CHAPTER 3 : PERBINCANGAN MALAM

1847 Words
Hongli mulai menengadahkan telapak tangannya, tidak berapa lama bola air terbentuk, lalu berubah menjadi bola es. Lelaki itu melempar bola es ke arah pria paruh baya yang menguping pembicaraannya dengan Yueer. "Aaaaaaaa!!!" teriak pria itu kesakitan. Punggungnya seperti dilempar batu keras. Ia terhuyung dan jatuh tengkurap. Yueer segera membuka mata ketika mendengar teriakan itu. Ia tak sadar suaminya sudah keluar dari kamar mandi. Yueer pun bergegas keluar. "Yang—Mulia ...." Lelaki paruh baya itu menoleh ke belakang mendapati Hongli yang menatapnya tajam. Dia belum berusaha untuk bangkit karena punggungnya masih terasa amat sakit. "Paman Zu!?" Yueer terkejut dan segera melangkah mendekati pamannya. Membantu pamannya itu untuk berdiri. Hongli ikut mendekati mereka sambil melirik Yueer. Istrinya itu berbisik, jika pria paruh baya ini adalah pamannya yang merupakan salah satu Kasim istana. "Sungguh tidak sopan, Anda datang tanpa memberitahu dan menguping pembicaraan sepasang suami istri di dalam kamar mandi!" sindir Hongli. Entah mengapa sindiran itu malah membuat Yueer merona. Kasim Zu menunduk malu sambil meminta maaf berkali-kali. Tidak menyangka dia akan ketahuan seperti ini. Apalagi pangeran ketiga Zhang Hongli setelah bangkit dari kematian auranya terasa sangat berbeda, dingin dan menusuk. "Mau apa datang kemari?!" tanya Hongli, kalau di dunianya dulu orang yang menguping seperti ini pasti telinganya akan dipotong oleh sang adik. Mengingat Haoran adalah pria haus darah. "Saya hanya ingin melihat keadaan Yueer setelah saya mendengar Yang Mulia pangeran ketiga hidup kembali," jawab Kasim Zu. Hongli mendengus. Ia tahu Kasim Zu berbohong. Pasti ada yang menyuruh lelaki paruh baya itu datang untuk memata-matainya. "Anda tidak bisa membodohi saya. Katakan kepada orang yang menyuruh Anda agar datang sendiri menemui saya, jika ingin tahu tentang saya!" tegas Hongli langsung meninggalkan Kasim Zu dan Yueer. "Paman Zu, sebaiknya kembali sekarang ya," pinta Yueer. "Kamu tidak apa-apa, 'kan?" "Iya, aku baik-baik saja," jawab Yueer. Bahkan lebih baik dari biasanya, lanjut batinnya. Yueer berjalan cepat menyusul suaminya. Kasim Zu menghela nafas berat. Harusnya ia tak melakukan hal memalukan seperti tadi. Ia hanya penasaran ketika salah satu pelayan mengatakan jika Hongli dan Yueer ada di dalam kamar mandi. Dia hanya takut Yueer disiksa di sana. Mengingat dulu dia pernah mengetahui bahwa Yueer semalaman harus berendam dengan air es yang diciptakan Hongli. Namun, selain khawatir, dia ke sini memang diminta oleh kaisar dan selirnya yaitu Yiran untuk mencari tahu tentang Hongli dan Haoran, bagaimana mereka bisa hidup kembali. "Sebaiknya aku pergi melapor apa yang dikatakan Pangeran Hongli," gumam Kasim Zu melangkah menuju keluar kediaman itu sambil memegang punggungnya. *** Hongli memperhatikan baju-bajunya dalam lemari. Satu kata yang terlintas dalam pikirannya adalah norak. Pakaian itu tak sesuai seleranya, hampir semua berwarna cerah dan bercorak berlebihan membuatnya sakit mata. Hongli mengambil setelan berwarna biru muda. Setidaknya meski cerah tak ada corak berlebih. "Yueer!" panggilnya. Yueer yang berada di luar kamar karena takut untuk memasuki kamar, bergegas masuk. "Apa, Ge?" tanya perempuan itu sambil menunduk karena pakaian suaminya belum terpasang dengan benar. "Pasangkan ini," titahnya, menurut pria itu memakai hanfu sangat tidak praktis. Yueer berusaha memasangkan hanfu suaminya dengan menunduk. Jantungnya berdebar kencang ketika berdekatan dengan Hongli. Bukan berdebar karena ketakutan akan hukuman seperti biasanya, tapi karena entah dia tak dapat mendeskripsikannya, namun ini perasaan yang menyenangkan. Hongli menatap dirinya di depan cermin. "Berapa umur saya?" Pertanyaan Hongli membuat Yueer menengadahkan kepalanya melihat wajah tampan suaminya dan terpesona akan itu. Dulu orang-orang selalu mengatakan bahwa pangeran tertampan di negeri ini adalah suaminya, sangat disayangkan mempunyai istri buruk rupa seperti dirinya, tapi selama menikah dia tak bisa melihat ketampanan itu karena sang suami yang selalu menyiksanya tampak sangat menakutkan, namun anehnya hari ini Hongli terlihat sangat tampan di matanya. "Yueer?!" Hongli mulai kesal istrinya ini terlalu lamban, hanya menjawab satu pertanyaan saja seperti menunggu orang sedang masak. Tunggu, bicara tentang masak-memasak dia memang sudah sangat lapar. Mengingat perjalanan dari dunianya sampai ke di dunia ini melewati banyak hal. "Dua puluh tujuh tahun, Ge," jawab Yueer tergagap. Merasa bodoh karena ia sempat melamun. Hongli berpikir pantas saja dia terlihat lebih muda ternyata dirinya yang sekarang memang 8 tahun lebih muda dari usianya dulu yang sudah 35 tahun. Setelah Hongli berpakaian rapi, lelaki itu segera menyuruh Yueer untuk mandi dan dia akan menunggu di ruang makan. *** Sementara di kamar suami istri lain, Haoran sedang berguling di atas ranjang yang pastinya tak empuk sama sekali sambil menunggu sang istri selesai mandi. "Aku pangeran miskin atau apa tempat tidurnya tidak empuk begini, bantalnya juga. Oh, ranjang king size-ku." Haoran mengingat kamar mewahnya serta kasur empuk miliknya. Niyi datang dan melihat suaminya tampak kesal. "Ada apa, Hubby?" Niyi lebih santai pada sang suami sekarang. Haoran pun menoleh terlihat sang istri sudah duduk di meja rias. "Apa tidak ada ranjang yang lebih empuk? Ini keras sekali." "Tapi, ranjang itu sudah yang paling bagus Hubby." Haoran menghela nafas, lalu beranjak menuju sang istri yang sedang menyisir rambut. Dia pun mengambil sisir itu dari tangan istrinya. . "Tuan Putri mau gaya rambut seperti apa malam ini?" tanya Haoran seperti tukang salon sambil menyisir rambut istrinya. Niyi merona karena prilaku manis Haoran. Ketidaksukaannya terhadap sang suami yang selalu menyiksa dan merendahkannya memudar begitu saja. Dia merasa suaminya orang yang berbeda. "Terserah Tuan pangeran." Haoran dengan lihai menyisir, lalu membuat ikatan setengah di rambut sang istri. Niyi takjub hasilnya rapi dari mana suaminya belajar seperti ini. "Terima kasih, Tuan Pangeran." "Sama-sama." "Hubby, apa nanti malam aku boleh tidur di kamar ini?" tanya Niyi ragu-ragu. Dia biasanya tidur di halaman. "Terus kalau tidak tidur di kamar ini, kamu biasanya tidur di mana?" tanya Haoran penasaran. "Aku biasanya tidur di halaman." Haoran terkejut. "Apa aku yang suruh?" tanyanya dan Niyi mengangguk. Rahang Haoran mulai mengeras, ingin rasanya ia memukul tubuhnya sendiri, tapi dia butuh akan rugi kalau memukul tubuhnya sendiri. Haoran mengusap kepala sang istri dan tersenyum teduh. "Tentu kamu harus tidur di sini." Mendengar itu rasa haru terlihat dari ekspresi Niyi. "Wifey ... ayo kita ke ruang makan, takut Dage marah kalau menunggu kita terlalu lama." Niyi mengangguk. Hanya saja ia merasa ada sesuatu yang janggal. "Hubby hilang ingatan dan hanya mengingat Yang Mulia pangeran ketiga, begitu?" tanya Niyi penasaran. Haoran menatap sang istri, pintar juga dia. Memang hal seperti ini terlihat agak aneh. "Bisa dibilang begitu. Aku juga tidak tahu penyebabnya mungkin karena kami dekat." Niyi mengangguk kembali dan tidak menanyakan hal ini lebih lanjut. Suami dan kakak iparnya memang sangat dekat, namun pertanyaan besar mengapa keduanya kompak tak ingat sama sekali kejadian-kejadian di sini. Tidak ingin larut dalam pemikirannya, Niyi bergegas mengikuti Haoran ke ruang makan. Mereka berempat makan bersama. Beberapa kali Haoran tampak menyuapi Niyi membuat Hongli malas melihat kemesraan adiknya itu. Berbanding terbalik dengan perempuan bercadar istri dari Hongli, Yueer merasa bahagia melihat Niyi diperlakukan sangat baik oleh Haoran. Dia amat tahu penderitaan yang Niyi alami tiga tahun terakhir. Selesai menyantap makan malam kini saatnya mereka berbincang. "Baiklah kita mulai saja. Kalian berdua tahu bukan bahwa kami hilang ingatan? Coba kalian ceritakan semua tentang istana ini." Hongli membuka diskusi mereka. Yueer bergantian dengan Niyi menceritakan tentang keluarga pangeran dan kekuatan-kekuatan sihir yang setiap pangeran di sini miliki. Hanya sebatas yang mereka tahu saja dan diceritakan singkat karena Hongli tidak ingin mendengar cerita yang bertele-tele. Di istana itu ada tujuh pangeran yang memiliki kekuatan elemen, Zhang Chenyu, Zhang Junhao, Zhang Hongli, Zhang Haoran, Zhang Xiaowen, Zhang Yelu, dan Zhang Zhuting. Kebanyakan mereka dari ibu yang berbeda. Hongli dan Haoran termasuk saudara kandung. Begitu juga Junhao dan Zhuting. Yueer dan Niyi juga menjelaskan kekuatan masing-masing pangeran. Begitu pula sebentar lagi Kaisar akan beristirahat dan memindahkan jabatannya. Saat ini beberapa pangeran yaitu Junhao dan Hongli ingin merebut posisi putra mahkota yang dipegang oleh Chenyu. "Ge, kamu 'kan level dua, mana mungkin bisa menang melawan yang lain," sindir Haoran hanya ingin membuat sang kakak kesal. Bodoh sekali pikirnya, Hongli dan Haoran di dunia ini. Dengan satu sikutan dari Hongli, Haoran terhuyung jatuh dari kursi, membuat para istri cemas. Mereka kira akan terjadi perkelahian besar antara Hongli dan Haoran. Nyatanya Haoran malah terkekeh geli. "Bercanda Ge serius banget. Hehehe." Haoran bangkit sambil memegangi dadanya yang terkena sikutan dan kembali duduk di sebelah kakaknya itu. "Kamu tidak apa-apa, Hubby?" tanya Niyi cemas sambil berbisik. "Tidak apa Wifey, sudah biasa," jawab Haoran mengusap kepala sang istri. Niyi kembali merona merasakan perlakuan lembut suaminya. "Saya akan mengundurkan diri dan mendukung pihak yang benar-benar cocok menjadi pengganti Kaisar," ungkap Hongli. Mereka masih berbincang tentang perebutan kekuasaan. "Mungkin pihak putra mahkota Chenyu lebih cocok," balas Yueer. "Saya tidak suka kata mungkin Yueer!" Hongli melirik tajam sang istri. Salah lagi, batin Yueer sambil mengatupkan bibirnya, meski tak terlihat karena ia memakai cadar. "Karena sudah larut besok kita lanjutkan lagi. Haoran jangan lupa besok pagi kita menengok Ibunda," titah Hongli. Ibu Hongli dan Haoran di sini bernama Feixing, ibunda mereka sedang sakit dan hanya bisa terbaring lemah di tempat tidurnya saat mendengar kedua putranya meninggal. Apalagi penyebab kematian keduanya karena mabuk di rumah bordil dan akhirnya bunuh diri. Hongli dan Haoran berpikir bahwa itu tak masuk akal. "Ge, apa kira-kira Ibunda berwajah mirip dengan ibu kita?" bisik Haoran penasaran, dia tak pernah melihat langsung sang ibu karena telah meninggal saat usianya masih terlalu kecil. Dia hanya melihat di foto. Hongli pun sama tak begitu mengingat ibunya karena saat itu baru berusia lima tahun. "Kita pastikan besok," balas Hongli. Haoran mengangguk, lalu pergi ke kamarnya sambil menggandeng sang istri. . Hongli juga ke kamarnya dan segera mencari buku tentang kekuatan elemen yang menurut Yueer semua pangeran mempunyai buku itu. Pria itu ingin tahu apa saja yang bisa ia lakukan dengan kekuatan elemen air di level dua. Istrinya juga mengatakan karena umur mereka sudah di atas dua puluh tahun, Hongli dan Haoran kemungkinan tidak bisa meningkatkan level kekuatannya lagi. "Kenapa kamu hanya berdiri saja. Sana tidur!" Hongli yang sedang duduk membaca buku, risi melirik Yueer yang berdiri mematung di sana sambil memperhatikannya. "Ti—tidur di sini?" tanyanya. Biasanya dia disuruh tidur di kamar mandi atau di halaman. "Memangnya kamu mau tidur di mana lagi?!" "Di tempat tidur, boleh?" Pertanyaan itu membuat Hongli mendengus kesal. Mengapa pemikiran sang istri lamban sekali? Yueer yang tak mau suaminya meledak marah segera naik ke tempat tidur dan menyelimuti dirinya sendiri. Dia masih tak menyangka saja diperbolehkan tidur di kamar apalagi di ranjang, maka dari itu dirinya bertanya. "Besok setelah ke tempat ibunda kita pergi untuk berbelanja pakaian dan pakaian saya yang lama akan saya sumbangkan saja," ungkap Hongli yang kembali fokus ke bukunya. "Baik, Ge. Selamat malam." "Hmm." Setelah selesai membaca buku, dia menuju ranjang. Dilihat sang istri sudah terlelap dan menyediakan tempat yang luas untuk dirinya. Dia mencoba membuka cadar yang menutupi wajah Yueer. Ternyata hanya luka gores, mengapa harus ditutupi seperti ini? batin Hongli. Akhirnya pria itu pun ikut berbaring di samping sang istri. Sementara di kamar lain Haoran sedang mempraktikkan kekuatan elemen alam yang ia miliki setelah ia membaca buku panduan. Dari tangannya keluar akar merambat, Ia tersenyum menyeringai. "Kalau bukan karena Dewa yang menyuruh tidak boleh berbuat keji, pasti lebih menyenangkan jika di sini bisa membunuh orang." "Tapi, mungkin tak apa kalau hanya menjahili." Haoran terkekeh pelan. Lalu, bergegas tidur menemani sang istri yang sudah terlihat pulas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD