Chapter 7 - Theater Musical

2084 Words
Chapter 7 - Theater Musical Sebuah pertunjukan drama musikal akan segera di selenggarakan. Para anggota sanggar sibuk berlatih dan mempersiapkan diri untuk pertunjukan nanti. Mereka ingin tampil maksimal di pertunjukan nanti. Agar Setiap bulannya pertunjukan terus berjalan dan makin menyukai pertunjukan yang mereka bawa. "Oke kita mulai kelasnya. Kita mulai kelas dasar yah. Sekarang kalian tatap wajah kalian di depan cermin. Kita mulai pemanasan. Bisa di sebut ini olah vokal atau senam wajah! Perhatikan baik-baik. Ayo katanya A I U E O. Gerakan bibir dan dan intonasinya harus sama. Ayo! A I U E O! Perlahan! A I U E O ayo semakin cepat!" perintah Hilman sekaligus pelatih di sanggar. Ia terus menginstruksikan kelas dasarnya pada anggota sanggarnya. Mereka dengan antusias mengikuti setiap instruksi dari Hilman. Ini sebetulnya baru kelas dasar. Ada beberapa hal lagi yang harus di pelajari dalam kelas acting. Yaitu olah vokal, olah tubuh, komposisi, blocking, imaginasi, teknik darsar akting, improvisasi, teknik audisi dan casting, pelajaran tentang adegan, membaca sekilas, akting komersial, akting clasic dan pengisi suara. Hilman akan mengajarkan satu persatu pada anggota barunya. "Oke kita lanjutkan ke improvisasi. Atau yang bisa aku sebut. Olah sukma, kita berimprovisasi dulu. Aku ingin melihat akting kalian marah. Sekarang anggap saja pantulan cermin yang ada di hadapan kalian adalah musuh kalian. Ciptakan masalah di hati kalian. Yang membuat kalian benci sama orang itu. Kemudian maki dia! Oke kalian mulai aking marahnya yah biar aku yang nilai. Satu, dua, tiga!" instruksi Hilman. Ia melihat satu per satu anggotanya yang sedang marah-marah di depan cermin. Ada yang memang sudah bagus akting marahnya. Ada juga yang datar-datar saja. Mungkin karena baru mengikuti kelas akting ini. Hilman memaklumi karena memang hari ini, baru hari pertama. Anggota sanggar berlatih, sejauh ini masih di batas normal. Hilman yakin mereka akan menjadi aktor dan aktris hebat nantinya. "Oke bagus! Nanti aku akan kasih poin nilai kemampuan kalian. Ini hanya sekadar penilaian aku saja. Jadi kalau nilai poinnya masih kecil. Jangan berkecil hati. Tapi kalian harus tetap semangat untuk belajar. Next sekarang aku mau lihat akting menangis kalian," lanjut Hilman. "Ketika berakting nangis. Biarkan rasa sakit dan terluka menyelusup ke dalam hati. Kalian bayangkan. Orang yang kalian sayang sekarang sedang sekarat. Dia punya penyakit yang sangat parah. Dan dalam beberapa menit lagi. Orang kalian sayang itu akan meninggal. Bayangin itu sedalam-dalamnya. Anggap saja orang itu adalah pantulan cermin kalian. Rasakan semua emosi dalam diri kamu. Menjelma antara perasaan sakit dan rasa kehancuran akan kehilangan orang itu," instruksi Hilman lagi. Ia jadi ingat kejadian dulu, saat mengajarkan ini pada Nadira. Dulu saking terbawa emosi. Hilman sampai jatuh hati pada Nadira. "Maaf kak aku terlambat," ucap Nadira saat memasuki sanggar. Soalnya tadi ikut ke Jakarta Fashion Week dulu bersama Nicho. Sebal sih, karena mau izin saja susah. Jadi saja terlambat datang ke sanggarnya. "Karena kamu telat. Coba perlihatkan akting kamu pada kami," Hilman sengaja menghukum Nadira. Akhir-akhir ini Nadira sering sekali terlambat. Mungkin karena sekarang di kantor ia menjabat sebagai sekertaris. Jadi pekerjaannya juga semakin banyak. Dulu saat masih jadi staf administrasi keuangan. Nadira tidak pernah terlambat. "Baik kak," Nadira tanpa basa basi langsung naik ke atas panggung. Awalnya ia menari balet, lalu dance kemudian ia meminta Hilman untuk jadi lawan mainnya. Mereka berdua sangat menikmati adegan akting mereka. Karena adegan yang sedang dibawakan adalah adegan yang pernah Nadira dan Hilman bawakan tiga bulan lalu di acara teater musikal. Nadira dan Hilman adalah best couple di setiap cerita pertunjukan yang mereka bawa. Selalu banyak yang nanton kalau peran utamanya mereka. Selesai latihan Hilman menghampiri Nadira yang sedang bersiap-siap untuk pulang. "Kenapa elo terlambat lagi? Pasti karena kerjaan elo makin banyak yah? Gue khawatir lo lama kelamaan keluar deh dari sanggar karena saking sibuknya kerja," ucap Hilman. "Enggak akan lah kak. Ini kan udah jadi hobi gue. Sesibuk apapun gue pasti akan sempetin ke sanggar. Masa iya gue ninggalin sanggar yang kita rintis bersama-sama sampai sejauh ini," cetus Nadira. "Beneran yah? Gue cuma enggak mau kehilangan aktris terbaik gue. Apalagi nyokap lo, udah larang lo ke sanggar," terlihat sekali Hilman tidak mau kehilangan Nadira. Sebetulnya Hilman dari dulu sudah suka pada Nadira. Zaman Nadira masih sekolah merintis sanggar bareng-bareng sampai menghasilkan uang seperti ini dari sanggar. Namun, cinta Nadira sudah terpaku pada managernya. Manager Park Wo Bin. Dari dulu Nadira sudah melirik manager Park Wo Bin. Nadira tahu manager Park Wo Bin. Saat Nadira ikut dalam kompetisi desain busana tingkat kota. Kebetulan manager Park Wo Bin yang menjadi jurinya. Kebetulan Nadira saat itu menjadi juara pertama dalam kompetisi tersebut. Makanya ia mendapatkan beasiswa untuk mengambil jurusan desain. Namun, rezekinya malah kesasar dulu jadi staf administrasi keuangan. Terus sekarang jadi sekertaris. Belum bisa jadi desainer betulan hehe. Tak apa, mungkin kedepannya bisa jadi desainer betulan. "Soal nyokap gue gampang itu mah. Nanti kalau gue udah ngehasilin banyak uang dari sanggar. Nyokap juga ga bisa apa-apa kan? Pasti bakalan ngizinin," timpal Nadira. Hilman juga sudah tahu mengenai kondisi perekonomian Nadira. Bahkan Nadira sering curhat meminta saran pada Hilman. Cuma dua orang yang Nadira percaya. Hilman dan Vina, mereka adalah sahabat terbaik yang Nadira punya. "Nonton yuk! Ada film bagus tayang lagi di Bioskop!" Ajak Hilman. "Film apa?" "Fast Hunter yang ke dua!" ucap Hilman bersemangat. Karena tahu, Nadira suka sama film itu. "Wah serius elo kak? Ayo! Gue kangen sama aktingnya Fabio. Sayangnya dia udah meninggal." Fabio Gunawan adalah aktor yang Nadira suka. Ya, sayang sekali usianya tidak panjang. ******** Mereka berdua sudah tiba di Bioskop. Hilman sudah membeli dua tiket untuk mereka berdua. Sedangkan Nadira membeli banyak camilan dan minuman. "Enggak terlalu kebanyak camilannya?" Tanya Hilman saat melihat dua kantong keresek besar di tangan Nadira. "Hari ini gue dapet bonus dari kantor gue. Jadi gue beli banyak camilan. Tenang aja gue yang traktir kok! Ucap Nadira. "Iya, iya deh. Gue juga pengen nyobain camilan dari bonus sekretaris hahah," ledek Hilman. Tidak lama mereka masuk kedalam bioskop. Filmpun segera di mulai. Albert kembali di tawan oleh Defonzy. Kali ini jumlah mafia anak buah Defonzy sedikit berkurang jumlahnya. Pasalnya tadi seblum Albert tertangkap. Mafia itu habis di serang oleh Albert. Selain ke ahliannya dalam menembak, Albert juga sangat ahli dalam bela diri. Dengan tangan kosong juga ia bisa melumpuhkan lawannya. Albert tidak tega melihat Ashya yang semakin lemah. Mungkin karena sudah terlalu lama jadi tawanan para mafia ini. Albert tidak mau membuang-buang waktu lagi. Ia harus segera melumpuhkan para mafia ini. Defonzy harus segera di tangkap. Agar mendekam selamanya di dalam jeruji besi. Albert sedang mencari cela, kapan ia harus bergerak untuk melawan Defonzy. Soalnya kali ini tanganya telah di ikat tali. Untungnya Albert sangat cerdik. Ia perlahan mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya. Kali ini talinya mulai melonggar. Di depan ia melihat sebuah pistol di meja Defonzy. Ia bertekad untuk meraih pistol itu. Hap! Albert berhasil mengabil pistol yang berada di meja itu. Tali yang mengikat Albert sudah terlepas dengan mudah. Terjadi baku tembak di gudang penyimpanan narkoba. Albert berhasil meraih Ashya yang sudah lama menjadi tawanan Defonzy. Albert menggiring Ashya menuju pintu keluar. Pergerakan Albert di ikuti mafia-mafia anak buah Defonzy. Akhirnya Albert sampai di pintu gerbang keluar. Ia meminta Ashya untuk segera pergi. Awalnya Ashya menolaknya. Tapi Albert tetap memaksa. Albert tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum Defonzy tertangkap. Selama dia belum tertangkap. Pasti akan ada kejahatan-kejahatan lainnya yang akan terjadi. "Ashya, go away!" perintah Albert. "Go away Ashya! Run!" teriak Albert. Ashya pun menuruti perintah Albert. Ashya berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari gerbang gudang penyimpanan narkoba. Yang ada di otak Ashya sekarang adalah menyelamatkan dirinya. Ia kan pergi menemui ayahnya. Dan meminta pertolongan, untuk membantu mengeluarkan Albert dari gudang itu. Sementara di gudang penyimpanan narkoba. Albert terus mengejar Defonzy yang berusaha kabur lagi. Albert terus mengejarnya dengan hati-hati. Banyak peluru yang di tembakan oleh mafia. Ke arah Albert, dengan sigap. Albert terus menghindarinya. Sampai Albert tiba di sebuah pelabuan. Defonzy pasti akan kabur lagi dengan menggunakan kapal pesiar itu. "Stop Defonzy!" teriak Albert. Mendengar teriakan dari Albert. Defonzy buru-buru masuk kedalam kapal pesiar. Kapal itu muali melaju. Albert berlari dengan kencang. Dan.. Tap! Albert melompat ke kapal pesiar itu. Ia langsung di hadang para mafia itu. Satu per satu Albert hantam mereka. Hingga akhirnya ia bisa bertemu dengan Defonzy. Sang bos mafia, yang selama ini jadi target utamanya. Kini mereka saling beradapan satu sama lain. Albert memegang pistol di tangan kanannya. Defonzy juga memegang pistol di tangan kananya. Albert mulai mendekati Defonzy. Albert menendang tangan kanan Defonzy dengan keras. Tak! Suara itu begitu terdengar keras. Pistol Defonzy terjatuh entah kemana. Albert menodongkan kembali pistolnya di kepala Defonzy. "Game over!" ucap Albert. Defonzy malah tersenyum meremehkan. Ia menatap Albert dengan tatapan membunuh. Defonzy kembali merogoh saku celananya. Dimana di sana sudah tersimpan belati andalannya. Defonzy bersiap akan menikam Albert. Namun... Buk! Albert berhasil menepis pisau belati itu. Ia tidak akan tertipu lagi oleh tak tik yang di mainkan Defonzy. Gerak geriknya sudah terbaca Albert sekarang. Jadi ia tidak akan terluka lagi. Alhert pelintir tangan Defonzy ke belakang. Lalu ia borgol. Albert pun menggiring Defonzy ke luar kapal pesiar. Albert meminta kepada sang nahkoda untuk putar balik ke pelabuhan sebelumnya. Sesampainya di pelabuhan. Ternyata di sana sudah banyak polisi. Di sana juga ada Ashya dan ayahnya. Ayahnya Ashya mengacungkan jempol pada Albert. Akhirnya ia bisa juga menangkap bos mafia. Buronan yang selama ini polisi cari. "Good job, Albert!" puji ayahnya Ashya. "Thank you, Sir!" jawab Albert. Ashya tersenyum pada Albert malu-malu. Akhirnya ia bisa terbebas dari tawanan Defonzy. Semua ini berkat ke gigihan dan keberanian Albert dalam menjalankan misi ini. Ashya berjalan mendekati Albert. Ashya memeluk Albert dengan erat di depan semua orang. Ayahnya kaget melihat reaksi yang di lakukan putrinya di depan semua orang. Tapi ayahnya bisa memaklumi. Karena Albert memang pahlawan bagi Ashya. "I love you," bisik Ashya kemudian. Albert terkejut dengan ungkapan Ashya yang mendadak. Pasalnya ini di depan banyak orang. Ada ayahnya Ashya pula. Albert juga tidak memungkiri. Kalau ada debar yang berbeda di hatinya. Ashya berhasil menggeser nama kekasih sebelumnya di hati Albert. Apa dia juga harus menerima cintanya Ashya? "I love you to," bisik Albert tepat di telinga Ashya. Hilman malah tidur di akhir film. Mungkin Hilman kecapean. Bagaimana enggak capek bekerja di dua tempat kerja. Yang satu jadi cleaning servis. Yang satu lagi jadi waiters. Pasti lelah sekali. Kalau Hilman berjuang demi ibunya yang terkena struk dan kanker. Biaya pengobatannya semua Hilman yang tanggung. Karena ayah dan kakak-kakaknta sudah angkat tangan pergi meninggalkan Hilman dan ibunya. Hidup memang terlihat kejam. Namun, nikmati saja. Karena semua kesedihan tidak akan terus sedih kok. Semua itu akan cepat berlalu. Makanya hanya di sanggarlah Hilman bisa tertawa lepas dan bahagia. Dia pandai menyembunyikan rasa sedihnya. Padahal kalau dipikir, hidup Hilman itu berat. Hanya sebagian orang saja yang tahu rasa sakit yang Hilman rasakan. Anggota sanggar yang lainnya hanya tahu Hilman yang cerita dan ramah. Tidak tahu, kalau sampai di rumah. Hilman adalah anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Hilman yang mengurus ibunya sendiri. Dari mulai memandikan, memakaikan baju sampai memberi makan ibunya. Makanya di sela jeda istirahat. Hilman selalu menyempatkan pulang ke rumah kontrakannya. Untuk mengurus ibunya. "Nyokap kakakapa kabar?" Tanya Nadira hati-hati. Sudah lama juga Nadira tidak menengok ibunya Hilman. "Masih gitu, gitu aja, Ra. Tapi seenggaknya sekarang ibu udah bisa sedikit berbicara. Yah, meskipun masih sulit dimengerti, tapi itu kemajuan yang harus di syukuri," ucap Hilman. Dia memang tegar dan kuat. Bahkan saat menjawab pertanyaan dari Nadira. Hilman tidak terlihat murung dan sedih. Tetap mengatakannya denga santai. "Syukurlah, kapan-kapan gue ke rumah lagi deh. Buat nengok nyokapnya kakak, boleh kan?" Hilman mengangguk sambil tersenyum. "Boleh lah, ibu pasti seneng elo dateng ke rumah. Ya udah yuk kita pulang! Udah malem juga." "Eh mau ke mana?" Tanya Hilman. "Mau pulang, naik busway," ucap Nadira polos. "Ya ampun, Ra. Ini udah jam berapa. Mana ada busway. Udah gue yang anter," ajak Hilman. "Enggak enak ah kak, gue di anterin elo terus," tolak Nadira secara halus. "Udah jangan sungkan. Lagian kita juga searah kan. Gue juga bawa dua helm kok. Jadi enggak usah khawatir lagi di tilang," ucapan Hilman mengundang tawa Nadira. "Hahaha," Nadira dan Hilman tertawa. Mereka berdua memang pernah di tilang. Karena Nadira tidak pakai helm. Sebagai uang damai. Hilman harus menyerahkan uang lima puluh ribu satu satunya yang ada di dompet Hilman, tapi ya sudahlah. Itu jadi pelajaran untuk Hilman. Agar lebih tertib dalam berkendara. Akhirnya Hilman sering membaw dua helm. Kalau-kalau Nadira nebeng lagi. Tidak usah khawatir lagi di tilang lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD