Chapter 3

1121 Words
“Akhirnya kamu kembali tinggal di rumah,” ucap Alexa. Perempuan itu langsung membicarakannya begitu tiba. Mira jadi menyesal meminta perempuan itu menemaninya makan siang. “Lagi pula aku masih tidak habis pikir kenapa kamu begitu ingin bercerai. Ananta itu sangat baik. Minusnya ya sibuk saja karena dia seorang dokter. Satu-satunya keluarga Syailendra yang tidak bekerja sebagai business man.” Mira memang tidak memberitahu spesifik alasannya menginginkan bercerai dengan Ananta. Bahkan Alexa sahabatnya sekali pun juga tidak ia beritahu. “Kalau aku jadi kamu. Aku pasti lebih baik duduk diam dan menikmati hidup sebagai Nyonya Syailendra. Apalagi Ananta sebegitu bebasnya membiarkan kamu. Kesabarannya pasti setebal dosaku.” Mira meminum minumannya. “Kenapa tidak kamu saja yang menikahi Ananta?” “Benar. Dia itu terlalu baik untuk menikah dengan perempuan sejahat kamu, Mira.” Mira tahu Alexa hanya bercanda. Perempuan sudah mencaci maki dirinya sejak tahu Mira menggugat cerai Ananta. Katanya Mira itu bodoh. Bahkan meski semua ucapan Alexa itu menyakitkan, Mira tidak tersinggung. Hanya Alexa satu-satunya teman yang tulus. Jadi itu alasan Mira masih bertahan meski Alexa terus saja memarahinya. “Ananta tidak sebaik itu, Alexa.” Alexa pun mengangkat satu alisnya. Perempuan itu tadinya berniat memesan makanan namun karena ucapan dari Mira itu, niatnya menjadi terhenti. “Maksudmu?” Mira menghela napasnya. Ini saatnya Mira mengatakan masalah yang ia pendam. Juga tentang Mira yang berubah pikiran. “Kamu tahu siapa yang membuat ayahku menjadi bangkrut sampai ibuku jadi gila, Alexa?” tanya Mira. Alexa sejak tadi hanya bercanda saat mengatai Mira. Sekarang raut wajah perempuan itu menjadi sangat serius. “Apa maksudmu, Mira?” “Ananta Syailendra. Dia yang melakukan semua itu.” Mira baru mengetahuinya ketika ibu Ananta meninggal. Alasan yang kemudian membuat Mira jadi begitu membenci lelaki itu. Akan tetapi disaat bersamaan, lelaki itu juga menjadi begitu picik karena membuat Mira tidak memiliki pilihan lain selain bergantung kepadanya. “Sebentar, Mira. Apa itu alasanmu ingin bercerai darinya?” tanya Alexa. “Sekarang tidak lagi, Alexa. Aku berubah pikiran.” Karena Mira akan menghancurkan lelaki itu. Sebelum tujuannya tercapai, ia akan tetap berada di sisi Ananta seperti yang lelaki itu minta. *** “Kamu cantik,” puji Ananta tulus saat melihat Mira keluar dari kamarnya. Perempuan itu mengenakan gaun berwarna biru dongker. Selaras dengan jas yang Ananta kenakan. Rambutnya disanggul sehingga nampak sangat rapi nan elegan. Ananta jadi gemas ingin membuat rambut itu terurai dan membuatnya terlihat berantakan. Juga meloloskan gaun itu dari tubuhnya. “Ayo berangkat,” ajak Mira. Berhasil membuat fantasi liar di kepala Ananta itu jadi terhenti. Mira memang cantik dan selalu cantik. Ananta tidak akan bisa berhenti mengaguminya. Selama perjalanan, diawali keheningan. Ananta kemudian berusaha membuka topik pembicaraan dengan menceritakan mengenai Wita dan Kevan. Supaya Mira tahu cukup banyak mengenai seperti apa orang yang akan ditemuinya. Akan tetapi perempuan itu nampak tidak tertarik. Meski begitu, Ananta tahu Mira mendengarkan dengan baik. Jadi dirinya memilih untuk tetap berbicara saja. Begitu sampai dan turun dari mobil, Ananta langsung menggandeng pinggang Mira. Merasa senang karena perempuan itu menerimanya. Membiarkan tangan Ananta melingkar disana, di pinggang perempuan itu. Dengan bangga Ananta memasuki tempat acara. Semua mata langsung memandang padanya, juga pada Mira. Perempuan itu jarang terlihat di lingkup orang-orang yang bekerja dengan Ananta. Jadi wajar jika mereka terkejut melihat Ananta bersama Mira. Kevan dan Wita langsung datang menghampiri. Merasa terhormat karena akhirnya Mira benar-benar datang kemari. “Cantik sekali,” puji Wita berterus terang. “Selamat uang tahun, Dokter Wita.” Mira pun langsung mendekat untuk cipika cipiki dengan Wita. Wita cukup terkejut namun ia menyambut dengan baik. “Terima kasih ya, Mira.” “Selamat datang, Mira” ucap Kevan. “Terima kasih, Dokter Kevan.” Mira tersenyum ramah membuat Kevan langsung terpana. Ia akhirnya tidak heran kenapa Ananta bisa begitu sabar menjalani pernikahan dengan Mira. Kalau dirinya jadi Ananta, tentu saja tidak akan melepaskan istri secantik ini. Ia reflek hampir mendekat berniat cipika cipiki juga dengan Mira. Akan tetapi Ananta langsung menyela dengan menepuk pundaknya dan menahan pergerakan Kevan. *** Sarah mengepalkan tangannya melihat hal itu. Ia langsung menepi dan segera menelpon Tama. Lelaki itu harus bertanggung jawab untuk semua ini. Bisa-bisanya perempuan itu datang menemani Ananta. Padahal selama ini kemunculannya bersama Ananta bisa dihitung jari. “Halo..” Begitu terdengar suara lelaki itu, Sarah langsung mencecarnya. “Mira dan Ananta seharusnya sudah bercerai sekarang! Kenapa mereka malah datang berdua di pesta?!” pekik Sarah kesal. “Apa saja kerjamu enam bulan ini, hah?!” Ananta sudah menjadi lebih hangat selama enam bulan terakhir. Sarah juga merasa mereka menjadi lebih dekat sebelumnya. Ditambah ia tahu bahwa Mira sudah menggugat cerai Ananta. Seharusnya ini hanya masalah waktu, tapi sekarang suami istri itu malah terlihat baik-baik saja. Sarah tidak terima. “Aku sudah sampaikan informasi kalau Ananta yang melakukan semuanya. Mira tampak percaya kala itu.” Tujuan Sarah jelas. Mengadu domba Mira dengan Ananta agar mereka bisa bercerai. Bukan malah hubungannya membaik begini. “Kau yakin sudah melakukannya dengan benar? Karena yang aku lihat sekarang mereka terlalu harmonis sebagai suami istri!” Sarah sudah kehabisan kesabaran. Dirinya bertahun-tahun mendekati Ananta. Sudah sejak di bangku perkuliahan. Sudah selama itu dan Sarah tahu kalau Ananta diam-diam mencintai Mira. Padahal Mira sudah jelas-jelas bertunangan dengan Danuarta Admatja. Akan tetapi tetap saja Sarah tidak bisa mendapatkan Ananta. Maka dari itu Sarah nekat melakukannya. Meminta sang ayah agar menghancurkan bisnis keluarga Mira yang tidak seberapa itu. Yang justru Mira malah menikah dengan Ananta. “Komunikasi mereka tidak bagus. Bahkan Mira sudah tidak tinggal bersama Ananta lagi selama enam bulan itu. Kau juga sudah kuberitahu kenyataan itu sejak lama.” “Tapi nyatanya mereka bersama sekarang, Pak Tama. Apa aku harus menginstruksikan yang seharusnya kau lakukan?” tanya Sarah kesal. “Baiklah. Aku akan mencari tahu. Juga memastikan mereka segera bercerai.” Sarah sampai tidak sadar ia sudah menggertakkan giginya sendiri saking kesalnya. “Aku sudah sangat bersabar bertahun-tahun, Pak. Bahkan saat kau bilang agar aku bersabar karena alasan pernikahan mereka adalah demi ibu Ananta yang sekarat. Aku juga bersabar. Tapi sekarang kesabaranku mulai habis. Aku tidak mau tahu, Ananta harus jadi milikku. Kalau tidak, keluargamu akan mati.” *** Ananta sedang bersama Kevan untuk berbincang dengan dokter senior yang hadir dalam acara ini. Selepas kepergian dokter senior tersebut, Ananta tidak bisa melepaskan pandangannya dari Mira. Perempuan itu sedang berbincang dengan Wilona, putri Wita dan Kevan. Ada Wita juga disana. Betapa lucu melihat Mira berbincang ramah dengan anak kecil. Ananta sungguh mendambakannya. Berharap ia bisa memiliki anak bersama Mira. “Senang melihatnya ramah terhadap putriku,” ucap Kevan. Ananta tidak merespon. Atensinya sepenuhnya hanya tertuju pada Mira. “Astaga. Kau sepertinya jatuh cinta padanya ya?” tanya Kevan. “Sudah sejak lama, Kevan. Sudah sangat lama,” ucap Ananta yang membuat Kevan terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD