CHAPTER 4 : TEMPAT IBUNDA

1855 Words
Hongli terbangun dari tidurnya, meraba nakas samping ranjang dan berusaha mencari ponselnya. Tidak ada. Hongli membuka mata perlahan menatap langit-langit, lalu tersadar ia ada di mana sekarang. Bukan di dunianya yang serba modern, namun di negeri tujuh menara yang bagai zaman dinasti, bedanya di sini ada kekuatan elemen. Hongli menoleh ke samping kirinya, ternyata sang istri masih terlelap. Dia tidak ingin repot membangunkan. Lebih baik berendam air hangat, merelakskan tubuhnya yang tertidur di ranjang tak empuk. Yueer membuka mata, tidurnya sungguh nyenyak tentu karena tidak bersentuhan dengan udara dingin pekarangan ataupun dengan dinginnya air es. Bahkan selimut masih menempel indah di tubuhnya. Tunggu—sepertinya ada yang terlupa. "Hongli Ge ke mana?" Yueer terkejut karena sang suami tak ada di sebelahnya. Tengah malam ia sempat terbangun dan menikmati pemandangan Hongli tertidur di sampingnya. "Apa dia sedang mandi?" gumam Yueer yang masih nyaman dalam posisi berbaring. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka dan Yueer cepat-cepat memejamkan mata. Mengintip sedikit suaminya tampak memilih pakaian sambil mendengus kesal seperti tak ada yang sesuai. Hongli kembali mengambil hanfu biru muda dengan corak bunga yang tak kentara. Ini pilihan paling baik sebelum siang ini mereka akan membeli pakaian baru. "Daripada kamu pura-pura tidur lebih baik bantu saya berpakaian!" Suara dingin terdengar dan membuat Yueer beranjak dari posisi tidur ke posisi duduk. Malu sekali karena ketahuan pura-pura tidur. Bukan hal yang susah bagi seorang Hongli untuk tahu mana hal yang benar atau kepura-puraan. Yueer dengan telaten memakaikan hanfu sang suami. Tiba-tiba Hongli menyentuh pipinya dan Yueer segera mundur, ia baru menyadari melupakan cadarnya. Ingin bergerak mengambil cadar takut dimarahi, kalau tidak memakainya takut sang suami jijik. Membuat ia dilema. "Apa ini sudah selesai?" tanya Hongli sambil memperhatikan pakaiannya yang tak serapi kemarin. "Belum, Ge," jawab Yueer gugup. "Terus kamu mau kerja setengah-setengah?!" Hongli kembali kesal. Dulu sebagai bos mafia ia tentu selalu mengutamakan kecepatan dan ketepatan, tapi melihat istrinya lelet begini membuat dirinya harus punya stok kesabaran yang melimpah untuk sang istri. Yueer kembali pada posisi membenarkan pakaian, tentu karena takut kena amuk sang suami. "Itu bekas apa?" tanya Hongli sedikit penasaran dengan luka gores di pipi sebelah kiri sang istri. "Ini bekas pecahan kaca, Ge." Yueer telah selesai merapikan pakaian suaminya, dia kembali mundur. "Kenapa bisa? Siapa yang melakukannya?" Hongli kembali bertanya dan Yueer bukan menjawab malah menunduk, membuat suaminya itu untuk sekian kali mendengus. "Sudahlah, bantu saya menyisir rambut." Menunggu istrinya menjawab mungkin akan setahun lamanya. Sekarang lebih baik menyisir rambut panjangnya. Rasanya ingin sekali pria itu memotongnya, tapi tentu jika di negeri ini diperbolehkan berpenampilan dengan model rambut pendek, lebih bagus lagi disediakan semacam barbershop, kalau tidak dengan terpaksa ia harus mengurus rambut panjang yang merepotkan. Di kamar lain—yaitu kamar pangeran keempat dan istrinya, Haoran masih terlelap sambil memeluk Niyi. Wanita itu mulai membuka mata dan merasakan beban berat di perutnya. Ternyata ada sang suami yang tidur sambil mendekapnya. Apa ini yang dirasakan istri pangeran setiap harinya? Selama tiga tahun menikah Niyi baru merasakan hal seperti ini. "Hubby?" panggil Niyi membangunkan suaminya. Bukankah mereka ada janji dengan pangeran ketiga untuk pergi ke kediaman Li Feixing, ibu mereka. Li Feixing sendiri sebelumnya hanya sebagai selir dengan strata paling rendah, tapi setelah ia mampu melahirkan dua putra untuk Kaisar, wanita itu diangkat menjadi gufei, selir resmi tinggi. Tidak disangka anak-anak Feixing, meski memiliki kekuatan sihir, namun lemah dan bodoh. Hanya bisa memalukan kekaisaran. Balik lagi ke pasangan Haoran dan Niyi, wanita itu masih setia membangunkan sang suami yang begitu nyaman memeluknya, antara malu dan senang itu yang Niyi rasakan saat ini. "Hubby," panggilnya untuk ke sekian kali, tidak lama setelahnya, mata pangeran tampan itu terbuka. Kalau misalkan Hongli adalah pangeran tertampan di kekaisaran, Haoran berada di urutan dua, tapi meski punya wajah rupawan tetap saja akan kalah karena prilaku mereka yang buruk. "Kamu siapa?" tanya Haoran setengah sadar. Ada wanita cantik yang ia peluk. Jarang-jarang kejadian seperti ini karena seingatnya setiap dia membawa wanita ke rumah, sang kakak selalu mengeluarkan taringnya. "Aku wifey," jawab Niyi malu-malu. Kesadaran Haoran mulai kembali, dia baru ingat jika sekarang ia berada di negeri antah berantah. "Oh iya aku ingat, kenapa hem… bangun pagi sekali?" Haoran mengeratkan pelukannya. "Ini sudah terang Hubby, kita ada janji dengan Yang Mulia pangeran ketiga," jelas Niyi. Haoran berpikir pangeran ketiga itu siapa lagi. Dia terbelalak ketika membayangkan wajah kakaknya sendiri. Gawat ini kalau dia telat, bisa dilempar dia. Eh, tapi kata Dewa di dunia ini tidak boleh berbuat keji, melempar adik sendiri sepertinya adalah perbuatan keji. "Morning kiss dulu." Masih sempat-sempatnya Haoran menggoda sang istri. "Morning kiss itu apa?" tanya Niyi bingung. Dari kemarin banyak sekali bahasa-bahasa yang tak ia mengerti dari suaminya. "Ciuman selamat pagi, sini." Haoran menunjuk pipinya. Niyi jadi malu, padahal tiga tahun menikah, melihatnya saja Haoran jijik, apalagi minta cium. Ini hal yang membuatnya deg-degan. "Kenapa diam?" Haoran sudah tak sabar. Tidak ingin membuat pria itu menunggu, Niyi segera mengecup singkat pipi sang suami, dibalas dengan kecupan di kening oleh Haoran. "Semoga hari ini menyenangkan." Tentu menyenangkan di sini dirinya bisa bermain-main dengan kekuatannya. "Mandi dulu ya, Wifey." Haoran bergegas turun dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ke luar, tapi ia berbalik kembali dan berpose dengan tangan bersandar pada tembok. "Wifey mau ikut mandi bersama?" tawar Haoran menaik turunkan alisnya. Niyi yang ditawari seperti itu menggeleng cepat, lalu menutupi wajahnya dengan selimut, membuat Haoran tertawa geli. Lucu sekali. *** Haoran ternyata masih aman tidak terkena lemparan sang kakak. Sekarang pria itu mengenakan pakaian berwarna hijau—hijau menunjukkan alam, bukan? Mereka pun berjalan menuju kediaman guifei, ibunda keduanya. "Ge, aku tidak sabar bertemu Ibunda," bisik Haoran pada sang kakak. Seperti biasa pria itu tak menanggapi adiknya, tapi dia merasakan hal yang sama. Hongli mencoba melihat sekitar. Sepertinya kabar mereka hidup kembali menakuti orang-orang di istana. Lihatlah semua hanya berani mengintip dan melihat dari jauh. Dasar penakut! Sebenarnya Hongli merasa dirinya dan Haoran pangeran yang tidak dianggap. Bukankah harusnya setiap pangeran punya yang namanya pengawal. Lihatlah mereka tak punya sama sekali. Pekerja di kediaman mereka saja hanya empat orang. Di istana ada dua guifei, ibunda mereka dan satu lagi ibu dari pangeran kelima Zhang Xiaowen bernama Liu Renyu. Namun, terlihat sekali di kamar dan pekarangan tempat ibunda mereka berada tidak terlalu terurus berbeda dengan kamar dan pekarangan dari Renyu. Dua orang pelayan tampak menunduk takut ketika melihat Hongli dan Haoran datang. Mereka membukakan pintu kamar Feixing. Ketika masuk, terlihat ada tabib di sana yang sedang memeriksa kondisi Feixing. "Ibunda," panggil Haoran penasaran, Feixing yang mendengar suara putranya segera menoleh dan berusaha untuk bangun. Wanita paruh baya yang masih tampak cantik, tapi terlihat pucat dan lemah itu memang sudah tahu kalau kedua putranya hidup kembali. Namun, beliau tak menyangka sang putra akan menjenguknya. Padahal sudah lama mereka tak ingin bertemu dengannya karena sempat ada pertengkaran. Haoran mengingat wajah ibunya di dunia yang lama. Ternyata tidak sama. Pria itu sedikit kecewa hanya saja mendengar Feixing memanggil namanya dan tersenyum lemah Haoran segera mendekatinya. "Nak, kamu baik-baik saja." Feixing memegang pipi Haoran yang membantunya untuk duduk. "Iya, Bu. Aku baik," jawab Haoran singkat entah kenapa ia merasa canggung sekaligus ada perasaan lain yang sedikit tak biasa. Apalagi saat Feixing mengusap rambutnya, benar-benar terasa seperti mempunyai ibu. Meski Haoran sebenarnya tak tahu bagaimana rasanya. Sementara Hongli memperhatikan gerak-gerik Feixing, nama wanita itu tak sama dengan ibu mereka dulu, bahkan wajahnya pun tak sama. Hanya senyuman itu tampak sama dalam ingatan Hongli tentang sang ibu. "Hongli," panggil Feixing kepada putra pertamanya. Bahkan nada wanita itu memanggil pun sama seperti yang terngiang di ingatan bos mafia tersebut. Seketika Hongli tersenyum tipis, membuat Haoran yang melihat menjadi terheran, sedangkan Feixing membalas dengan senyum bahagia. Sudah lama sekali tak mendapat senyuman dari sang putra. Meski hanya tipis, namun sangat tulus. "Sini Nak, bagaimana keadaanmu?" Feixing meminta Hongli duduk di samping kirinya sementara Haoran sudah duduk di samping kanannya. "Baik," jawab Hongli singkat, tapi Feixing merasa kedua putranya berubah, meski canggung, mereka terlihat sangat hangat kepadanya. Feixing pun memanggil Yueer dan Niyi untuk mendekat. Hongli dan Haoran sendiri berdiri kembali membiarkan istri mereka bercengkerama dengan ibunda. Hongli meminta tabib dan pelayan untuk keluar. "Ingat, kalian harus menjaga ibu kami dengan sangat baik. Mengerti?!" tegas Hongli. "Siap, mengerti!" jawab mereka serempak, suara tegas dari pangeran ketiga membuat mereka sedikit ngeri. "Tabib Han," panggil Hongli, dia sudah tahu dari sang istri kalau tabib ibundanya bernama Han. "Iya, Yang Mulia." "Saya percayakan ibunda saya kepada kamu. Saya akan berkunjung setiap hari untuk melihat perkembangan kesehatannya. Kalau sampai mengalami penurunan, kamu tahu akibatnya, bukan?!" Hongli memegang bahu Tabib Han membuat pria itu merasakan nyeri di bahunya. Dia baru tahu bahwa Hongli tanpa menggunakan sihir saja sangat kuat. Padahal kekuatan elemennya hanya level dua. "Baik, Yang Mulia Pangeran. Saya akan mengemban amanah ini dengan baik," jawab pria itu. Setelah berpamitan dengan ibunda, kedua pasangan itu berniat untuk berbelanja. Mereka meminta kepada pekerja di kediaman anggrek—kediaman keduanya untuk memesankan kereta kuda. Namun, saat akan berjalan ke gerbang istana, mereka dicegat oleh dua pasangan yang aura keangkuhannya benar-benar terasa. "Ternyata ada mayat hidup di sekitar sini!" ungkap salah satu yang Hongli dan Haoran yakini sebagai pangeran. Rombongan mereka pun tertawa. Hongli melirik sang istri meminta untuk dijelaskan siapa mereka, begitu juga yang dilakukan Haoran. "Itu pangeran kedua Zhang Junhao dan istrinya Ming Shuwan, lalu pangeran ketujuh Zhang Zhuting dan istrinya Lian Zhishu," jawab cepat Yueer, tidak ingin suaminya sampai kesal, jika ia berbicara lamban. Yueer bertekad menjadi istri yang bisa gerak cepat seperti keinginan sang suami. "Jadi, maksud kamu yang tadi menghina saya adalah bocah sembilan belas tahun?" tanya Hongli, dan Yueer pun mengangguk memang yang tadi mengatakan mereka mayat hidup adalah Zhuting. Junhao, Zhuting, dan para istri tampak bingung karena kedua pangeran itu saling berbisik, apalagi mereka terlihat akrab dengan istri masing-masing. Sejak kapan? Hongli mendengus, kalau di dunianya bocah ingusan seperti ini pasti sudah ia gantung. "Apa kamu bodoh tidak bisa membedakan yang mana manusia dan mayat hidup?" sindir Hongli tanpa ekspresi. Haoran langsung terkikik geli mendengar ucapan sang kakak. Lanjutkan, Ge. "Hubby jangan tertawa nanti kita diserang." Niyi mengingatkan apalagi suami dan kakak iparnya hanya punya kekuatan elemen di level dua, sementara Junhao level enam dan Zhuting level lima. Tentu mereka akan kalah, jika bertarung. "Tenang saja Wifey-ku sayang." Haoran mencubit pipi Niyi yang dari tadi memang selalu ia rangkul mengingat Niyi tidak bisa berjalan dengan normal yang ternyata mengalami cedera permanen dan tidak dapat dipulihkan. Dalam situasi seperti ini Hubby masih bisa merayu, apa tidak takut? Niyi jadi kesal sekaligus malu. Apalagi melihat tatapan tak suka Lian Zhishu istri dari Zhuting. Sementara Yueer sudah ketar-ketir, suaminya berani sekali berkata seperti itu dengan pangeran ketujuh, apalagi di sana ada pangeran kedua. "Dasar pecundang berani-beraninya kamu menghinaku!" geram Zhuting. "Daripada fokus menghina orang lain, lebih baik fokus memperbaiki diri. Sudah bodoh, tidak sopan pula, sebagai seseorang yang lebih tua, saya menyarankan kamu untuk sekolah dan belajar sopan santun," balas Hongli tetap tanpa ekspresi. Haoran menggeleng mendengarnya, sepertinya sang kakak benar-benar ingin masuk Surga, nasihatnya bijak sekali. Wajah Zhuting merah padam. Ia siap untuk mengeluarkan kekuatannya. Hongli Ge, aku hanya bisa mendoakan agar kamu tidak mati kembali, batin Yueer yang tak menyangka suaminya bisa seberani ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD