bc

ILUSI

book_age16+
176
FOLLOW
1K
READ
adventure
dark
no-couple
mystery
ambitious
male lead
magical world
supernature earth
horror
like
intro-logo
Blurb

Kembali ....

Mahesa, Margareta adalah orang yang sedang berusaha untuk menata hidupnya kembali. Keduanya meyakini kehidupan baru yang akan dilalui sesudah hari ini akan menjadi kehidupan yang lebih baik.

Namun, niatnya untuk kembali terhalang pusaran badai petir. Membuat definisi ‘kembali” dalam hidupnya menjadi berbeda.

Di sisi lain, Dean seorang blogger dan traveler memaknai arti sebuah perjalanan yang sesungguhnya setelah melalui kejadian-kejadian luar nalar dalam perjalanan ini. Dia juga menemukan arti dari sahabat sejati setelah bertemu dengan Valen.

Petualangan dan rintangan apa yang mereka lalui?

Gambar Cover by Pixabay, Edit Cover and font by Canva

chap-preview
Free preview
1
Setiap orang tua pasti memimpikan punya anak yang sukses, banyak rezeki, selalu dilimpahkan kesehatan oleh Yang Maha Kuasa. Sama halnya dengan kedua orang Tua Mahesa, ketika bayi kecil dengan rambut lebat lahir sang ayah mencetuskan nama Mahesa untuk putranya itu. Nama yang berasal dari bahasa Sanskerta, menurut buku yang Bachtiar—ayah Mahesa—baca nama ini diturunkan dari kata mahaa atau besar dan ishwar yang berarti pemimpin. Nama Mahesa juga kependekan dari Maheswara, panggilan lain dari Dewa Siwa. Bachtiar berharap Mahesa menjadi seorang pemimpin besar sama hebatnya seperti nama yang dia sandang. Namun, kenyataannya tidak begitu, Mahesa belum diberikan kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin seperti yang diharapkan oleh sang Ayah. Lulus dari perguruan tinggi negeri di Surabaya, Mahesa memutuskan untuk merantau, mencari peruntungan dengan mengais nafkah di sebrang Pulau. Hingga saat ini, lelaki itu terlanjur terpikat dengan tempat di mana dia berpijak kini. Meninggalkan keping kenangan yang telah disusun Ibunda sejak lelaki itu pertama kali menghirup oksigen hingga memutuskan untuk merantau. Mahesa bukanlah pria tampan dengan pahatan rahang bak dewa-dewa. Tidak ada hidung mancung dan tatapan tajam yang membuat kaum hawa terpikat. Dia pria bertubuh gempal, dengan rambut yang selalu diikat. Pakaiannya sederhana, denim lusuh dan oblong polos adalah favoritnya. Impiannya banyak, dia ingin membangun kerajaan bisnis di sini. Sudah banyak rencana yang berputar-putar memenuhi kepalanya, hanya saja, telepon dari Surabaya minggu kemarin menghancurkan rencana yang dia susun dengan penuh tekad. “Pulanglah, Nak. Ibu butuh kamu di sini.” Suara wanita yang paling dia kasihi itu begitu lirih. Dia kalah telak. Benar kata Ibunya. Membangun impian bisa di mana saja. Mahesa tidak mau penyesalan kehilangan orang tua dia rasakan kembali. Kala itu, sang Ayah pergi saat Mahesa naik gunung bersama teman-temannya. Padahal sebelumnya sudah diperingatkan untuk tetap di rumah, menemani ayah yang mengeluh sakit di bagian d**a. Mahesa menutup buku. Ini adalah catatan terakhir yang dia torehkan di kota Balikpapan. Mahesa jatuh cinta pada kota itu sejak dia duduk di Sekolah Menengah Pertama. Legenda tentang asal usul kota tersebut telah membawa lelaki berambut ikal itu menyebrangi lautan. Meninggalkan tanah Jawa. Tanah tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Sayangnya, keadaan sang ibu yang mulai sepuh memaksa Mahesa untuk pulang ke Surabaya. Kiriman uang setiap bulan tidak cukup membuat sang ibu bahagia. Bukan itu yang diinginkan oleh wanita tua itu. Dia ingin Mahesa berada di dekatnya, meninggalkan tanah kelahiran Suku Pasir Balik. Pandangannya menyapu kamar yang dia sewa, lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu meninggalkan poster gitaris Band ternama sebagai kenang-kenangan. Lantas dia bergegas membawa tas pakaian peninggalan sang Ayah serta sebuah gitar tua yang selama ini menemaninya di kala sepi. Pelabuhan adalah tujuannya, uang yang dia tabung lebih dari cukup untuk membeli tiket pesawat. Hanya saja, lelaki itu ingin menikmati aroma asin lebih lama lagi. “Jangan lupa sama kami,” ujar salah seorang teman penghuni indekos berdinding kayu tersebut. Mahesa tersenyum kecut, mana mungkin dia melupakan tempat ini. Sudah terlalu banyak kenangan yang dia torehkan baik di buku agendanya mau pun di hatinya. Di tempat ini, Mahesa mengenal apa itu cinta. Tempat ini juga mengajarkan kepadanya tentang rasa sakit. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk mengukir kenangan. Jika ditanya bagaimana perasaannya maka Mahesa akan menjawab hal ini sangatlah berat untuknya. “Mahesa, daripada susah-susah, kau hibahkan saja lah gitarmu itu.” Pras, teman lain yang berasal dari Medan meminta gitarnya. Mahesa bergeming, ditatapnya gitar yang dibungkus tas lusuh. Tas yang entah kapan terakhir kalinya bersentuhan dengan air. “Di Surabaya nanti, kau bisa beli lagi yang baru. Anggap saja itu gitar kau simpan sebagai kenangan untuk kami. Biar setiap kami memetik senarnya, kami ingat suaramu yang merdu seperti Bang Tulus itu.” Pras melanjutkan, lelaki berwajah kalem itu berusaha meluluhkan hati Mahesa agar meninggalkan gitarnya. Bisa mati kesepian mereka semua tanpa gitar yang senantiasa menghibur dari malam ke malam. Mahesa tersenyum, benar juga. “Jaga dia untukku,” ujarnya lirih. “Aku jadi nangis, Mahesa.” Luki menghapus air matanya sendiri. Lalu drama perpisahan pun  terjadi, tangisan bersahutan membuat Mahesa semakin nelangsa. Jika boleh memilih dia akan tinggal lebih lama lagi. Sayang, sang Ibu yang tidak memiliki anak lagi enggan dibawa hijrah ke pulau Borneo ini. “Sampai jumpa lagi, kawan, kelak aku akan kembali untuk mengunjungi kalian, lagipula zaman canggih begini kita masih bisa komunikasi lewat Video Call.” Kelopak matanya mengerjap-ngerjap seiring langkahnya yang menjauhi tempat itu. Waktu jualah yang akhirnya memisahkan mereka. Air mata yang sengaja dia tahan akhirnya jatuh juga, sengaja dia tidak menangis di depan teman-temannya. Langkahnya terhenti kala seorang kakek tua mencegah langkahnya. Lelaki yang jarang menggunakan atasan itu menatap dengan sendu. Seakan ini adalah pertemuan terakhirnya. Mahesa memeluknya, saking kurusnya pria tua itu membuat Mahesa bisa merasakan tulang-tulang sang Kakek. “Jangan pergi, Nak. Atau pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhir kita.” Mahesa tidak dapat menjawab pernyataan Kakek Zumi. Dia mengeratkan pelukan. Lelaki di hadapannya sudah hampir berusia 95 tahun. Sudah tentu ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Manusia tidak akan hidup selamanya, jika bukan lelaki tua itu yang duluan menghadap Tuhan berarti dirinya. Itu sudah hukum alam. Tidak bisa ditolak. “Ibu saya sendirian, dia sudah tua dan sakit-sakitan.” Mahesa melepas pelukan Kakek Zumi. Dari kejauhan teman-teman satu Indekos Mahesa menyaksikan peristiwa itu dengan perasaan berbeda-beda. “Bawa ini, pakailah dan kamu akan terbebas dari malapetaka.” Mahesa tersenyum berterima kasih. Dia menerima benda itu sebagai tanda penghormatan saja. Tidak ada mitos dalam hidupnya, jimat atau apa pun itu hanyalah benda tidak berguna yang membodohi manusia. “Saya pamit, sehatlah selalu, semoga takdir mempertemukan kita kembali.” Ojek yang dia sewa untuk mengantarkan sudah menunggu untuk mengantarkannya ke pelabuhan. Sepanjang perjalanan pepohonan berjejer seperti berlarian mengerjar Mahesa. Angin seakan menampar-nampar wajahnya yang tidak ditutupi kaca Helm. Ingatannya seperti sedang berpesta, antara Balikpapan dan Surabaya. Wajah kakek Zumi di Balikpapan membuat dia enggan pergi, meski lelaki tua itu bukan siapa-siapa dan wajah teduh sang Ibu yang tengah menunggunya di Surabaya membuatnya ingin bergegas. Plin plan? Lebih tepatnya dia bimbang. Setelah dua jam, sepeda motor yang mengantarnya akhirnya tiba di Pelabuhan. Riuh, itulah suasana yang dia rasakan. Kapal yang akan dia tumpangi masih belum bersandar, dia hanya mengamati calon penumpang dengan wajah yang berbeda. Aroma air laut membuatnya terbuai, dengan gawainya yang tidak seberapa canggih Mahesa berkali-kali mengabadikan suasana di sekitarnya. Sosok gadis berambut panjang dengan wajah ketus tertangkap kamera, meski tidak jernih gambar yang dia ambil cukup jelas. Lelaki itu tersenyum kemudian berubah salah tingkah kala iris matanya bersirobok dengan iris mata kecoklatan milik sang gadis. Karena panik, Mahesa yang menghindar menjauh menubruk lelaki tua berseragam. Sepertinya salah satu awak kapal atau petugas pelabuhan, lekas-lekas Mahesa meminta maaf. Tidak ingin lebih jauh membuat kesalahan Mahesa memilih duduk. Menunggu kapal bersandar. Petugas berwajah masam yang tadi Mahesa tubruk menatapnya lekat. Mahesa menyadari itu. Refleks, Mahesa menyentuh kalung yang diberikan oleh Kakek sebelum dia pergi. Entah apa hubungannya, yang pasti Mahesa merasa sesuatu akan terjadi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.8K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.8K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook