Perceraian.

1901 Words
Sepasang suami istri itu masih berbanjir peluh usai persatuan raga yang mereka di siang menjelang sore hari itu, Gumilar menutup tubuh polosnya dengan selimut sebatas d**a lalu berbaring bersandar pada sang suami yang juga berbaring dengan berbantal lengan yang ia tekuk, lelaki itu menatap langit langit lalu saat kedua mata itu terpejam kembali berbayang semua hal yang baru saja membuat dua insan saling mencintai itu kelelahan dan sebuah kenikmatan. "Mas, akhir akhir ini mas jadi tambah romantis, pulang kerja selalu minta jatah," kata Gumilar sambil memainkan jemarinya di atas d**a sang suami yang banyak di tumbuhi bulu bulu halus, Nurhan tersenyum Sambil mengelus kepala sang istri memainkan rambutnya yang tergerai sedikit berantakan. "Kenapa, to, kamu nggak suka? itu kan tandanya aku cinta sama kamu, aku semakin tergila gila sama kamu," jawab Nurhan sambil mengecup kening sang istri. "Ya nggak apa apa, Mas, aku suka sekali. Sebagai seorang istri kan memang sudah jadi kewajiban aku buat melayani kamu kapanpun kamu mau. Aku juga bahagia sekali karena itu artinya cinta kamu sama aku masih sekuat dulu walau kita sudah lama menikah," kata Gumilar, wanita itu mendongakkan kepalanya agar bisa menatap wajah tampan sang suami. "Kamu ngomong begitu seolah olah cinta aku bisa luntur, Sayang, padahal cinta aku sama kamu nggak akan pernah bisa luntur," jawab Nurhan, sepasang suami istri itu saling tatap dengan senyum yang menghiasi wajah masing masing. "Aku tuh takut loh, Mas, kamu kan setiap hari ke luar. ketemu banyak orang, aku takut kalau kamu kepincut wanita lain, tapi ngeliat kamu yang semakin romantis aku jadi tenang," kata Gumilar, wanita itu ndusel semakin dalam ke pelukan sang suami. tempat ternyaman baginya, Nurhan mengulum senyum mendengar apa yang istrinya katakan. "Ndak mungkin lah aku kepincut wanita lain Sayang, kalau di rumah aku udah punya seorang bidadari," kata Nurhan Sambil mengeratkan pelukannya, kini kedua tangan lelaki itu ia gunakan untuk mendekap tubuh sang istri di dalam selimut yang menutupi. Gumilar tidak menanggapi ucapan sang suami hanya sebuah senyuman bahagia sebagai gambaran rasa syukur dalam hati. "Tadi Galuh ke sini? Mas liat boneka di ruang tamu," tanya Nurhan yang sempat melihat beberapa boneka yang mereka sengaja beli untuk Galuh di atas sofa. "Iya, tadi dia sama Tari ke sini, pas Mas pulang mereka baru aja pulang," jawab Gumilar yang jadi teringat sesuatu karena sang suami menanyakan hal itu. "Oh iya, Mas aku jadi inget, tadi Tari bilang kalau dia mau gugat cerai suaminya, dia udah nggak bisa bertahan lagi," kata Gumilar tanpa menatap sang suami yang tampak tercengang, wanita itu kembali sibuk memainkan bulu bulu di d**a sang suami. "Ya sudah lah kalau keputusannya sudah bulat, kita hanya perlu mendukungnya. Tari kan sudah dewasa pasti dia bisa memilih yang terbaik," jawab Nurhan singkat, lelaki itu memang sudah mengetahui apa yang terjadi dalam rumah tangga sepupu istrinya itu karena Gumilar selalu menceritakan apapun yang dia tahu pada sang suami. Gumilar adalah istri yang terbuka karena ia tahu sang suami adalah orang yang bisa di percaya. "Mau ke mana?" tanya Nurhan saat merasakan sang istri beringsut melepaskan pelukan saat lelaki itu tengah memejamkan mata dengan pikiran yang terbang melayang entah ke mana. "Mau mandi, terus masak buat makan malam kita," jawab Gumilar sambil menatap wajah sang suami dengan tubuh yang sudah setengah terbangun, wanita itu menggunakan satu tangannya untuk menopang tubuhnya. "Nanti aja, nanti Mas bantuin masaknya. Mas mau sekali lagi," kata Nurhan membuat sang istri mendelik kemudian tersenyum. "Aaahhh, Mas!" Gumilar terpekik kaget saat sang suami kembali menariknya dalam pelukan. Gumilar kembali melayani sang suami dengan senang hati seolah bunga bunga cinta terus bermekaran di hati mereka. *** "Aakkhh ... jadi kamu udah nggak mau ngelayanin aku lagi!" geram seorang laki laki sambil mendorong tubuh sang istri menjauh darinya, bukannya sudah tidak mau melayani tapi hati itu sudah tidak hadir lagi dalam persatuan mereka hingga semuanya terasa hambar tanpa rasa bahkan sangat memuakkan. "Aku emang udah nggak bisa Mas, aku nggak bisa hidup begini terus. Sekarang aku tanya sama kamu, apa alasan kamu nyentuh aku?" tanya Betari sambil menatap wajah sang suami, meski hanya temaram lampu tidur yang menerangi kamar mereka tapi wanita itu dapat melihat dengan jelas wajah murka lelaki yang sudah menikahinya selama lebih dari tujuh tahun itu. "Ya apa lagi? karena aku pengen dan Kamu Istri aku jadi Kamu wajib buat ngelayanin aku," jawab lelaki bernama Dana itu, ia turun dari ranjang lalu kembali memakai pakaiannya. "Aku tau itu kewajiban aku, tapi ini semua nggak melulu soal kewajiban. Pernah nggak sekali aja kamu mikirin tentang aku? Bukan cuma soal ranjang tapi semua tentang kehidupan kita," jawab Betari meluahkan isi hatinya, bukan untuk pertama kalinya, wanita itu bahkan seolah sudah bosan mengeluh tapi tetap saja tidak pernah menemukan titik terang untuk ketidak nyamannya dalam rumah tangga ini. "Kamu itu selalu aja ngelantur kalau ngomong," bentak Dana sambil menyalakan lampu tapi bukan dengan tekanan pelan melainkan dengan pukulan keras pada saklar lampu, seketika kamar yang cukup luas itu terang benderang menampakan seorang wanita yang hanya menutupi tubuh polosnya dengan selembar selimut. Betari duduk di tengah ranjang sambil menatap Dana yang lalu duduk di sofa yang ada di ruangan itu dengan remote televisi di tangannya, laki laki itu menyalakan benda pipih berukuran empat puluh satu inci yang menempel di dinding. "Aku mau pisah dari kamu, aku udah nggak bisa bertahan jadi istri yang nggak pernah kamu anggap," kata Betari dengan penuh keyakinan, Dana kaget bahkan sampai terperanjat dari duduknya sambil menatap Betari dengan tatapan tajam. "Apa apaan kamu? Rumah tangga kita selama ini nggak berharga buat kamu sampai cuma karena masalah sepele kamu mau kita bercerai?" tanya Dana dengan amarah menguasai d**a. "Aku yang nggak pernah berharga buat kamu, Mas dan jangan kamu bilang masalah ini masalah yang sepele, bagi aku ini masalah besar kamu nggak pernah nganggep aku layaknya seorang istri," jawab Betari sambil menatap sang suami tidak kalah tajamnya. "Apa pernah sekali aja aku hidup layaknya seorang istri di rumah ini? rumah kamu, rumah suami aku sendiri kalau satu aja perabotan di rumah ini enggak ada yang pilihan aku, bahkan posisi naruh pot bunga juga aku nggak boleh nentuin semua ibu dan adik adik kamu yang ngatur," jawab Betari, bukan hanya sekali ini keluhan itu keluar dari mulut Betari tapi tidak pernah sekali pun sang suami membelanya. "Jadi masalah itu lagi? cuma karena masalah sepele begini Kamu minta cerai?" tanya Dana yang dengan emosinya kembali duduk di sofa, tentu saja tatapan garang masih dia tujukan pada sang istri, "harusnya kamu berterima kasih sama mereka, mereka bantu kamu ngurus rumah, ngurus Galuh. Aku nggak nyangka kamu perempuan yang nggak tau terima kasih!" Betari terdiam meredam emosi sambil meremas selimut yang menutupi tubuhnya, harus berterima kasih untuk apa dirinya? Untuk menjaga Galuh selama dirinya mengajar di sebuah sekolah menengah pertama mungkin memang iya tapi untuk membantu membereskan rumah tentu saja tidak. Setiap kali Betari pulang bekerja wanita itu masih harus berjibaku dengan segala pekerjaan rumah. "Ini bukan cuma tentang ngatur rumah, tapi tentang aku yang nggak pernah di posisi kan sebagai seorang istri Mas, selama pernikahan kita apa pernah kamu jujur sama aku soal keuangan? Apa pernah kamu percaya sama aku?" tanya Betari, memang benar selama mereka berumah tangga Dana masih seperti anak kecil yang semua serba ibu bahkan untuk penghasilannya saja semua dia serahkan pada ibunya. "Oh, jadi ini masalah uang? kamu ngerasa hebat karena bisa cari uang sendiri jadi kamu nggak pernah menghargai uang yang ibu kasih? gitu?" Itulah Dana selalu berusaha memutar balikkan fakta hingga selalu sang istri yang tampak salah. "Aku udah berkali kali bilang ini bukan hanya masalah nominal uangnya, tapi masalah kamu nganggep aku sebagai istri atau nggak. Aku nggak pernah ngerasa kalau kamu nganggep aku istri, jadi lebih baik sekarang aku beneran nggak jadi istri kamu lagi, aku udah nggak tahan, Mas!" kata Betari, wanita itu menghempas selimut yang menutupi tubuhnya lalu turun dari ranjang dan mengenakan pakaiannya. "Kamu bener bener jahat, Tari kamu keterlaluan. kamu pengen aku jadi anak durhaka dengan nggak ngasih ibu dan adik adik aku uang gitu?" kata Dana yang sudah berdiri sambil menatap Betari yang tengah mengenakan pakaiannya, wanita itu menarik napas dalam dalam berusaha meredam emosi yang semakin memuncak. "Mas, gimana sih caranya bikin kamu ngerti kalau ini bukan hanya soal uang! Rumah tangga kita ini memang udah bener bener nggak sehat, kayaknya kamu emang belum bisa buat berumah tangga. Kayaknya cuma kamu yang bahkan masalah ranjang aja kamu omongin sama ibu kamu, masa karena aku nggak bisa muasin kamu di ranjang belakangan ini ibu kamu marah marahin aku! Kalian bener bener udah nggak waras!" kata Betari dengan penuh emosi, ucapan Betari berganti dengan sebuah pekikan saat sebuah tamparan mendarat di pipinya. "Oh sekarang kamu mukul juga? jadi itu yang diajarkan ibu kamu?" tanya Betari sambil memegangi pipinya yang masih terasa panas karena tamparan sang suami, Dana terlihat begitu emosi menatap sang istri, "aku jadi semakin yakin buat cerai dari kamu!" "Silakan, kamu boleh gugat cerai aku, kita akhiri rumah tangga ini. Aku juga nggak mau punya istri pembangkang kayak kamu! Aku ceraikan kamu, dan sekarang keluar dari rumah aku, jangan bawa satupun barang yang aku beliin buat kamu!" Kata Dana sambil menunjuk pintu kamar meminta sang istri untuk pergi. "Oh, dengan senang hati, emang nggak ada satu pun barang yang bisa aku bawa karena kamu nggak pernah beliin apa apa buat aku!" jawab Betari sambil mengambil kunci motornya di atas meja. "Jangan bawa motor itu," kata Dana datar sontak saja membuat kedua mata Betari mendelik. "Kita patungan beli motor ini," jawab Betari tidak terima. "Tapi motor itu atas nama aku," jawab Dana dengan senyum miringnya. "Dasar gila!" maki Betari sambil melempar kunci motor itu ke arah Dana lalu bergegas ke kamar sang putri. Rasanya tidak tega Betari membangunkan sang putri yang sudah begitu terlelap dalam tidurnya, tapi bagaimana pun tidak mungkin bisa wanita itu meninggalkan sang putri. "Galuh, bangun, Nak," kata Betari dengan lembut wanita itu mengelus wajah sang putri sambil menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ibu, ada apa, Bu. Kok bangunin Galuh?" tanya gadis kecil itu, Betari mencoba tersenyum agar sang putri tenang dan tidak curiga sesuatu yang buruk sedang terjadi. "Sayang, kita ke rumah eyang putri, yuk, kita nginep di sana," ajak Betari pada sang putri, Galuh tersenyum lebar lalu bangun dari rebahannya dengan penuh semangat. "Ayo, Bu, tapi kenapa nggak dari sore aja sih kita ke sananya," jawab Galuh dengan gembira, gadis itu selalu senang jika menginap di rumah orang tua Betari. Rumah Dana adalah sebuah perumahan yang berada lumayan jauh dari desa orang tua Betari, dengan sepeda motor setidaknya memerlukan waktu dua puluh menit untuk mencapainya. "Buk, kenapa nggak minta di anter ayah aja, sih kalau motor ibu mogok," tanya Galuh yang berjalan dengan tangan di gandeng sang ibu sementara Betari sibuk mengutak-atik ponsel, aplikasi ojek online yang ia buka tidak bisa memberikan solusi. "Nggak bisa, Ayah kamu udah tidur," jawab Betari karena memang sampai mereka keluar dari rumah pun Dana sama sekali tidak keluar dari kamar, "eyang Kakung juga kayaknya udah tidur, hapenya nggak aktif." "Terus kita mau jalan, Bu? Galuh takut," kata gadis kecil itu, mereka baru berjalan sampai depan kompleks dan tempat itu begitu sepi karena memang waktu yang sudah hampir tengah malam. "Bentar, ibu telpon Budhe Gumilar dulu," kata Betari dengan tenang, Galuh menganggukkan kepala lalu memeluk sang ibu. Tidak begitu lama nada sambung terdengar, Betari tersenyum mengetahui panggilannya terjawab. "Iya, Tari. Ada apa malem malem nelpon, Mbak kamu udah tidur." Ternyata suami Gumilar yang mengangkat panggilan itu. "Mas Nurhan, Mas Nurhan bisa tolongin aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD