Prolog

490 Words
Hatiku tidak lagi tertolong kala Mas Galang mengucapkan permintaannya padaku malam itu. Tepatnya seminggu lalu dimana kami sedang menghabiskan waktu bersama. Wajahnya begitu serius sambil menatapku lekat. Tidak seperti biasanya. Banyak emosi yang terkandung di dalam matanya yang jernih tersebut. Namun, yang jelas perkataan itu sukses membuatku diam seribu bahasa. Sebagai seorang wanita yang patuh akan suami, aku hanya bisa mengiyakan permintaannya mengingat kondisiku yang cacat. Tuntutan dari segala arah akhirnya membuat dia mengambil keputusan seperti ini. Dan kini, aku hanya duduk seorang diri dalam gelap. Membiarkan angin malam masuk melalui jendela yang terbuka. Menembus pori-poriku yang melebar. Aku tak tahu lagi rasanya menggigil karena sejak seminggu yang lalu, aku merasa sakit. Sakit yang akan berlangsung berkepanjangan mengingat pernikahan ini akan dilakukan seumur hidup. 'Mas mau nikah lagi.' Ya Tuhan... Apa yang harus kulakukan agar kata-kata itu menghilang sebentar saja dari hati ini? Memejamkan mata erat sambil memeluk kedua lututku, aku kembali terisak. Ini semua memang kesalahanku sebagai perempuan cacat yang tidak diberikan keturunan di umur pernikahan kami yang sudah 7 tahun. Penjelasan dokter kala itu membuatku langsung pingsan di tempat. Aku takkan pernah memiliki anak! Lagi-lagi bahuku bergetar hebat. Memeluk perutku erat. Mengabaikan semua panggilan telepon yang masuk ke dalam ponsel. Besok mereka akan menikah. Aku tersenyum miris. Disaat semua orang sedang berbahagia, aku justru menangisi takdir yang tak ada habisnya. Aku akan memiliki madu. Waktuku bersama Mas Galang akan terbagi bersama wanita lain yang masuk ke dalam rumah tangga kami. Sudah sejak seminggu lalu aku minta pulang ke rumah Bunda. Hanya Bunda yang ku punya di dunia ini selain Mas Galang. Ayah? Ayah sudah lebih dulu menghadap Rahmatullah 3 tahun lalu. Aku juga tidak memiliki saudara karena aku anak semata wayang. Di depan Bunda, aku bisa saja berlagak bahwa semua baik-baik saja, namun ketika Bunda tidur inilah yang kulakukan. Menangis dan hanya menangis. Dalam seminggu ini, aku tidak dapat tidur dengan nyenyak- ah tidak. Aku memang tidak dapat tidur sama sekali. Jelas kantung mataku menghitam dan membengkak. Namun, Bunda seakan tahu bahwa aku berpura-pura tegar dan beliau seolah menghargai kepura-puraan ku dengan tidak menanyakan apapun. Ya, menurutku begitu lebih baik daripada banyak bertanya yang membuat kepalaku semakin pening. Aku melangkah gontai menuju jendela kamar. Menatap bulan yang sudah meninggi bahkan tepat di atas kepalaku mengingat ini sudah tengah malam. Berharap bulan dapat mendengar keluh kesahku malam ini hanya dengan menatapnya nanar dan penuh air mata. "Apa aku harus datang besok, bulan?" Tanyaku konyol. Namun, justru mengundang air mata lain untuk turun. Ternyata pernikahan selama tujuh tahun tak akan ada artinya jika wanita itu cacat sepertiku. Apalagi, dengan komentar-komentar negatif tetangga dan mertua yang terus mendesak Mas Galang. Membuatku semakin merasa tersudut dan perlahan hancur. Aku menutup jendela kamarku. Melangkah gontai menuju ranjang dan memilih berbaring disana. Meraih ponsel yang terus saja berbunyi sejak tadi dan melihat beberapa panggilan dari Mas Galang serta pesannya dan juga dari teman-temanku yang tahu akan kisahku. Kisah pernikahanku yang sepertinya baru saja dimulai...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD