PART 7

1147 Words
Sepulang ngelayat, kami berkumpul di rumah Mama. Mama mengajak kami untuk tidak pulang mengingat beliau sedang membuat pulut durian. Dan disinilah aku sekarang, sedang menyantap pulut tersebut dengan hati yang terus merasa bersalah pada Mas Galang. Mengingat tak ada satu suarapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan, aku tidak tahu dia dimana sekarang. "Kakek akan kemari." Ucapan itu langsung membuatku menatap Mama sambil bergidik. Bulu kudukku meremang seketika. Mataku melebar saking kagetnya. Kulihat Mama menghela napas pelan. "Maaf, Adara. Mama nggak bisa nahan Kakek. Dia ingin memastikan bahwa apakah Galang benar-benar menikahi Shaira atau tidak." Akhirnya, lelaki berambut putih itu kembali kemari setelah hampir 3 bulan berada di negara asalnya, Jerman. Sehingga dia tidak bisa langsung memantau pernikahan Shaira dan cucunya ini. Aku menelan pulut ini dengan sulit. "Nggak pa-pa, Ma. Sekarang waktunya Mas Galang buat belajar ngebagi waktu." Mama menatapku prihatin. Aku sendiri memilih menunduk karena tidak bisa di tatap sedekemian rupa karena itu justru membuatku semakin bersedih. Kurasakan elusan dipunggungku dari Bunda. Wanita itu tersenyum sedih. "Anak Bunda kuat kok. Ya kan?" Mau tak mau aku tersenyum dengan air mata yang mulai mengalir. Mengangguk cepat sambil menghapus air mata sialan ini. "Aku kuat. Pasti bisa." Ujarku optimis sambil menatap Mama yang bahkan sudah menangis sepertiku. Bunda langsung mendekapku erat. Mengecup ubun-ubunku. "Inget yang Bunda bilang, sering-sering minta bantu sama Allah ya, Nak." "Hmm..." Aku membalas dekapan Bunda. "Iya, Bunda." Aku tersenyum. Setidaknya, aku masih memiliki penguat disampingku. Aku tidak ingin menjadi anak dan isteri durhaka. Membiarkan semua ini mengalir walau sulit. Karena bagaimanapun, semua ini akan ada hikmahnya. Aku yakin itu karena Allah Maha Adil. Menghapus air mataku pelan, aku meminta izin pada Bunda dan Mama untuk masuk ke dalam kamar. Disana, aku melihat Mas Galang sedang bersujud. Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan hampir jam 5. Pantas saja, waktu ashar hampir habis. Bergegas aku ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Menunaikan ibadah wajib yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Menggelar sajadah tepat dibelakang Mas Galang dan melakukan shalatku sendiri mengingat Mas Galang nyaris selesai. Setelah raka'at keempat, aku langsung mengucapkan salam. Mengusap wajahku sambil mengucapkan kalimat istighfar. Sebelum melirik Mas Galang yang masih setia duduk di atas sajadahnya. Ia mengulurkan tangan untuk ku cium. "Kamu cantik pakai mukenah, Ra." Ujarnya sendu dengan tatapan yang terlihat terluka. Oh Tuhan... Maafkan hamba telah melukai suami hamba dengan kata-kata hamba sebelumnya. "Maafin Dara, Mas..." Bisikku lalu bersujud di depannya. Mengambil kedua tangannya untuk ku cium. "Maafin Dara karena udah ngelukai perasaan Mas." Aku benar-benar terisak keras. Tak peduli bahwa kain sarung dan tangan Mas Galang basah karenaku. "Maafin Dara udah jadi isteri durhaka." Kurasakan sentuhan lembut menyentuh ubun-ubunku. Menggosoknya pelan. "Mas maafin, Ra." Bisiknya serak seolah Mas Galang turut menangis. Oh Tuhan, berdosanya aku telah membuat suamiku mengeluarkan air matanya. "Maafin Mas juga ya? Udah nyakitin kamu." Aku tak menjawab apapun. Karena hanya ada isak tangisku yang terdengar keras. Saat ini saja, biarkan kami seperti ini. Biarkan kami meluapkan emosi masing-masing. Dan biarkan kami menyendiri untuk menenangkan diri dari kegaduhan di luar sana. Hanya untuk saat ini saja. ❣ "Ante..." Panggilan Aziz langsung membuatku menoleh. Saat ini, aku masih di rumah mertuaku sedangkan Bunda sudah pulang lebih dulu mengingat Paman Fahri -Adik dari Ayahku- akan ke rumah untuk bertamu. Malam ini, Mama dan Papa menyuruhku dan Mas Galang untuk menginap. Lagipula, sudah lama kami berdua tidak menginap disini. "Kemari, sayang." Aku menarik tangannya. Membantunya untuk ku bawa ke atas pangkuanku. Mengecup pipi tembemnya. Aziz dititipkan oleh Kak Gina kepada Mama karena pulang malam hari bersama suaminya. "Ante, Om Alang, Nte.. Ziz au Om Alang.." "Om Galang di kamar lagi kerja, Sayang." Ya, setelah makan malam, Mas Galang memang meminta izin untuk ke kamar dan melanjutkan pekerjaannya. Aku tidak tahu apa yang sedang dikerjakannya. "Elja?" Aku tersenyum lalu mengangguk. Mengacak rambut Aziz. "Gimana hadiahnya? Suka hadiah dari Tante?" "Ziz cuka. Elenn!!" Dia mengajukan dua jempolnya saat mengatakan 'keren' dalam bahasanya. "Om Galang yang pilih." "Om Alang pintel." Ya Tuhan... Alangkah senangnya jika aku memiliki anak selucu ini. Mau tak mau aku kembali terkekeh. Senang rasanya dan juga lega. Apalagi, setelah aku meminta maaf kepada Mas Galang, tawaku seketika lepas, seolah tak ada apapun yang ku sembunyikan. Aku benar-benar merasa bebas sesaat. "Aziz, minum dulu susunya..." Mama seketika memberikan sebotol s**u pada Aziz. Lelaki bertubuh gempal itu melompat turun dan mendekati Mama. Memilih duduk di pangkuan Mama lalu mengambil s**u dan menyedotnya. "Galang nggak turun?" Sesaat aku hendak menjawab, Mas Galang langsung menyambar. "Kenapa, Ma?" Tanyanya lalu mengecup pipiku pelan. Memilih duduk di sebelahku lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa. "Om Alang..." Aziz kembali melompat dari pangkuan Mama dan berlari dengan tubuh gempalnya menuju Galang. Berusaha naik dengan lututnya yang pendek. "Om Alang..." Jeritnya saat Mas Galang sama sekali tak membantunya naik. Membiarkan anak laki-laki itu berusaha sendirian. "Mas jahat banget." Aku hendak membantu Aziz, namun Mas Galang segera menahan tanganku. "Biarin. Jangan dibantu terus." Ujarnya kemudian kembali melirik Aziz yang nyaris frustasi, hendak menangis keras. Walau umurnya sudah 4 tahun, namun tubuhnya begitu gendut sehingga sulit ketika bergerak. Bahkan saat berlaripun, langkahnya tak secepat anak lain. Membuatku terkadang gemas sendiri. "Jangan nangis!" Tegas Mas Galang saat melihat Aziz sudah mencebikkan bibirnya. "Usaha dulu." "Ucaha?" Tanyanya bingung. Mau tak mau aku dan Mama tersenyum kecil. Mas Galang mengangguk. "Coba naik lagi." Kali ini, Aziz menyodorkan botol susunya padaku. "Pegang." Titahnya yang membuatku langsung menerima botol susunya. Kemudian, melihatnya yang kembali berusaha naik. Pantatnya yang berisi bergoyang-goyang menggemaskan. Ingin rasanya ku menepuknya. Seolah tahu keinginanku, Mas Galang segera menarik Aziz ke pangkuannya. Menatapku dengan datar, tahu bahwa keinginanku tidak boleh dilakukan karena Aziz akan sensitif jika orang memukul pantatnya. Bahkan, lelaki kecil itu akan ngambek berhari-hari. "Syusyu." Pintanya setelah berhasil duduk di pangkuan Mas Galang. Aku tersenyum misterius, menatap Aziz dengan jahil. Menjauhkan susunya dan berkata, "Nggak boleh. Aziz cium Tante dulu disini." Tunjukku pada pipiku yang kini ku dekatkan dengan wajah tembem Aziz yang berada di perut rata Mas Galang. Saat Aziz hendak mencium pipi, Mas Galang justru menutup mulut Aziz dengan tangannya. Ia menggantikan Aziz mengecup pipiku. "Mas apa-apaan sih?" Sungutku membuat Mas Galang mengendikkan bahunya tak peduli. Melepaskan dekapannya pada mulut Aziz yang sudah berontak. Aku berdecak, lalu menangkup wajah Aziz. Mengecup keseluruhan wajahnya yang tampan dengan gemas. "Udah-udah!" Mas Galang memisahkanku dengan Aziz yang nyaris menangis karena ciuman mautku pada lelaki kecil itu. "Nanti jelek kamu nular ke Aziz." "Kok jahat sih, Mas?!" "Ck... Berantem aja." Suara Mama menyadarkanku kalau beliau sedari tadi memperhatikan. "Aziznya di jaga sampai Kak Gina jemput ya, Lang. Mama mau tidur. Dara juga jangan sering bergadang." "Iya, Ma." Sahutku, lalu Mama menjauh dari kami. "Syusyu!!!" Pekik Aziz tiba-tiba. Aku terkekeh pelan, lalu memberikan s**u kesayangannya. "Aku juga mau s**u, Ra." Bisik Mas Galang tiba-tiba. Aku menatapnya sengit. "s**u Aziz adanya Mas. Mau aku buatin?" Tanyaku polos. Mas Galang menggeleng pelan. Matanya langsung meredup. Menatapku dengan tatapan~ oh... Tidak! "s**u kamu. Mas mau s**u kamu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD