Aku menghela napas pelan ketika lelah menyapa tubuhku. Seminar dari pagi hingga sore membuat otakku lelah karena dipaksa berpikir. Membuka pintu kamar hotel Mas Galang, aku langsung memilih tidur mengingat Mas Galang sedang mengadakan pertemuan dengan para rekannya.
Saat hendak memejamkan mata, ku dengar suara pintu terbuka dan juga suara Mas Galang yang sedang berbicara melalui telepon. Siapa yang meneleponnya?
Ah~ pasti si Shai-tan.
"Besok aku pulang." Sahut Mas Galang datar yang terdengar di telingaku. "Iya, ini sama Dara. Kenapa?" Aku mengintip di sela tidur ayamku dan terlihat Mas Galang sedang membuka kancing kemejanya. "Aku nggak tahu. Aku tutup!" Setelahnya aku tak mendengar apapun lagi selain bunyi dentingan ponsel ke atas meja nakas. Aku kembali merapatkan mataku dengan cepat tak ingin disangka menguping.
"Udah ngupingnya?" Bisik suara Mas Galang yang jelas terdengar serak.
Sial! Pakai acara ketahuan lagi...
Perlahan, aku mengerjapkan mataku. Menatap Mas Galang kaget yang sudah berada di atas tubuhku dengan kancing kemeja yang sudah terlepas semua. "Apaan sih Mas? Aku ngantuk ini... Hoaaamm..." Elakku mencoba mendorong d**a Mas Galang. Tapi, sia-sia hingga akhirnya aku memilih mengabaikannya dan menutup kembali mataku rapat.
Kudengar jelas kekehan geli Mas Galang. "Nggak usah pura-pura. Layani Mas sekarang!"
Aku berdecak. Kenapa harus sekarang sih? Disaat mood-ku sedang tidak bagus mengingat baru saja isteri barunya menelepon.
"Minta sama isteri baru sana! Kan enak kuntumnya belum pecah nggak kaya ak- akhh!" Jeritku tertahan saat Mas Galang menggigit leherku kemudian menghisapnya pelan. "Sakit tau!" Aku mengelus leherku yang terasa sakit. Menatapnya jengkel saat dia mulai menanggalkan kemejanya dan menyisakan celana panjangnya.
"Berapa kali harus Mas bilang? Jangan sebut nama dia kalau kita lagi berdua!" Mas Galang mulai menggerayangi tubuhku. Membenamkan kembali kepalanya dalam ceruk leherku.
Aku mendengus pelan. "Bukankah seharusnya nggak ada aku diantara kalian berdua?"
"Dara," Kudengar Mas Galang menggeram, menopang tubuhnya dengan kedua tangannya yang kokoh yang diletakkan di sisi kiri dan kananku sambil menatapku tajam. "Sampai kapan kamu seperti ini?!"
Aku mengalihkan tatapanku ke arah lain. Tidak tahan ditatap sedemikian intens oleh Mas Galang. "Biarkan waktu yang menjawab, Mas."
Ku dengar helaan napas panjang Mas Galang. Ia menarik diri dari tubuhku. Memilih duduk di pinggiran kasur sambil mengusap wajahnya kasar.
"Sebaiknya sekarang Mas fokusin aja ke dia." Lidahku mendadak kelu. Aku memilih memunggungi Mas Galang mengingat badanku mulai bergetar menahan isak. "Semoga kalian mendapatkan keturunan yang diidamkan semua orang." Kali ini aku benar-benar terisak. Menarik selimut untuk berpegangan. Menggenggamnya erat. Jantung dan hatiku mendadak perih.
Aku rela mengorbankan diriku agar Bunda, Mama, dan juga Papa bahagia. Bisa menimang cucu layaknya para orang tua lain.
Kurasakan dekapan hangat dari belakang. Mas Galang tidak mengatakan apapun selain memelukku erat. Dadanya terasa hangat menyentuh punggungku. Tangannya bergerak mengelus perutku dan bibirnya terus mengecup ubun-ubunku.
Tuhan... Kenapa sakit ini begitu menyiksa?
❣
Sejak kemarin aku tak banyak bicara dengan Mas Galang. Walau dia terus berusaha untuk membuka percakapan, aku tak meresponnya. Bahkan, saat kepulangan kami dari Bali hingga sampai ke bandara Soekarno-hatta, aku masih tetap diam.
Memilih menatap luar jendela mobil dan membiarkan Mas Galang bermain ponsel di sebelahku. Aku bahkan tidak peduli jika yang dihubunginya adalah maduku karena aku sudah lelah hanya untuk meratapi nasib dan takdir yang seharusnya aku jalani. Lagipula, aku juga pernah turut memaksa Mas Galang untuk menikah dan memiliki anak dari benihnya sendiri walau harus dari rahim wanita lain.
Menyakitkan? Tentu saja. Bisa kau bayangkan jika suamimu berhubungan badan dengan wanita lain?
Pemandangan gedung tinggi membuat nyaliku semakin menciut untuk menghadapi kenyataan yang ada. Dimana para keluarga sedang menunggu kami di rumah mertuaku. Jika saja Bunda berada di rumah, aku pasti memilih pulang ke rumah Bunda tanpa harus singgah ke rumah Mama dan Papa. Sayang, Bunda turut menungguku disana karena mereka sedang makan besar.
Aku tidak tahu untuk apa acara makan besar itu. Entah untuk menyambut kedatangan kami, atau justru merayakan pesta pernikahan Mas Galang. Aku tidak perduli! Menghela napas kasar. Aku memilih memejamkan mata walau tahu Mas Galang diam-diam menatapku sedari tadi.
"Ra, kamu mau mampir makan dulu?" Lagi. Dia mencoba membuka percakapan yang sunyi antara kami.
"Nggak."
"Mau singgah ke Mall? Belanja?"
"Mas, aku capek."
Tak ada lagi suara yang ku dengar. Sepertinya Mas Galang menyerah. Sampai beberapa saat kemudian, mobil kami memasuki gerbang tinggi dari rumah tiga lantai. Disana, aku melihat Shai-tan sedang menunggu kami- maksudku Mas Galang. Terlihat wajahnya begitu antusias saat melihat mobil kami masuk.
Kulihat, Mas Galang lebih dulu keluar dan langsung disambut pelukan oleh Shaira. Aku berdecak seketika, lalu mengambil tas dan keluar dari mobil. Sayup-sayup ku dengar Shai-tan bergumam,
"Mas, aku kangen banget... Kamu tega banget sih tinggalin aku bahkan di hari pertama menikah? Aku nggak mau tau, pokoknya nanti malam kamu tidur sama aku."
Blam!
Kubanting pintu mobil dengan bunyi debaman yang keras sehingga membuat Pak Lanang dan Shaira terkejut. Aku tidak peduli jika mereka mendadak terkena serangan jantung. Memilih berjalan anggun mendekatinya dan bergumam,
"Tolong jangan bermesraan di pintu. Nyonya mau lewat!" Sindirku kemudian melenggang masuk tanpa memperdulikan Shai-tan yang kini memasang wajah cemberut.
"Baru sampai Sayang?" Bunda menyambutku terlebih dahulu.
Aku mengangguk. Menyalami Bunda. "Kenapa sih Bunda kemari? Kenapa nggak tunggu di rumah aja? Aku males ihh..."
Kulihat Bunda merotasikan bola matanya. "Kamu lupa, hari ini Aziz ulang tahun?"
Seketika, aku menepuk jidatku. Oh astaga... Keponakanku yang caem bin ganteng bin tamvan itu ulang tahun! Bagaimana aku bisa melupakannya? Menatap Bunda sengit. "Kenapa Bunda nggak bilang? Kan aku bisa beli kado di Bali kemarin."
"Kan biasanya kamu lebih inget ulang tahun Aziz."
Aziz merupakan putera dari Kak Gina yang merupakan Kakak iparku. Aziz sangat dekat denganku dan nanti malam adalah acara ulang tahunnya yang keempat.
"Jadi, gimana dong?"
"Mana Bunda tau!" Bunda melengos beranjak ke dapur. Aku mengikutinya dan melihat Mama disana.
"Baru sampai, Ra?"
"Iya, Ma." Jawabku sembari menyalami Mama.
"Dimana suami kamu?"
"Suami Shaira maksud Mama? Ya sama isterinyalah."
Plak.
"Aduhh!" Aku langsung meringis sakit saat Bunda memukul lenganku. "Apaan si Bun? Suka banget mukul-mukul."
"Itu suami kamu di belakang. Ngomong kok nggak di jaga!"
Aku melirik Mas Galang dan Shaira yang berdiri tepat di samping Mas Galang sambil bergelayut manja. "Dia aja nggak jaga perasaan aku." Gumamku tanpa tahu apakah Mas Galang mendengarnya atau tidak.
Mama dan Bunda menatapku prihatin. Ah, aku tahu arti tatapan itu. Tolonglah, jangan buat aku menangis di depan Shai-tan ini!!
Bukankah ini keinginan Mama dan Bunda yang ingin memiliki cucu dari Mas Galang? Karena bagaimanapun juga, baik aku dan Mas Galang sama-sama sudah dianggap anak oleh kedua orang tua kami masing-masing.
"Aku istirahat dulu di kamar. Bunda, setelah acara Aziz kita pulang!" Titahku tak ingin di bantah. Biarlah aku berdosa kali ini karena memerintah, tapi sakit hatiku memang tidak bisa di tahan lagi. Apalagi mengingat mereka akan menghabiskan waktu bersama malam ini.
Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tuaku, aku langsung menuju ke kamarku yang dulu di rumah ini. Jauh sebelum Mas Galang menikah dengan si Shaira.
Ya, aku harus terbiasa menyebut namanya karena tidak ingin menambah dosa yang telah ada.