PART 1

987 Words
"Sah?" "Sah..." Aku tampaknya memang mencari mati datang ke tempat ini. Padahal sudah jelas Bunda melarangku pergi. Namun, aku kekeuh untuk mengikuti Bunda yang dengan terpaksa memberi restu. Garis bawah, terpaksa! Lagipula, Ibu mana di dunia yang ingin anaknya menderita? Bunda adalah orang paling sabar dan selalu percaya kalau setiap kejadian pasti akan ada hikmahnya. Dan karena beliaulah aku menerima lapang d**a keputusan suamiku. Pesan yang tak pernah putus dari beliau adalah 'surga seorang isteri ada pada suaminya. Bahkan, jika suami meminta untuk menikah lagi, kita harus mengikhlaskannya.' "Kasih selamat dulu sama suaminya." Bisik Bunda saat aku masih duduk diam di pojokan. Tampaknya kedua pengantin baru itu belum sadar kalau aku datang. Jelas, karena yang mereka tahu aku takkan hadir. Perlahan, aku menggeleng. Mengerucutkan bibirku, "Bunda mau aku nangis kejer depan isteri barunya?" Tanyaku sedikit mencebik, walau air mata tak dapat ku halau. Kulihat Bunda segera memelukku erat. Mengelus punggungku pelan yang membuat air mataku semakin tumpah ruah. Oh, ini menyakitkan! Aroma menenangkan dari gamis dan hijab Bunda membuatku serasa berada di rumah. Merindukan hal-hal yang telah lama tidak aku lakukan bersama Bunda sejak memiliki suami. "Bunda, aku mau ngomong bentar sama Dara." Suara Mas Galang terdengar dalam pendengaranku. Dengan refleks Bunda melepas dekapannya membuat wajahku jadi terlihat menyedihkan. Dengan cepat aku menghapus air mataku. "Bunda tinggal dulu ya?" Seketika, Bunda mendekat dan berbisik. "Ngomong baik-baik, jangan pakai emosi." Aku menggeleng pelan, tak membiarkan Bunda pergi. Tapi, tampaknya Bunda tidak mendengarkan dan justru menjauh dari kami. "Ikut, Mas." Tanpa kata Mas Galang menarikku menjauh dari para tamu. Cengkraman di tanganku begitu erat yang aku yakin akan meninggalkan bekas memerah. Mas Galang membawaku masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Melepaskan tanganku yang sedikit perih membuatku mau tidak mau mengelusnya pelan. Kulihat, rahangnya mengetat dan wajahnya penuh amarah. "Mas, diluar lagi banyak tamu, kita-" Tubuhku langsung melayang dan jatuh ke atas ranjang. Membuat baju kebayaku langsung kasut. Menatap ngeri pada Mas Galang. "Mas-" Dan ketika Mas Galang mulai menindih tubuhku, yang aku pikirkan hanyalah kewajibanku yang seminggu terabaikan. Oh, isteri macam apa aku? Hanya karena suami ingin menikah tapi mengabaikan kewajiban sebagai seorang isteri. Tuhan, maafkan dosaku... "Mas rindu kamu, Ra." Mas Galang benar-benar melampiaskan rasa frustasinya. "Mas~" Tolakku dengan meletakkan kedua telapak tangan di dadanya. Tapi sia-sia saja karena Mas Galang mengunci kedua tanganku di atas kepalaku. Aku bergerak gelisah karena saat ini bukanlah hal yang tepat untuk melampiaskan hasrat. "Mas, kamu lagi ada acar-" Lagi-lagi bibirku di bungkam paksa. "Mas janji nggak lama." Bisiknya sebelum menuntaskan kewajibanku sebagai seorang isteri. Yang sebentar lagi juga akan dilakukan oleh wanita lain. Mengingat itu saja kembali membuat air mataku merebak. Sial! "Kamu nangis?" Tanyanya lembut yang justru membuat air mataku kian mengalir. Dengan cepat, aku menggeleng pelan. "Mas cepat. Banyak tamu di luar lagipula isteri baru Ma-" "Don't talk about her, Dara. Just you and me now! Just us." Gumamnya dingin yang membuat nyaliku langsung menciut dan mulai menuntaskan hasrat yang seminggu ku abaikan. ❣ "Pakai baju kamu. Mas mau ngenalin kamu sama dia." Gumamnya setelah setengah jam menghabiskan waktu bersama. Aku menggeleng cepat. "Nggak mau!" Suaraku bahkan tak lagi terdengar. Air mataku kembali mengalir. "Mas jahat!" "Dara," Tegurnya pelan. Membuatku menatapnya nanar. Mengambil pakaian yang berserakan, lalu memakainya dibawah tatapannya yang dingin. "Aku mau pulang! Nggak mau kenalan sama dia." Lanjutku mulai terisak sambil memakai bajuku kembali. "Kita akan pulang, setelah kamu kenalan sama dia." Gelenganku kian keras dengan air mata yang mengalir hebat. "Aku nggak mau, Mas." Tanpa kata Mas Galang menggendongku ala brydal, membuat jantungku berpacu cepat. "Mas turunin!" Pekikku saat dia mulai beranjak ke pintu kamar. Menurunkanku sebentar untuk membuka kunci. Saat dia hendak menggendongku kembali, aku melarangnya. "Aku jalan sendiri!" Mundur satu langkah untuk menghindari sentuhannya yang akan meraihku. Matanya langsung memicing seolah takut aku akan kabur. Sebelum menghela napas pelan dan menggenggam tanganku. Menuntunku untuk berjalan ke depan. Disana, aku melihat isteri barunya yang begitu cantik sedang menatapnya bingung kemudian tersenyum. "Mbak Dara 'kan?" Ingin sekali aku mendengus dengan sikap pura-puranya yang jelas terlihat. Saat merasakan hujaman tatapan dari Mas Galang, aku langsung mengulurkan tangan. "Iya, saya Dara." "Pasti Mbak kenal saya kan?" Kenal kok. Anda kan pelakor! Pemikiranku langsung ku abaikan dan memilih untuk menjawab, "Ehh, siapa ya?" Aku memang tidak tahu siapa wanita ini karena Mas Galang tidak pernah menceritakannya. "Saya Shaira Kanata." Aku menggeleng pelan karena memang tidak mengenal wanita ini. Agak ke-Jepangan melihat dari nama dan kulitnya yang sangat putih. Oh, betapa enaknya jadi laki-laki yang bebas memilih disaat perempuan hanya bisa menunggu dan pasrah. Seolah tak sabar menghadapi kebingunganku, Mas Galang langsung bergumam. "Shaira, ini isteri pertamaku, Dara. Tolong hormati dia sebagaimana kamu harus menghormatiku, paham?!" Nada bicara Mas Galang tak dapat dikatakan baik melihat dari wajahnya yang keras. Perempuan yang menjadi maduku ini seketika langsung mengangguk antusias. Seolah tak peduli tatapan tajam Mas Galang. "Aku ngerti, Mas. Semoga kita bisa berhubungan baik Mbak." Melengos tentu saja. Apalagi yang harus kulakukan? Lagipula, panggilan Mbak tampaknya tak cocok mengingat umurnya yang jelas di atasku. "Please... Panggil Dara aja. Aku nggak biasa dipanggil Mbak." Sahutku ketus sambil menyentak keras tangan Mas Galang lalu beranjak menjauh. Aku benar-benar tidak tahan berada dalam situasi ini. Mataku mencari Bunda di antara beberapa orang yang tersisa. Ternyata beliau sedang berbicara dengan Ibu mertuaku sambil melempar senyum. Ah~ tak lupa juga kehadiran orang tua Shai-tan itu. "Bunda, pulang yuk? Dara belum packing." "Lho, kamu mau kemana?" Tanya Papa yang merupakan orang tua Mas Galang sebagai ganti Ayah untuk menjagaku. "Ke Bali. Ada seminar disana, Pa." "Udah izin sama suami kamu?" Kali ini Mama yang bertanya. Aku menggeleng. "Dia udah punya isteri baru kan ya? Buat apa izin?" Sahutku tanpa berniat untuk menyapa keluarga baru tersebut. "Dara?!" Tegur Bunda tak suka. Aku melengos dan berjalan menuju pintu keluar. "Bunda minta diantar Mas Galang aja. Itupun kalau dia masih jadi menantu Bunda. Byee semuanya!" Aku yang memulai konfrontasi ini dan pasti masih akan ada konfrontasi-konfrontasi lain ke depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD