Setiap manusia itu akan terluka, itu pasti! Namun, luka yang di terima berbeda-beda berikut dengan kedalaman luka itu yang sebesar mana? Tapi, disini aku tidak ingin men-judge Mas Galang maupun Shaira karena keduanya sudah sah menjadi suami isteri.
Biarkan Aditama itu bertindak sesukanya lalu mari kita lihat ketika dia tenggelam dalam keserakahannya yang ingin memiliki cicit. Mengemas beberapa bajuku untuk kumasukkan ke dalam koper karena aku memutuskan untuk pulang ke rumah kami sebelum menginap panjang di rumah Bunda. Lagipula, aku tidak tahu sampai kapan Mas Galang menginap. Mengingat si tua itu mengatakan bahwa sampai Shaira hamil.
Menghela napas pelan. Aku kembali melipat baju ke dalam koper. Hari ini juga aku akan pulang. Tidak tahan jika terus melihat Shaira bermesraan dengan Mas Galang walau aku tahu bahwa Mas Galang sedari tadi mencoba menghindari perempuan itu.
Aku melirik ponsel yang kuletakkan di samping koper. Layarnya memunculkan sebuah panggilan dari dokter spesialis yang sudah membantuku melewati operasi berat beberapa tahun silam. Aku meraih ponsel dan segera mengangkatnya.
"Assalammu'alaikum, dok."
"Wa'alaikumsalam, Adara. Bagaimana keadaan kamu?"
Ah, aku baru ingat bahwa sudah lama sejak kami terakhir kali berhubungan melalui ponsel. Dan itupun mungkin setahun lalu dimana perutku tiba-tiba saja merasa sakit. Dan tanpa sepengetahuan Mas Galang, aku langsung ke rumah sakit untuk bertemu dengan dokter Kania.
"Alhamdulillah, saya sehat dok. Maaf, saya tidak pernah mengabari dokter beberapa bulan ini." Karena rumah tangga saya diambang kehancuran. Sambungku dalam hati. Lagipula, aku memang tidak menceritakan kepada siapapun tentang rumah tanggaku, selain kepada Kiki.
"Tidak apa-apa, Adara. Saya senang kamu baik-baik saja. Tapi, bolehkah kita bertemu? Saya ingin melihat keadaanmu secara langsung. Lagipula, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua."
Ah, apakah boleh? Kuakui bahwa dokter Kania adalah dokter yang sangat bertanggung jawab kepada para pasiennya. Kami bahkan sempat menghabiskan waktu di cafe hanya untuk bertukar pendapat di sela-sela kesibukannya.
"Boleh, dok." Jawabku pelan. Lagipula, bukankah Mas Galang akan menghabiskan waktu dengan Shaira? Jadi, aku tidak memerlukan izinnya. Aku hanya tidak ingin berkomunikasi jika dia sedang bersama wanita lain. "Bagaimana dengan besok? Kebetulan, saya kuliah senin-selasa. Jadi, rabu saya kosong."
"Baiklah. Saya juga kebetulan rabu kosong. Sekalian, saya ingin membawa teman untuk diperkenalkan denganmu."
"Baik, dok. Saya akan mengabari tempatnya."
"Ya, Adara. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku menghembuskan napas kasar. Bertemu dengan dokter Kania sama saja dengan membuka luka lama. Dimana aku sering merasa sakit. Tubuhku mengurus, rambutku nyaris tak tersisa. Bahkan, saat itu aku seperti mayat hidup, namun Mas Galang tetap setia berada di sampingku. Menemani di setiap hari beratku dengan sabar. Ya Allah, aku tidak bisa membayangkan menjadi Mas Galang ketika dia sesabar itu mengurusku karena aku yakin, laki-laki lain akan langsung mencari wanita simpanan.
Aku melirik perut rataku dan baru sadar bahwa aku telah banyak melewatkan check up yang seharusnya dilakukan sejak lama. Dan beberapa bulan lalu pun, aku kembali merasakan denyutan sakit itu dan aku hanya bisa berbaring sepanjang malam. Berpura-pura bahwa aku baik-baik saja, walau sebenarnya hal itu sangat-sangat sakit.
Aku kembali melipat pakaian terakhirku. Mengambil tas, ponsel, charge, serta alat kosmetik dan memasukkannya ke dalam handbag. Lalu menarik koper itu keluar. Disana, aku melihat Mama sedang berdiri menatapku, lalu menghampiri dan memelukku erat.
"Maafin Mama, Sayang."
Aku tersenyum tipis. "Ini bukan salah Mama. Ini salahku yang nggak akan bisa memberikan keturunan untuk keluarga Mama. Aku minta maaf ya, Ma? Dara pamit dulu." Aku mencium tangan Mama dengan sopan.
"Mama panggilkan Mas-mu ya, Ra?"
"Nggak usah, Ma." Aku menyela cepat. Tahu bahwa Mas Galang pasti sedang bersama Shaira. "Aku titip salam aja sama Mas Galang. Lagipula, mereka juga suami-istri jadi, biarkan saja. Kasihan kalau di ganggu, entar buat baby-nya gagal." Kekehku pelan walau dalam hati aku meringis karena berpura-pura tegar.
"Ya sudah, Mama antar yuk."
"Ya ampun, Ma... Nggak perlu. Lihat nih, Mama lagi repot kan di dapur? Aku bisa sendiri." Dengan cepat aku mengecup pipi Mama mertuaku. "Dara pergi dulu, assalamu'alaikum Ma."
"Wa'alaikumsalam, Nak. Hati-hati."
"Pasti, Ma." Aku mengacungkan jempol dan tertawa kecil. Melambaikan tanganku pada Mama sambil menarik koper ke dalam mobil sedan milikku yang berwarna putih s**u.
Menarik napasku dalam-dalam sambil menatap langit cerah di atas sana. Aku bisa, aku kuat, dan aku pasti mampu! Benar 'kan, Ayah? Tanyaku sambil tersenyum manis seolah Ayah turut tersenyum di atas sana. Berharap bangga bahwa puterinya ini mampu melewati ujian yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa.
❣
"Ini pesanannya." Sapa waitress sebelum meletakkan mocha float di atas meja cafe.
"Terimakasih."
Waitress itu langsung pergi setelah membalas perkataanku dengan senyumannya. Aku memang tidak langsung pulang ke rumah dan malah membiarkan mobilku melaju ke cafe ini. Dimana pertama kali aku dan Mas Galang mengenal satu sama lain.
Aku saat itu tak sengaja menumpahkan mocha float ke bajunya. Hingga pertemuan-pertemuan selanjutnya berakhir seperti sekarang. Dan kini, aku sengaja kembali kemari hanya untuk mengenang masa silam itu. Seandainya hari itu aku menolak pergi bersama teman-teman sekolahku, apakah aku bisa bersama Mas Galang saat ini? Ataukah aku justru bertemu pria yang sama sekali tidak bisa menerima keadaanku seperti yang Mas Galang lakukan?
Aku mengambil ponselku dari dalam tas yang sudah bergetar sejak tadi. Ya, aku sengaja mematikan nadanya agar tidak mengganggu konsentrasiku ketika mengemudi karena aku tahu pasti bahwa Mas Galang akan mencariku setelah menitip salam pada Mama dan pergi tanpa izin.
Bolehkah aku mengabaikannya untuk kali ini saja? Aku benar-benar butuh waktu menenangkan otakku.
Kulirik layar ponselku yang sudah menunjukkan 18 panggilan dalam kurun waktu 30 menit. Beberapa pesan darinya yang kupastikan lelaki itu marah. Aku menyugar poni sampingku ke belakang dan membiarkan rambut lurusku kembali ke menutupi sisi kiri dan kanan wajahku. Membuatku segera menyampirkannya ke belakang telinga.
Lagi-lagi ponselku bergetar karena panggilan dari Mas Galang. Dan dengan cepat, aku mematikan ponselku total agar tidak ada yang bisa menghubungiku. Karena yang kuinginkan saat ini adalah ketenangan.