bc

Diakah Maduku?

book_age18+
2.2K
FOLLOW
16.1K
READ
family
HE
fated
tragedy
bxg
affair
like
intro-logo
Blurb

Seorang wanita memang memiliki hati seluas samudera. Namun, apakah hati seorang wanita yang luas itu mampu menampung datangnya seorang madu?

Kesabaran seorang wanita memang tiada batasnya. Namun, apakah kesabaran itu cukup untuk menerima hadirnya seorang madu?

Bacalah cerita ini jika hatimu cukup kuat untuk ikut merasakan luka itu tapi jika hatimu belum cukup kuat maka belajarlah dari wanita yang sedang diberi seorang madu dalam cerita ini.

chap-preview
Free preview
Persahabatan sejak lahir
"Kamu yakin, Tar? Mbok, ya, di pikir dulu," kata seorang wanita dengan lembut seperti karakternya selama ini, pandangannya teduh menatap wanita lain yang sedang meluahkan isi hatinya. Bukan hanya karena dirinya memang lembut, tapi karena memang apa yang sedang di dengarnya cukup membuat hati trenyuh. "Aku udah mikir, ratusan bahkan ribuan kali, Mbak," jawab wanita berambut panjang yang di kuncir kuda kekeh dengan keputusannya. "Kamu nggak kasian sama, Galuh?" tanya wanita berambut ikal terurai sambil menatap seorang bocah yang sedang bermain dengan bonekanya tidak jauh dari mereka, seolah mencoba menawar sebuah keputusan dengan menunjukkan sebuah hati yang harus di jaga. "Karena aku kasian sama Galuh, aku bertahan sampai sejauh ini. Tapi ternyata itu malah bikin aku semakin sakit. Mempertahankan dua hati yang sudah lama enggak menyatu ternyata malah bikin hati itu terasa semakin sakit, Mbak," jawab wanita berkuncir kuda, wanita berwajah oval dengan senyum manis di hadapannya menghela napas berat. "Betari, Mbak ngerti perasaan kamu, Mbak tau kamu tersiksa selama ini," kata wanita berambut tergerai itu. "Nggak, aku rasa Mbak Gum nggak ngerti. Kata orang cuma orang yang mengalami hal yang sama saja yang bisa saling memahami, pernikahan Mbak Gumilar beda sama pernikahanku," jawab wanita itu lirih. "Mungkin aku emang nggak pernah berada di posisi kamu, tapi kamu harus ingat. Kita bersaudara dan bersahabat sejak kita lahir, cuma aku yang paling mengerti kamu." Wanita berkuncir kuda itu tersenyum lalu memeluk saudara sekaligus sahabat yang duduk di sebelahnya dengan erat. Betari Garwita dan Gumilar Candramaya adalah dua orang wanita yang bersahabat bahkan sejak mereka sejak bayi, mereka bahkan belajar merangkak dan berjalan bersama. Persahabatan itu juga di perkuat dengan hubungan mereka yang masih berkerabat. "Iya, tapi sayangnya aku nggak seberuntung Mbak Gumilar. Mbak Gumilar menikahi lelaki yang tepat sementara aku?" Gumilar mendengarkan keluh kesah Betari dengan wajah prihatin, meski dalam hatinya tetap bersyukur karena apa yang Betari katakan benar, "Mbak Gum punya Mas Nurhan yang luar biasa sayang sama istri, selalu menjadikan istri sebagai prioritas utama. Mbak Gum juga punya ibu mertua yang baik, sayang banget sama Mbak Gum selalu nganggep Mbak Gum seperti anak sendiri, sementara aku?" "Tar, kunci kebahagiaan seseorang adalah tidak membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain, dalam hal itu aku memang mungkin lebih beruntung, tapi kamu harus inget kamu punya Galuh sedangkan aku?" Seolah sedang berlomba meratapi ketidak beruntung kedua wanita itu lalu kembali saling memeluk untuk saling menguatkan. "Ibu sama Budhe peluk pelukan terus udah kayak Teletubbies aja!" kata seorang gadis kecil sambil berjalan mendekati mereka, Gumilar dan Betari tersenyum geli. "Masa Ibu sama Budhe Gumilar yang cantik ini di samain sama Teletubbies, sih, Nduk!" sahut Betari atas kata kata sang putri, wanita itu lalu menarik gadis kecil itu ke dalam pelukannya. "Abis yang suka pelukan kan Teletubbies, Buk," jawab Galuh sambil tertawa kecil. "Yo wes, kalau gitu sekarang kita pelukan bertiga. Biar lebih mirip Teletubbies," sahut Gumilar yang lalu memeluk Betari dan putrinya. Mereka menikah dalam waktu yang tidak berselang lama, hanya saja Gumilar tidak seberuntung Betari dalam hal buah hati karena hingga putri semata wayang Betari hampir berusia tujuh tahun Gumilar belum memiliki seorang keturunan. Namun, seperti yang tadi Betari bilang kalau Gumilar lebih beruntung dalam hal pasangan, buktinya selama ini rumah tangga Gumilar selalu adem ayem sementara rumah tangga Betari selalu dalam prahara. "Buk, ayo pulang. Galuh kan sebentar lagi ngaji," ajak Galuh pada sang ibu, mereka memang sedang bertandang ke rumah Nurhan suami Gumilar di mana lelaki itu memboyong sang istri setelah menikah. Desa itu tidak begitu jauh dari desa kelahiran Gumilar dan Betari hanya berjarak lebih kurang dua kilo meter tidak ada tiga puluh menit jika di tempuh dengan sepeda motor. "Ayo, kita pulang, salim dulu sama Budhe Gum terus pamitan sama Eyang Sari," kata Betari pada sang putri. "Budhe aku pulang dulu, ya," kata Galuh sambil mencium punggung tangan Gumilar. "Iya, Sayang, sering sering main ke sini, ya," jawab Gumilar sebelum mencium kedua pipi gembil Galuh yang berkulit putih, kehadiran keponakannya itu memang sedikit bisa mengobati kerinduannya pada hadirnya buah hati, tidak heran Gumilar sering mengajak gadis kecil itu bermain ke rumahnya meski tanpa kehadiran sang ibu. Baik Gumilar ataupun Nurhan begitu menyayangi Galuh dan menganggap Galuh seperti putri mereka sendiri. "Aku pamit sama Eyang Sari dulu," kata Galuh sambil berlari kecil mencari wanita paruh baya ibunda Nurhan atau ibu mertua Gumilar. Wanita yang sudah menganggap Gumilar seperti putri kandungnya itu memang tinggal di rumah lamanya, rumah masa kecil Nurhan dan kakak kakaknya. Nurhan membangun rumah mungil tepat di sebelah rumah sang ibu, sebagai anak bungsu Nurhan tidak ingin tinggal jauh dari orang tuanya. "Tar, aku selalu dukung semua keputusan kamu, aku cuma pengen yang terbaik buat kamu dan Galuh. Tapi, kamu juga harus bicarain ini sama Pak lek dan Bu lek ya, mereka orang tua kamu, jadi mereka harus tau semuanya," kata Gumilar saat mengantar Betari sampai teras rumahnya. "Iya, Mbak, nanti aku bicara baik baik sama ibu dan bapak. Aku pulang dulu, ya, Salam buat Mas Nurhan," pungkas Betari, wanita itu lalu menyalami Bu Sari yang sedang berada di teras rumahnya bersama Galuh, Gumilar ikut ke sana. Gumilar dan sang ibu mertua melambaikan tangan pada Galuh yang terlihat ceria hingga sepeda motor yang Betari kendarai meninggalkan halaman rumah mereka. "Ibu tuh seneng liat persahabatan kamu sama Tari, Nduk. Dari dulu nggak pernah ibu liat kalian marahan," kata Bu Sari memuji kerukunan Gumilar dan Betari, Gumilar tersenyum lalu duduk di sebelah ibu mertuanya. "Iya, Bu, kita kan udah sama sama dari kecil. Lah wong Mbah buyut kita sama," jawab Gumilar sambil tersenyum lebar, "walaupun Betari lahir satu bulan lebih dulu dari aku, tapi karena nenekku kakaknya neneknya Betari jadi tetep Betari yang manggil aku Mbak." "Tapi, ibu liat liat, Betari tuh kayak ada masalah, yo, Nduk. senyumnya itu loh kayak berat mengandung beban," kata Bu Sari, memang hati wanita selalu sensitif jika mengenali sebuah perasaan. "Betari mau cerai, Bu," jawab Gumilar menceritakan apa yang sedang sahabatnya itu rencanakan, kedatangan Betari kali ini adalah untuk menceritakan tentang rencananya menggugat cerai sang suami. "Loh, kenapa? Kok sampai mau cerai apa ndak kasian sama Galuh?" tanya Bu Sari menyayangkan. "Betari tersiksa sama sikap suaminya selama ini, Bu, sama ipar iparnya, sama ibu mertuanya juga. Betari nggak pernah ngerasa di anggep penting dalam kehidupan suaminya, dalam semua hal suaminya selalu lebih mengutamakan keluarganya. Masa gajian aja semuanya ibunya yang pegang, Bu, selama ini yang ngasih uang Betari itu ya ibu mertuanya. padahal yang nyari nafkah kan Dana, suaminya Betari. Untung Betari kerja jadi bisa menuhin kebutuhan hidupnya sama Galuh," kata Gumilar memberitahu sang ibu mertua sedikit keluhan yang membuat Betari tidak bisa bertahan di antara banyaknya keluhan lain, kurangnya perhatian sang suami salah satunya. Bu Sari menghela napas berat mendengar apa yang menantunya itu katakan. "Itu tuh kayaknya kayaknya karena suaminya Betari orang Sunda. Walaupun mereka udah lama tinggal di jawa tetap aja mereka keturunan Sunda," kata Bu Sari menyanyangkan. "Ih, kok ibu jadi bawa bawa suku sih, apa hubungannya," sahut Gumilar sambil tertawa kecil. "Kamu, Gum, nggak percayaan. Kan ada mitosnya kalau perempuan jawa nggak boleh menikah dengan laki laki Sunda, nggak bakalan awet atau hidup mereka susah. Nanti kalau Betari nikah lagi harus sama orang Jawa," kata Bu Sari membuat sang menantu semakin tertawa geli. "Jawa, Sunda atau suku lain sama aja, Bu, kita doain aja Betari mendapatkan yang lebih baik," kata Gumilar penuh harap, Bu Sari mengangguk setuju. Kedua wanita itu menatap sebuah mobil hitam yang baru saja memasuki halaman rumah. "Nurhan baru pulang?" tanya Bu Sari pada sang menantu. "Iya, Buk, Mas Nurhan baru dari kota Ketandan survei lokasi buat buka cabang baru itu loh," jawab Gumilar dengan senyum sempringahnya menyambut sang suami yang berjalan mendekati mereka setelah turun dari mobilnya. "Jan gantengnya anakku," puji Bu Sari pada putra bungsunya itu. "Ganteng dong, Buk, suami aku," sahut Gumilar bangga membuat Nurhan terkekeh melihat tingkah istri dan ibunya itu. "Kalian ini apa apaan toh," kata Nurhan sambil tertawa sebelum mencium punggung tangan sang ibu lalu memberikan punggung tangannya untuk Gumilar cium. "Gimana, surveynya Mas?" tanya Gumilar antusias. "Lancar, dong, berkat doa kamu dan ibu. Bulan depan kita udah bisa mulai pembangunan pabrik dan gudangnya sekalian," jawab Nurhan membuat kedua wanita di hadapannya tersenyum gembira. Nurhan adalah seorang pengusaha tekstil, menjalankan beberapa konveksi dan batik untuk kebutuhan dalam dan luar negeri, usahanya cukup sukses untuk seorang pengusaha muda sepertinya. Awal menikah dulu, usaha itu belum sebesar sekarang hingga Gumilar masih menjalankan profesinya sebagai guru di sebuah sekolah menengah pertama lalu setelah beberapa tahun usaha Nurhan meraih kesuksesan Nurhan melarang sang istri untuk bekerja dan membantunya menjadi bendahara dalam usaha. "Alhamdulillah, berkah selalu ya, Nak," sahut Bu Sari sambil mengelus lengan sang putra. "Doain kita terus ya, Bu," pinta Nurhan, Bu Sari menganggukan kepalanya. "Ya udah, Aku istirahat dulu, ya, Bu," pamit Nurhan pada sang ibu, lelaki itu lalu menggandeng tangan sang istri dan mengajak Gumilar ke rumahnya. "Mas mau teh atau kopi?" tanya Gumilar pada sang suami yang berjalan di belakangnya, wanita itu lalu menoleh karena Nurhan tidak langsung menjawab. "Mas, mau apa?" tanya Gumilar sekali lagi pada lelaki yang tengah tersenyum menatapnya. "Mau kamu!" jawab Nurhan yang lalu menarik pinggang ramping sang istri ke dalam dekapan dan memberikan ciuman bertubi tubi di kening, kedua pipi dan bibirnya. "Mas ..." Gumilar menggeliat sambil tertawa kecil karena Nurhan memeluknya semakin erat. "Mas kangen, Sayang," kata Nurhan sembari mengeratkan pelukannya lalu mengulum bibir sang istri. "Mas, ntar ada yang liat," protes Gumilar setelah menjauhkan wajahnya dari wajah sang suami saat merasakan gerakan tangan sang suami sudah mulai menggerilya nakal di bawah tubuhnya seolah tidak sadar mereka masih berada di ruang tamu. "Ayo ke kamar," titah Nurhan sambil melangkah tanpa melepaskan pelukannya lelaki itu kembali menyatukan bibirnya dan sang istri bahkan semakin dalam penuh tuntutan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

My Secret Little Wife

read
94.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook