“Bagaimana menurutmu?” tanya Ananta.
Mira tidak mengalihkan pandangan sedikit pun. Ia masih asik menatap ke jendela. Memandangi gedung-gedung tinggi yang dilaluinya dalam perjalanan pulang itu.
“Apanya?” tanya Mira. Merasa bahwa pertanyaan yang Ananta ajukan tidak terlalu spesifik.
“Duniaku,” sahut Ananta.
Mira terdiam.
“Apa itu membuatmu tidak nyaman?” tanya Ananta.
Satu-satunya yang membuat Mira tidak nyaman adalah Ananta. Dan dirinya akan mengatakan itu dengan lantang jika saja tidak teringat rencana baru yang disusunnya sekarang.
“Biasa saja. Tidak ada yang perlu aku komentari,” sahut Mira mencari aman.
Itu tidak ada bedanya dengan pesta yang biasa ia datangi. Pesta undangan dari kolega bisnis. Isinya tidak lebih dari orang-orang yang memasang topeng agar dapat menjalin relasi dengan harapan mendapatkan keuntungnya. Bedanya adalah perbincangan yang tidak sengaja Mira dengar dari beberapa orang adalah tentang dunia kesehatan dan bahasa yang sama sekali tidak ia mengerti.
“Aku hanya ingin mendengar pendapatmu.”
Seolah tidak puas dengan jawaban singkat itu, Ananta masih berusaha mendapatkan jawabannya.
“Itu tidak penting.”
“Penting. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan.”
Mira diam.
“Aku penasaran apakah kau sudah mulai tertarik,” imbuh Ananta.
Melihat bagaimana tadi Mira berbincang begitu akrab dengan Wita, Ananta jadi penasaran. Perempuan itu sebenarnya hangat kepada siapa pun. Bahkan sangat ramah meski pada orang yang baru dikenalnya. Satu-satunya yang tidak Mira tunjukkan sikap seperti itu, hanyalah Ananta. Ananta tidak pernah merasakan keramahan itu. Bahkan saat berbincang sesantai ini, perempuan itu bahkan lebih memilih menatap jendela.
Mira akhirnya menoleh, menatap kepada Ananta yang sedang menunggu jawaban.
“Memangnya kenapa kalau aku mulai tertarik?” tanya Mira.
Tidak ada senyum, tidak ada keramahan. Khas seperti biasanya. Beginilah cara mereka berkomunikasi. Momen keramahan dan kehangatan di antara mereka hanya terjalin saat ibu Ananta masih hidup. Hanya itu saja, karena sandiwara.
“Itu berita bagus. Karena begitulah yang seharusnya Nyonya Syailendra lakukan,” ucap Ananta.
Tidak ada perubahan ekspresi apapun dari perempuan itu. Hanya diam menatap Ananta. Sorot matanya tidak terbaca. Ananta mungkin bisa mendiagnosa penyakit pasiennya, juga mendiagnosa apakah pasiennya berbohong saat menjawab pertanyaan, hingga mendiagnosa tindakan apa yang tepat untuk menangangi pasien. Akan tetapi khusus untuk Mira, Ananta tidak pernah bisa menduga dan menerka apa yang sebenarnya perempuan itu pikirkan.
Ananta lantas mengangkat sudut bibirnya.
“Bisa aku simpulkan kalau kau memang sudah mulai tertarik?” tanya Ananta karena Mira tidak kunjung bicara.
Perempuan itu mengalihkan pandangan. Tidak ada jawaban apapun.
Ananta pun tersenyum dan ia kemudian menatap ke jendelanya. Perubahan yang cukup bagus dari sikap Mira hari ini.
***
Akhirnya Ananta tidak memiliki jadwal shift pagi. Jadi ia bisa sarapan di rumah hari ini. Mira ke kantor jam delapan pagi dan seharusnya sebentar lagi perempuan itu kemari untuk sarapan. Jika perempuan itu mau sarapan. Ananta tidak ingat kapan terakhir sarapan bersama perempuan itu. Mungkin saat ibunya masih hidup. Sudah setahun lalu berarti.
Perempuan itu akhirnya muncul. Sudah rapi sambil menenteng tas kerjanya. Ananta menatap perempuan itu dari atas hingga bawah. Menyenangkan bisa melihat Mira berangkat kerja dari sini. Mereka sempat saling menatap sebelum kemudian Mira yang mengalihkan pandangan lebih dulu. Perempuan itu lantas berlalu begitu saja. Melewati ruang makan seolah bukan apa-apa.
“Kau tidak sarapan?” tanya Ananta.
“Tidak,” sahut Mira bahkan tanpa menoleh.
Mira masih sama saja seperti biasanya. Suka melewatkan sarapan.
Ananta langsung bangkit dari duduknya dan mengambil roti lapis yang sudah ia siapkan. Ia lantas mengejar Mira.
“Tunggu,” ucap Ananta.
Ia mengejar Mira yang sudah melewati pintu arah garasi. Perempuan itu menghentikan langkahnya dan kemudian menoleh. Tidak bersuara melainkan mengernyitkan kening untuk mempertanyakan apa yang membuat dirinya harus berhenti dan menunggu Ananta mendekat.
“Ini. Makanlah. Dan biarkan supir yang mengantarmu.”
Mira itu lebih sering menyetir sendiri. Ananta sudah meminta sejak awal mereka menikah agar supir saja yang menyetirkan. Akan tetapi Mira menolak.
Perempuan itu hanya melirik kotak bekal yang Ananta berikan.
“Terima kasih,” ucapnya mengambil kotak itu cepat.
“Soal supir. Alasanku masih sama seperti biasanya,” ucap Mira.
Perempuan itu kemudian langsung melangkah menuju mobilnya. Ananta masih tetap pada pijakannya dan hanya menatap hingga mobil itu melaju pergi meninggalkan garasi. Ia tidak akan memaksakan soal supir, yang penting perempuan itu menerima kotak bekalnya.
***
Mira sedang memarkirkan mobilnya ketika sebuah telepon masuk. Agendanya hari ini adalah rapat untuk pitching investor. Salah satu upayanya berusaha melepaskan diri dari keterikatan dan ketergantungan dari Ananta. Meski Mira tahu sangat sulit. Karena pada dasanya semenjak perusahaannya bangkrut, tidak pernah ada investor yang mau mendekat. Hanya Ananta satu-satunya yang membantu.
Ia mengangkat telepon itu seraya mengambil barang-barangnya dan keluar dari mobil.
“Aku baru tiba. Sedang di basement,” ucap Mira pada Oka. Sekretarisnya itu ternyata sudah di dalam.
Perempuan itu melangkah sambil mendengarkan informasi yang Oka berikan. Begitu selesai, ia mematikan sambungan telepon dan menghentikan langkah. Pandangannya kemudian beralih pada tempat sampah yang berada di sebelahnya. Tanpa keraguan sedikit pun, dibuangnya kotak bekal pemberian Ananta. Mira kemudian melanjutkan langkahnya. Bersiap untuk berperang dengan pilihannya. Ia akan pastikan bisa menarik minat investor ini nanti.
***
“Bagaimana kamu bisa mendapatkan investor ini, Oka?” tanya Mira.
Ia sudah berusaha sejak tahun lalu untuk mendapatkan investor. Akan tetapi tidak ada yang bahkan mau memberinya kesempatan. Seolah sejak kehancuran ayahnya kala itu, membuat semua orang langsung menganggap bahwa Mira tidak layak mendapatkan bantuan.Tidak ada yang mempercayainya ayahnya.
“Sebenarnya temanku yang menyalurkan. Dia magang di perusahaan ini.”
“Oh ya? Aku akan sangat berterima kasih pada temanmu.”
Basic perusahaannya di luar negeri. Jadi tidak heran kalau tertarik untuk berinvestasi. Beda dengan investor lokal yang sudah tahu kondisi perusahaan Mira sebelumnya. Yang juga mungkin dipengaruhi power keluarga Ananta. Mira merasa wajar kalau tidak ada yang mau membantunya hingga ia terpaksa meminta bantuan Ananta. Ini sudah bagian rencana lelaki itu.
Oka menerima telepon dan ia dengan sigap mengangkatnya.
“Beliau sudah tiba di lobi,” ucap Oka begitu mengakhiri sambungan telepon.
Mira mengangguk. Siapa pun itu nanti yang datang kemari untuk memberikannya kesempatan, Mira benar-benar berterima kasih. Ia menanti dengan berdebar sambil menatap ke pintu. Tidak ada informasi yang dirinya terima soal siapa yang datang untuk pitching kali ini. Jadi ia benar-benar tidak memiliki informasi apapun tentang calon investornya. Sebuah tantangan tersendiri.
Pintu itu terbuka dan seorang perempuan kemudian masuk. Mira langsung berdiri dan memberikan senyuman ramah. Detik kemudian saat seorang lelaki menyusul masuk, Mira seketika membeku di tempatnya. Darahnya terasa mendesir ketika melihat lelaki itu. Betapa terkejutnya Mira saat melihat dia yang memasuki ruangan. Dia, Danuarta Atmadja. Mantan tunangannya.