Chapter 2

1201 Words
“Besok ulang tahun Wita. Datanglah. Aku membawakan undangannya,” ucap Kevan seraya meletakkan undangan tersebut di atas meja. “Tidak sekalian kau berikan undangannya besok saja?” sindir Ananta. Kevan pun terkekeh. “Aku banyak jadwal operasi jadi lupa memberitahu. Wita juga sedang sibuk-sibuknya. Maaf, harap maklum.” Ananta sudah tidak heran dengan dua sahabatnya itu. Kevan dan Wita, pasangan suami istri yang bisa dibilang suka bersikap seenaknya sendiri kepada Ananta. “Kau sudah makan? Aku bawa dua porsi.” “Sudah terlalu sore untuk makan siang,” sahut Ananta. “Ayolah. Temani aku makan. Aku baru selesai rapat untuk persiapan operasi.” Ananta berdecak. Kevan kalau sekalinya muncul, begitu menyebalkan. Sekalinya sibuk, bagai hilang ditelah bumi. “Aku sedang tidak mood,” sahut Ananta. Ananta membuka undangan yang Kevan berikan. “Ngomong-ngomong, kau bisa datang tidak besok?” “Undangannya hanya satu?” tanya Ananta. Kevan menganggukkan kepalanya seraya membuka kotak bekal. Buatan koki di rumah tentunya. Wita sedang tidak ada waktu untuk membuatkan bekal. “Memangnya kau ingin mengajak orang lain?” tanya Kevan. Kevan sudah cukup paham bahwa meski Ananta sudah menikah, istrinya tidak akan ikut. Kevan dan Wita sudah tahu bagaimana permasalahan rumah tangga Ananta. Pernikahan kontrak. Jadi mereka hanya bisa memaklumi saja. Karena Ananta terdiam, Kevan langsung menatapnya Ananta dengan ekspresi kaget. “Kau mau ajak orang? Siapa? Sarah?!” Ananta bahkan belum menjawab tapi Kevan sudah langsung bicara. “Dia sudah dapat undangan. Tapi maaf Ananta. Aku tidak terima kalau kau datang bersama dia.” Sudah bukan rahasia umum kalau Sarah dan Ananta cukup dekat. Bagi Ananta mereka hanya sebatas berteman tapi bagi orang-orang yang melihat interaksi mereka, menganggap hubungan mereka lebih dari itu. Khusus bagi Kevan dan Wita, meski mereka tahu pernikahan Ananta itu pernikahan kontrak. Tetap saja mereka tidak mendukung pergerakan hubungan antara seorang perempuan dengan lelaki beristri. “Bukan. Aku ingin coba ajak Mira,” sahut Ananta. Kevan langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Ananta. “Serius? Apa dia mau datang?” tanya Kevan penasaran. *** Ananta tiba di rumah pukul delapan malam. Awalnya ia cukup cemas dengan kemungkinan begitu tiba, Mira sudah tidak ada di rumah. Akan tetapi saat ia menelpon pelayan di rumahnya, rasanya begitu lega karena Mira masih ada di rumah. Sehingga Ananta tidak bisa berhenti tersenyum semenjak perjalanan pulang. Ia melangkah memasuki rumah dengan perasaan riang. Begitu sampai di meja makan, Mira sudah menunggu disana. “Maaf aku sedikit terlambat. Ada pasien darurat tadi.” Mira hanya mengangguk. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Ananta. “Sudah lebih baik. Terima kasih untuk obatnya,” ucap Mira. Ananta kemudian mulai mengambil nasi. Melihat Mira yang masih tetap berada disini, Ananta bertanya-tanya apakah perempuan itu setuju untuk tinggal disini lagi. Begitu banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan namun Ananta memilih untuk tidak membahasnya sekarang. “Aku sudah minta pelayan membereskan kamar. Sesuai perintahmu, aku akan tinggal disini lagi.” Gerakan Ananta terhenti. Ia menatap Mira. “Kita tidur di kamar terpisah?” tanya Ananta. Mira mengangguk. Ananta kemudian segera lanjut mengambil lauk. Ia senang melihat menu kesukaannya. Apalagi pelayan bilang kalau Mira yang menyuruh agar memasak ini. Mengenai keputusan Mira untuk tinggal di kamar terpisah, tidak masalah. Asal mereka bisa tinggal satu rumah lagi. *** Terdengar suara pintu yang diketuk. Mira menghela napasnya. “Siapa?” “Aku.” Terdengar suara Ananta. Mira sedang merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil memangku laptop. Memeriksa apa saja yang dirinya lewatkan hari ini. “Masuk,” ucap Mira saat Ananta kembali mengetuk pintu. Lelaki itu masuk dengan kondisi sudah mengenakan piyama tidurnya. Mira hanya melirik sekilas dan kemudian kembali fokus pada laptop. Tidak tertarik dengan apapun yang membuat Ananta datang kemari. “Sudah minum obat?” tanya Ananta. “Sudah. Kau tidak perlu khawatir.” “Kamu juga sudah tidak sepucat tadi. Sepertinya memang sudah lebih baik.” Ananta kemudian melirik laptop Mira. “Seharusnya jangan bekerja dulu.” “Aku harus rajin bekerja supaya perusahaanku bisa cepat stabil.” “Kalau begitu seharusnya kau tidak mengambil keputusan bodoh sampai keracunan alkohol kemarin.” Mira menghentikan kegiatannya dan kemudian menatap Ananta. Ia sungguh tidak berminat untuk berdebat sekarang. “Apa yang sebenarnya membawamu kemari?” tanya Mira. “Besok malam sahabatku ulang tahun. Datanglah.” “Bukankah aku sudah pernah bilang kalau aku tidak tertarik sedikit pun dengan duniamu.” Ananta pun berdecak sebal. “Tidak heran kalau perusahaanmu nyaris bangkrut, Mira. Kalau CEOnya saja orang seperti dirimu.” “Arogan dan bodoh. Kau hanya tahu cara memanfaatkan uangku ya?” imbuh Ananta. Mira menutup laptopnya. Ia sedang benar-benar tidak ingin berdebat sekarang. “Kalau kau memang pintar. Kau akan datang besok. Memanfaatkan identitasmu sebagai istriku dan menjalin relasi. Bukankah itu yang seharusnya dilakukan pebisnis?” Mira menghela napasnya. Bisa dibilang pernikahannya dengan Ananta itu tidak seperti informasi yang eksklusif. Hanya diketahui sedikit orang. Sebab pernikahan mereka sangat sederhana. Hanya mengundang keluar besar. Sebab kala itu posisinya kondisi ibu Ananta sekarat. Siapa sangka berkat pernikahan Ananta, ibu mertua Mira itu jadi bisa bertahan hidup enam bulan pasca pernikahan. Mira sendiri tidak terlalu peduli tentang seberapa banyak orang yang tahu dirinya sudah menikah dengan Ananta. Asal perusahaannya bisa kembali bangkit saja, Mira sudah merasa senang. “Aku akan pulang sore besok. Jadi kita bisa berangkat bersama dari sini.” Ananta kemudian melangkah pergi dan Mira langsung bicara. Berhasil menghentikan langkah lelaki itu. “Aku harus pakai gaun warna apa besok?” tanya Mira. Ananta terkejut meski tidak terlalu terkejut kalau Mira akan datang. Yang membuatnya terkejut adalah Mira cukup memperhitungkan acara besok. Bukan yang hanya sekedar datang saja. “Warna kesukaanku. Warna kesukaan kita.” Mira suka warna biru, begitu juga dengan Ananta. *** “Apa aku mengganggu?” tanya Sarah hanya memunculkan kepalanya dari sela pintu. Ananta menggelengkan kepalanya. Perempuan itu kemudian memasuki ruangan Ananta. Tangannya menjinjing bag berukuran sedang berisi makanan. “Aku beli dua porsi karena ada diskon. Dan aku yakin kau belum makan siang, Ananta.” Ananta melirik makanan yang dibawa Sarah. Sudah jadi kebiasaan perempuan itu membawa makanan kemari. “Terima kasih.” “Aku akan makan disini.” Perempuan itu kemudian mencuci tangan di wastafel dan duduk begitu saja di sofa. Sementara Ananta melanjutkan kembali mempelajari rekam medis pasiennya. “Ananta. Ayo makan dulu. Isi perut.” Ananta menatap Sarah. Ia kemudian bangkit dari kursinya dan menuju sofa. Duduk di sebelah Sarah. “Hanya dua porsi?” tanya Ananta sambil mencuci tangannya. “Kamu mau lagi? Biar aku pesankan.” “Bukan. Seharusnya kau tawari rekan yang lain di polimu. Perawat atau mungkin staf administrasi.” “Sudah. Mereka menolak.” Ananta hanya tersenyum. “Kamu nanti datang ke pesta ulang tahunnya Dokter Wita?” tanya Sarah sambil membukakan makanan itu untuk Ananta. Bahkan perempuan itu juga sangat cekatan mengeluarkan air minum dari bag yang dibawa. Ananta pun langsung membukakan tutup botol itu. Antisipasi karena biasanya Sarah kesulitan membuka tutup botol. “Tentu saja. Aku sahabatnya,” sahut Ananta seraya terkekeh. “Ya siapa tahu kamu ada agenda.” “Untungnya tidak,” sahut Ananta. Ananta kemudian menatap Sarah. “Kamu datang nanti?” Sarah mengangguk sebagai jawaban. “Datang dengan siapa?” tanya Ananta. “Kalau aku datang sendiri, kamu mau datang bersamaku tidak” tanya Sarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD