyentuh bagian tubuhnya selain yang memiliki hubungan dengannya. "Dinasti itu apa, Yang Mulia?" tanya Yueer masih terus memijat bahu suaminya. Melakukan seperti ini membuatnya malu, tapi ada perasaan hangat yang menjalar di hatinya. Hongli yang mendengar pertanyaan itu melirik sekilas ke belakang. Berarti benar ini dunia lain yang hanya mirip dengan zaman Dinasti raja-raja terdahulu. "Apa nama kerajaan ini?" "Tujuh Menara, Yang Mulia. Ini Negeri Tujuh Menara." Hongli mengangguk sekali. "Jangan panggil saya Yang Mulia, saya tidak suka!" "Apa saya harus panggil Hubby—" "Tidak, jangan panggilan memalukan seperti itu!" Menurutnya panggilan Hubby-Wifey itu memalukan. Hanya cocok untuk sang adik yang memang sering melakukan hal memalukan. Hongli mengingat Haoran dan anak buahnya memanggilnya Dage/kakak tertua, tapi tak mungkin istrinya memanggil seperti itu. Yueer mengangguk sambil berpikir panggilan apa yang cocok. Dia kira harus memanggil Hubby seperti panggilan Niyi pada Haoran. "Bagaimana kalau Tuan atau Pak?" usul Yueer. Hongli berbalik ke belakang melirik tajam Yueer. Salah lagi, batin Yueer. "Kalau begitu kamu panggil Gege saja," ujar Hongli kembali membelakangi Yueer. "Hongli, Ge?" "Hmm." Yueer mengangguk lalu melanjutkan pijatan di bahu suaminya. "Yueer, yang saya ingat di negeri ini keturunan Kaisar memiliki kekuatan?" Hongli mengingat perkataan sang Dewa. Yueer menghentikan pijatannya, entah mengapa dia senang suaminya memanggil namanya. Dulu Hongli akan memanggilnya perempuan menjijikkan atau buruk rupa. "Benar, tapi hanya untuk pangeran dan juga tidak semua pangeran memiliki kekuatan, Ge." "Kekuatan seperti apa? Apakah saya dan Haoran memiliki kekuatan itu?" "Kekuatan elemen. Hongli Ge berelemen air dan pangeran keempat Haoran berelemen alam." Hongli mengangguk sepertinya dunia ini cukup menarik. Pria itu memperhatikan pergelangan tangannya yang terdapat dua bintang di sana. Apa ini tanda lahir? batinnya. Yueer yang melihat sang suami sedang memperhatikan bintang di pergelangan tangan, mulai membuka suara kembali. "Itu level tingkat kekuatan, Ge. Kekuatan Hongli Ge berada di level dua karena ada dua bintang." "Level?" "Iya." Seperti game saja, benak Hongli. "Memang sampai berapa level?" "Ada tujuh level." "Berarti kekuatan saya termasuk di level rendah, begitu?" Hongli mulai menengadahkan telapak tangannya, berkonsentrasi, dan terbentuklah bola air. Yueer diam. Tidak enak menjawabnya. "Saya tidak suka kalau pertanyaan saya tidak dijawab!" seru Hongli. Salah lagi, batin Yueer. "Itu—" "Sssttt. Ada yang mendengar pembicaraan kita," bisik Hongli mendekatkan bibirnya ke telinga Yueer. Perempuan itu terkejut sekaligus jantungnya berdegup cukup kencang karena wajah sang suami terlalu dekat. "Yueer, jubah saya," bisik Hongli lagi. Yueer kembali sadar, lalu mengambil jubah suaminya. Perempuan itu menunduk dan menutup mata tidak ingin melihat tubuh sang suami. Hongli memakai jubahnya, berjalan pelan keluar dari kamar mandi untuk melihat siapa yang berani menguping pembicaraannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD