Aku sedang membereskan tempat tidur setelah Mas Galang beranjak ke kamar mandi. Setelahnya, menyiapkan pakaian Mas Galang untuk bersiap-siap menjemput Aditama senior di bandara. Setelahnya, aku langsung turun ke bawah untuk membantu Mama menyiapkan sarapan.
"Pagi, Ma."
Mama yang sedang memanaskan air tersenyum seketika. Kami hanya berdua di dapur mengingat ini masih pukul setengah enam. "Pagi, Sayang. Galang sudah bangun?"
Aku mengangguk. Mengambil beberapa gelas dan cangkir lalu kutata di atas meja. "Sudah. Kami juga subuh bersama."
Mama hanya tersenyum simpul. "Aziz jam berapa di jemput semalam?"
"Jam sebelas malam, Ma. Dia sampai tertidur di pangkuan Mas Galang."
"Aziz memang suka tidur sembarangan." Mama menyahut pelan. "Ra, ambilkan roti tawar. Biar Mama panggang."
"Biar Dara saja, Ma." Aku mengambil beberapa roti tawar sementara Mama menyiapkan selai dan juga minuman.
Tak lama, Mas Galang turun memakai baju yang telah kusiapkan. Aku menatapnya tersenyum yang dibalas pula senyuman tulus olehnya. Dia mengecup ubun-ubunku dengan lembut lalu beralih mencium pipi Mama. "Morning, Mom."
"Pagi, Sayang. Jam berapa jemput kakek kamu?"
"Sebentar lagi. Masih sempat sarapan." Mas Galang melirikku kemudian menepuk bangku disebelahnya. "Duduk sini, Ra. Ada yang mau aku bilang."
Aku mengangguk. Duduk tepat di sebelah Mas Galang. Menatapnya penasaran akan apa yang akan dikatakannya.
"Kakek akan disini selama seminggu." Gumamnya pelan sambil melirik Mama yang kini menatap kami dengan prihatin. "Mas harap kamu sabar ya selama ada Kakek. Mungkin Kakek akan maksa Mas buat tinggal sama Shaira. Dan yang Mas butuhkan, cukup percaya sama Mas ya, Ra?"
Aku terdiam selama beberapa saat. Memang ini akan menyakitkan, namun bukankah aku sudah belajar untuk ikhlas? Perlahan, senyumku terbit. Membalas genggam tangan Mas Galang dengan erat.
"Nggak pa-pa, Mas." Aku benar-benar tersenyum tulus menatapnya. Seolah aku sudah rela dengan semua ini. Setelah menyerahkan diri pada Yang Kuasa, rasa sakit hatiku mulai berkurang. "Memang sudah waktunya Mas ngebagi waktu untukku dan Shaira."
"Ra..."
Aku lagi-lagi tersenyum. Mas Galang tampak tak percaya menatapku. "Aku serius. Bukankah sebagai suami, Mas harus adil?" Aku tahu, Mama bahkan turut melihatku. "InsyaAllah aku bisa dan kuat. Mas percaya ya sama aku?"
"MasyaAllah, Ra..." Mas Galang langsung memelukku erat. "Mas bahagia punya isteri kaya kamu."
Aku tak segan membalas dekapan hangat Mas Galang. Menghidu aroma parfumnya dan juga merasa bersyukur karena masih dicintai.
"Hmm, aku juga."
"Sudah-sudah. Mesraannya nanti lagi. Sekarang sarapan dulu ya? Mama mau panggil Papa."
Mau tak mau aku tersenyum sebelum menyiapkan sarapan untuk Mas Galang.
❣
"Ra..." Kiki memanggilku. Gadis bercelana kain lebar tersenyum. Memakai hijab bermotif yang sepadu dengan warna pakaiannya yang polos. "Eh, suami kamu kenapa nggak ngajar hari ini?"
Aku mengernyit kala Kiki bertanya. Kenapa dia bisa tahu kalau Mas Galang tidak hadir? Astaghfirullah... Kan Kiki ada jam Mas Galang pagi ini! Nyaris saja aku menepuk jidatku.
"Jemput Yang Mulia Aditama." Sahutku sambil mengendikkan kedua bahunya acuh. Kami memilih berjalan bersisian. Kulihat, Kiki mengangguk mengerti.
"Kakek kamu jadi datang?"
"Hmm. Dia mau pastiin kalau Mas Galang jadi nikah sama wanita pilihan Aditama."
Kiki mendelik. Menatapku jengkel. "Gimanapun dia orang tua, Ra. Nggak boleh kayak gitu!"
"Iyeee... Bu Ustazah." Aku mengangguk sopan yang malah dibalas tepukan di lenganku.
"Dibilangin malah ngeledek."
Baru saja aku hendak membalas perkataan Kiki. Ponselku berbunyi, dahiku mengernyit kala kulihat panggilan dari Mas Galang. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera mengangkatnya.
"Halo, Mas."
"Sayang, kamu pulang sekarang ya?"
"Lho, kenapa Mas?"
"Pulang aja ya? Mas yang akan bilang sama dosen matkul selanjutnya."
"Iya, Mas."
Aku segera menutup ponselku. Menatap Kiki yang kini memasang wajah ingin tahu.
"Aku pulang duluan ya, Ki. Mas Galang minta aku cepet pulang."
Kiki tersenyum. "Hati-hati, Ra. Assalammu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Dengan langkah cepat, aku segera beranjak ke mobil yang dibelikan oleh Mas Galang dua tahun lalu. Kemudian, aku langsung mengemudikannya dengan kecepatan rata-rata.
Sesampainya di rumah, aku melihat semua orang berkumpul, termasuk Shaira yang kini duduk berdampingan dengan Mas Galang. Aditama senior juga berada disana dengan matanya yang begitu tajam serta rambutnya yang pirang keputihan.
"Dara, sini duduk dulu, Nak." Ucapan Mama membuat semua orang menoleh ke arahku. Termasuk Shaira. Wanita itu menatapku dengan tatapan yang sama sekali tak bisa ku artikan. Aku memilih duduk di sebelah Mama daripada di sebelah Mas Galang yang jelas sedang dirangkul mesra oleh Shaira.
"Darimana saja kamu?" Tanya Aditama senior sambil menatapku tajam. Walau begitu, aku tidak sama sekali merasa terintimidasi dengan tatapan itu mengingat aku sudah biasa berkonfrontasi dengannya.
Ya, setelah dia meminta Mas Galang untuk menikah. Aku mencoba untuk tidak terlalu penurut padanya. Walau dia merupakan kakek iparku yang memiliki kekuasaan di tangannya dan ribuan ladang luar sana, tapi aku tidak akan tinggal diam. Cukup, dia mencampuri urusan keluargaku.
"Kuliah. Biar Kakek bangga punya cucu menantu memiliki gelar M." Sahutku selembut mungkin.
"M saja tidak cukup!" Bantahnya membuatku menaikkan alis. Lalu, bertanya,
"Benarkah? Oh, haruskah aku meminta Mas Galang untuk kembali menyekolahkanku hingga mendapat gelar doktor?" Kini tatapanku menatap Mas Galang dengan menggoda. "Boleh, Mas? Kakek bilang gelar M nggak cukup untuk dampingin kamu."
Kulihat Mas Galang menghela napas pelan. Dia seakan sudah menebak ini akan terjadi. "Kamu dirumah. Tugas kamu layani Mas bukan cari uang!"
"See? Cucumu melarangku, Kek."
"Kau?!" Kulihat Aditama memelototkan matanya. Kurasa ia sudah naik pitam. Padahal aku baru saja mulai. Ah~ kakek-kakek lebih membosankan dari yang kuduga. Cepat sekali naik tensi.
"Grandpa..." Ku dengar Mas Galang menyela. "Apa yang ingin Grandpa katakan setelah mengumpulkan kami semua?"
Helaan napas berat keluar dari mulut sang Kakek. Aku memang tidak memanggilnya Grandpa seperti yang Mas Galang panggil karena aku bukan cucu kandungnya. Jadi, aku lebih memilih memanggilnya Kakek.
"Apa kamu sudah meniduri Shaira?"
Pertanyaan Grandpa langsung membuatku bungkam. Ku rasakan elusan di punggungku dan menoleh menatap Mama yang kini menatapku sambil tersenyum. Seolah menguatkanku. Aku turut tersenyum kemudian menggeleng pelan, menandakan bahwa aku tidak apa-apa.
"Belum dan tidak akan pernah!" Sahut Mas Galang tegas.
"Tapi, aku juga isteri kamu, Mas!" Shaira memekik tidak terima. Nadanya meninggi membuat semua orang kini menatapnya.
"Jangan meninggikan nada di depan cucuku!" Bentak Aditama itu dengan keras. Membuat Shaira langsung menciut dan kembali duduk di sebelah Mas Galang.
Mampus! Dalam hati aku bersorak. Oh, Shaira... Maafkan aku yang tak bisa menahan makian tersebut.
"Galang Prasetya! Mulai hari ini, kau akan tinggal bersama Shaira sampai dia hamil!"
Aku menelan salivaku. Menatap Mas Galang yang kini menatap Aditama senior itu dengan tatapan penuh amarah. Tangannya bahkan mengepal kuat.
"Aku tidak mau tahu, atau isterimu yang itu akan menerima akibatnya!" Putus sang Aditama sebelum beranjak meninggalkan kami semua yang tertegun akibat keputusan sepihak darinya.
Ah~ akhirnya... Aku bisa kembali ke rumah Bunda. Pikirku tanpa beban karena memang aku tak ingin lagi membebani diri sendiri. Lagipula, semua manusia akan mati. Begitupula dengan rasa sakit ini!
Benar 'kan?