PART 2

1281 Words
Pagi ini aku bersiap berangkat ke Bali. Setelah membereskan pakaianku dan memasukkannya ke dalam koper kecil, aku menggeretnya hingga ke ruang tamu. Disana kulihat Bunda sedang bercakap-cakap dengan Mas Galang. Ya, siapa lagi kalau bukan dia? Setelah pesta pernikahannya kemarin, dia menyusulku ke rumah Bunda dan memaksaku untuk pulang ke rumah kami. Tentu saja aku menolak! Aku tidak mau kembali berdua dengannya. Walau Shai-tan itu tidak disana, aku hanya tidak ingin karena jika tidak ada Bunda, dia pasti berhasil mengintimidasiku seperti biasa. Yang jelas jangan tanyakan padaku bagaimana nasib Shai-tan itu ditinggal suami di hari pertamanya mengingat dari kemarin sore Mas Galang terus membuntutiku. Dia bahkan menginap di rumah Bunda. Padahal sudah jelas Bunda menasihatinya untuk tidak meninggalkan isteri baru. Ini mungkin karena keberangkatanku ke Bali yang diketahuinya dari Mama dan Papa. "Kamu sudah siap?" Bunda meletakkan secangkir teh hangat untukku di atas meja makan yang hanya bisa diisi 4 orang. "Makan dulu, Ra. Bunda siapin udang sambal tomat untuk kamu." Aku mengangguk. Mengabaikan tatapan Mas Galang yang dihujamkan padaku. Apa peduliku? Toh, setelah ini Mas Galang bisa bebas bersama wanita itu tanpaku mengingat aku pergi selama seminggu penuh. "Berkasnya udah lengkap semua kamu bawa? Jangan sampai ada yang tertinggal!" Seperti biasa Mas Galang selalu mengingatiku. "Udah." Ketusku masih tak menatapnya dan melahap sarapan di depanku dengan tata cara yang diajarkan Bunda. Bunda langsung memukul lengan kiriku. Membuatku meringis dan mengelus lenganku yang pasti memerah. "Ngomong sama suami kok begitu? Dosa, Ra." "Dia suami orang!" "Dara?!" Kompak kedua orang itu memanggil namaku. Aku menghela napas pelan dan memilih mengalah sambil mengangkat kedua tanganku sebelum kembali menyentuh sarapan Bunda. "Tinggalin kami, Bun." "Nggak usah, Bun. Bunda belum sarapan kan?" Tanyaku cepat. "Ini sarapan bareng kita aja." Bunda tampaknya memang lebih memilih bersekutu dengan suamiku. "Bunda udah sarapan. Mulut kamu dijaga sama suami! Bunda nggak pernah ngajarin anak Bunda ngomong kasar." Mulutku mencebik. Sedikit kesal karena Bunda tampak lebih menuruti keinginan Mas Galang. Anaknya siapa coba? Setelah Bunda pergi, Mas Galang tidak mengatakan apapun. Hanya menatapku intens seperti mangsa yang siap dicabik-cabik. Aku sendiri berpura-pura tidak peduli walau jantungku bertalu hebat karena takut.  Pria ini selalu berhasil mengintimidasi orang lain. Saat memasukkan suapan terakhirku, aku mengunyahnya hingga habis. Meraih gelas kaca dan menandaskan air mineral di dalamnya. Tak mau menunggu lama, aku mengambil koperku. "Aku pergi." Mengulurkan tanganku untuk menyalaminya. Namun, tampaknya tak ada tanda-tanda bahwa dia akan memberikan tangannya. Menarik tanganku kembali. "Ya udah kalo nggak mau!" Aku melengos pergi mencari Bunda. Menyalami Bunda dan tak lupa cipika-cipiki. "Baik-baik sama suami kamu disana." "Ha?" Tanyaku seakan pendengaranku tidak bekerja dengan baik. "Suami yang mana, Bun?" Merasa geram, Bunda langsung menjitak kepalaku. "Auch... Sakit Bunda!!" Rajukku hendak mengelus ubun-ubunku, namun, tangan kokoh itu lebih dulu melakukannya. "Kamu punya berapa suami, Ra?" Memutar bola mataku malas mendengar pertanyaan Bunda. "Memangnya aku Mas Galang yang punya banyak isteri?" Saat Bunda tampaknya hendak kembali memukulku, Mas Galang lebih dulu bergumam. "Bunda, kita pamit ya? Assalammualaikum..." "Waalaikumsalam." Setelahnya, Mas Galang langsung menarik dengan cepat tubuhku untuk masuk ke dalam mobil CX-5 miliknya. "Mas Galang nggak usah antar aku deh. Entar telat ke kampusnya!" "Siapa yang ngantar kamu?" "Jadi Mas mau kemana? Pake acara minta antar Pak Lanang lagi." Kulihat dia menatapku dengan tatapan yang tidak percaya. "Kamu makin bodoh ya, Ra?" "Apa?" "Profesi Mas apa?" "Dosen sama pembisnis." "Terus Mas ngajar apa?" "Bisnis." "Yang kamu datangi sekarang seminar apa?" "Bisnis. Emang apa hubungannya sih?" Tanyaku lagi yang berhasil membuat Mas Galang tepok jidat. Aku tidak tahu jika aku selambat itu menerima informasi karena biasanya aku cepat tangkap. "Kamu mikirin apaan sih, kok bisa makin hari makin bodoh?" Hinanya tanpa saringan. Mungkin aku harus menyuruh Mas Galang menonton anime naruto yang menjadi favoritku agar bisa menggunakan saringan dengan baik. "Nggak usah bertele-tele deh." Sungutku kesal. "Mas jadi speaker seminar kamu nanti. Ngerti, Sayang?" Satu... Dua... Oh astaghfirullah! Aku tidak tahu jika aku ternyata memiliki otak yang dibawah rata-rata dari orang lain. Lantas, bagaimana aku menghindarinya jika di Bali aku juga dipertemukan dengannya? Mengibas tanganku pelan karena mendadak aku merasa gerah. Padahal ac di dalam mobil cukup dingin. "Kita sampai. Turun!" Dan akhirnya, aku hanya pasrah ketika Mas Galang menarikku untuk mengikutinya. ❣ "Selamat siang, Pak Galang. Kamar anda sudah kami siapkan. Mari ikuti saya." Sapa seorang pegawai hotel yang baru saja menyambut Mas Galang. Lagipula, darimana wanita ini tahu nama suaminya? Disaat mereka membawakan koper milik suamiku, aku justru menggeretnya sendiri. Sialan, bukan? Dengan langkah pelan, aku menjauh dari rombongan Mas Galang. Beranjak ke resepsionis untuk meminta kunci hotel. "Peserta seminar?" Aku mengangguk patuh. "Atas nama siapa?" "Adara Quthdlina Prasetya." Lidahku sedikit kelu menyebutkan nama akhir yang merupakan tambahan nama Mas Galang setelah menjadi isterinya. Resepsionis itu mengangguk. Tampak mengetik sesuatu yang tak aku mengerti sebelum mengambil kunci hotel dan memberikannya padaku. "Teman sekamar anda juga sudah menunggu didalam." Aku mengangguk. Lalu, mengucapkan terimakasih sebelum memerhatikan kamar nomor 229 yang terletak di lantai 4. Saat aku berbalik, ku lihat Mas Galang bersedekap d**a sambil menatapku tajam. Para rombongannya turut menatapku bingung. "Kembalikan kunci itu, kamu satu kamar sama Mas." Dahiku berkerut. Menggeleng pelan, menolak permintaannya. "Aku nggak mau! Aku punya kamar sendiri." "Dara," Tampak dia menahan emosi. Mendekatkan diri padaku yang mulai menciut hingga tanpa sadar aku mundur satu langkah. "Mas suami kamu! Jadi, kita satu kamar." Desisnya pelan sebelum menarik paksa tanganku. "Mas, aku punya kamar sendiri!" Aku menarik keras tanganku yang digenggam olehnya. Menatapnya sengit ketika kami berdiri tepat di depan lift. Membiarkan orang-orang lebih dulu naik ke atas disaat aku kembali mencari masalah dengan pria ini. "Kamar Mas lebih bagus daripada punya kamu! Jangan ngebantah." Aku langsung menggeleng. "Nggak. Pokoknya aku nginep sendiri! Walau kasta Mas lebih tinggi disini." Secara dia sebagai speaker dari ratusan mahasiswa dan puluhan dosen nantinya. Ya, aku seorang mahasiswa yang sedang mencari gelar magister untuk menyamakan kedudukan dengan suamiku yang sudah mengambil S3 dua kali. Ingat, dua kali! Walaupun aku tertinggal jauh, namun aku tak akan menyerah dan ketinggalan dengan gelar tersebut. Mengabaikan para rombongan yang sedang menatap kami, aku kembali bersikeras. "Lagian aku juga nggak sendiri!" Tiba-tiba saja, Mas Galang merebut kunci kamar yang ku genggam sedari tadi. Berjalan cepat menjauhiku tanpa mendengar protesanku yang menjadi pusat keriuhan dalam hotel mewah ini. "Selamat siang, Pak Galang. Ada yang bisa saya bantu?" Mendengar resepsionis memanggil nama Mas Galang justru membuatku semakin kesal. Kenapa semua orang mengenal suaminya tapi tidak mengenalnya? Ini tidak adil! "Jika isteri saya meminta kunci kamar, jangan pernah kamu kasih. Mengerti?!" Kulihat resepsionis itu menatapku dengan terkejut saat Mas Galang menunjukku yang berdiri tepat di belakangnya. "Saya mengerti, Pak." Mas Galang kembali jalan ke arahku dan menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku terus memaki kelemahanku sendiri yang terus merasa lemah tak berkutik di hadapan Mas Galang. Hingga kami sampai pada lantai 10. Dimana kamar suamiku berada. Lantai karpet dengan pintu mewah berjajar hingga ke ujung. Seorang pelayan langsung membukakan pintu. Aku menggeret koperku untuk kubawa masuk lalu duduk di ranjang empuk berukuran kingsize seperti di rumah kami sembari menunggu Mas Galang yang berbicara kepada para pelayan. "Mas sudah pesan makanan. Bentar lagi sampai." Aku hanya diam, tak berniat menjawab. Seminggu ke depan, kami akan terus bersama. Dulu, aku cukup senang jika bisa berliburan dengan Mas Galang, tapi sekarang tidak. Mengingat ada wanita lain yang masuk ke dalam rumah tangga kami. "Ganti baju dulu sana. Habis itu layani Mas." Titahnya membuatku bersungut-sungut beranjak kekamar mandi untuk membersihkan diri. Kulirik Mas Galang yang langsung memilih tidur tanpa melepas pakaiannya. "Layani dalam artian sebenarnya." Lanjutnya tanpa membuka mata.  Aku menghela napas pelan dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri sambil keramas. Membiarkan diriku relax sejenak dari penatnya kehidupan yang sedang dan akan kujalani sebelum menyiapkan air hangat untuk Mas Galang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD