Bab 27 Kamu Tidak Masuk Akal 3

1172 Words
Perempuan itu salah tingkah dan merasa tidak enak hati, membuatnya tidak bisa melawan. Jadi, mau seperti apa pun pria itu menyuruhnya seperti budaknya, hanya bisa menghela napas kasar. Dari satu lantai ke lantai lainnya, pria itu bertingkah seenak jidat, membuat Casilda tak bisa beristirahat walau hanya sejenak. Kakinya sudah sakit meski memakai sepatu kets. Para pelayan toko melirik ke arahnya dengan rasa penasaran, tapi tak berani menegur. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Apakah mereka kasihan? Atau yang lainnya? Mata Casilda berkaca-kaca memikirkan ketidakadilan dirinya yang sedang apes hari ini. Namun, dia harus bisa bertahan sekali lagi. Toh, mau sampai kapan dia bertemu Arkan? Dalam hati, Casilda tertawa setengah sinting! Ini adalah hari perpisahan! Pasti begitu! Kebetulan saja hari ini ada acara di panti asuhan itu, makanya dia memesan ayam di kedai mereka, bukan? Terlepas apa pun niatnya, dia sudah tak punya alasan lagi untuk bertemu di masa depan, bukan? Lain kali, untuk jaga-jaga, ada baiknya dia berpikir baik-baik siapa pembeli yang ditujunya. Mau uang sekalipun, masihkah dia layak diperlakukan tidak adil seperti ini? Dalam sedetik, teringat adiknya di rumah sakit, itu membuat hati Casilda langsung tertusuk sangat perih. Wajahya muram dan tak bersemangat. Tidakkah dirinya sudah bersikap egois saat ini? Hanya karena baru diperlakukan seperti ini oleh pria sok kuasa itu, nyalinya sudah ciut? Sementara adiknya butuh uang secepat mungkin demi operasinya? Hatinya tenggelam. Tubuh Casilda mengkerut bersandar di dinding, menatap tumpukan tas belanjaan Arkan yang dipenuhi oleh merek ternama. Rasanya ingin sekali dia meneteskan air mata. Di sisi lain, ada orang yang dengan mudahnya menghamburkan uang demi barang-barang bermerek, sementara ada pula orang seperti dirinya yang berusaha irit agar uangnya bisa terkumpul untuk biaya operasi dan bertahan hidup sehari-hari. Casilda menghela napas kasar, menahan semua kepedihan dan kesulitan hidupnya dengan sekali tarikan napas. Air mata dipaksanya masuk kembali. "Sebaiknya dia benar-benar menepati janjinya. Awas saja kalau tidak!" perlahan, suara Casilda yang membara mengecil tak berdaya. Casilda sebenarnya tak menolak jika memang akan mendapat jaminan dengan menemani seseorang berbelanja seperti ini, apalagi jika ada tambahannya. Tapi, kenapa harus dengan pria itu, sih? Apakah semesta tengah membencinya, jadi membuatnya harus berurusan kembali dengannya? Atau... memang dia sedang sial saja.... Dalam hidup, terkadang ada masanya seseorang tak bisa menolak tekanan dari orang lain. Mau memikirkan masalah orang lain saja, mana sudi. Bagi para penindas seperti Arkan, asal dirinya puas dan senang, kepentingan orang lain hanyalah nomor sekian. Dengan mudahnya diinjak-injak seperti rumput tak berharga. Tangannya meraba saku celana, ponselnya tak ada. Dalam hati berharap ponsel itu tidak terjatuh di suatu tempat. Semoga saja ketinggalan di mobil ketika Abian mengajaknya makan bersama secara tiba-tiba. Helaan napasnya berat. Sementara Casilda sedang meratapi nasibnya yang sedang sial berturut-turut, di salah satu gang deretan pakaian mahal wanita bermerek, Arkan tengah meraih ujung sebuah gaun merah indah dan elegan yang masih tergantung di display-nya, tatapan mata begitu lembut dan hangat. "Ini adalah koleksi terbaru kami. Mata Anda sangat bagus! Gaun ini pasti sangat cocok dengan kekasih Anda. Jika memakainya pasti menampilkan lekuk tubuh yang indah, menambah pesonanya berkali-kali lipat." Tiba-tiba seorang pelayan toko berseragam hitam muncul entah dari mana, wanita itu tersenyum begitu lebar, begitu ceria. Syok. Arkan mundur selangkah. Kedua bahunya terlonjak kaget. "Ah! Saya sudah diberitahu oleh manajer toko siapa Anda sebenarnya," bisiknya hati-hati dengan satu tangan di depan mulut pada pria berjaket dan bermasker di depannya, memajukan badannya seolah tengah berbagi sebuah rahasia. "Apakah Anda ingin memberikan hadiah kejutan kepada tunangan Anda, Tuan Arkan?" lanjutnya dengan mata tertawa penuh antusias. Mendengar hal itu, tanpa sadar matanya melirik ke arah sosok gemuk di seberang ruangan. Casilda tampak resah dan sesekali terbodoh menatap deretan pakaian mewah di sekitarnya. Kedua tangannya menahan troli belanjaan sampai benar-benar jika dilihat sudah sangat mirip seorang asisten sungguhan. "Saya bisa menunjukkan sendal high heels yang cocok untuk gaun ini. Bagaimana? Berapa ukuran Nona Lisa?" "..." Mata Arkan masih mengamati sosok Casilda dari jauh, dengan dingin menjawab: "Tidak. Saya hanya lihat-lihat saja. Terima kasih." "Oh. Baiklah." Sang pelayan toko terlihat jelas kecewa, menatap punggung Arkan berlalu dari hadapannya. Beberapa saat kemudian. Entah ada dendam seperti apa yang Arkan milikinya padanya, Casilda tidak tahu sama sekali. Pria itu benar-benar kejam! Selama berjam-jam dia menyiksanya sebagai asisten dadakan. Menyuruh macam-macam selama berada di mall, bahkan harus berlari-lari membeli makanan yang ada di ujung sebelah bangunan mall, lalu menyuruhnya berkali-kali kembali dengan alasan tidak sesuai pesanan, atau seleranya tiba-tiba berubah. Padahal disentuh saja belum, tapi sudah menolaknya dengan sikap masa bodoh, ogah-ogahan, dan tidak berperasaan. "Aku berubah pikiran." "Rasanya tidak seenak iklannya." "Ganti!" "Aku ingin mencoba makanan lainnya." "Tidak sesuai harapanku. Beli lagi!" Begitulah kalimat-kalimat pendek yang terlontar dari mulut pria itu setiap Casilda baru saja tiba di bangku pengunjung. Darahnya mendidih, tapi sudah benar-benar tidak punya tenaga dan semangat untuk memprotesnya. Pria itu benar-benar mempermainkannya! Setelah jam hampir menunjukkan pukul 9 malam, pria itu baru puas selesai berbelanja. Troli didorong dengan suara guliran roda membentur lantai tempat parkir. Casilda megap-megap kelelahan di belakang pria itu, wajahnya berkeringat dan pucat. Tumpukan belajaan Arkan menggunung di dalam troli, dan masih saja ada yang mengisi kedua lengan Casilda, tergantung begitu rapat saling dempet hingga rasanya membuat tangannya mau patah. Sekujur tubuhnya gemetar, karena Arkan hanya bermurah hati mengizinkannya untuk sholat 5 waktu sembari istirahat, tidak ada sesi untuk makan sekedar mengisi tenaga, atau pun hanya untuk duduk 5 menit saja meregangkan kakinya. Perbudakannya sungguh kejam! Benar-benar iblis! Tubuh Casilda yang jarang berolahraga masih sulit beradaptasi dengan penyiksaan seharian itu. Ini jelas berbeda dengan bekerja keras seperti yang dilakukannya sehari-hari, bahkan perutnya sudah berbunyi, tapi tuan kejam itu tidak peduli meski sudah mendengarnya sekalipun. Sudut-sudut matanya berkabut, apakah kesalahannya di masa lalu sangat besar sampai pria itu begitu membencinya? Tidak bisakah dia meminta maaf dan menebusnya dengan cara lain? Jika dia kelelahan seperti ini, bagaimana akan bekerja esok harinya? Dia, Casilda, tak boleh sakit barang sehari pun. Siapa yang akan memberi makan keluarganya? Membayar semua tagihan? Utamanya membiaya pengobatan adiknya? "Hei! Kamu mau ke mana? Taksinya di sini!" seru Arkan kesal, melihat Casilda yang susah payah mendorong troli belanjaan yang menggunung melewati tempat parkir taksi yang disewanya. Punggung Casilda mendingin kaku, bibirnya bergetar dan matanya terasa perih. Dengan isakan kecil, dia baru sadar telah melamun kembali meratapi kesialannya. Perlahan dan hati-hati, troli didorong mundur hingga berpapasan dengan taksi tersebut. Pak supir dengan senang hati membantunya memasukkan barang. Saat masuk ke dalam taksi, kelegaan membanjiri hati perempuan berkepang satu ini. Akhirnya dia bisa beristirahat! Baru saja dia duduk beberapa detik sembari bersandar memejamkan mata di pintu mobil, Casila langsung tertidur karena kelelahan. Beberapa tempat di mall memang ada yang memakai pendingin udara, tapi itu tidak cukup untuknya, malah membuatnya merasa semakin tidak nyaman dan gelisah, membuatnya berkeringat dingin yang aneh. Samar-samar, Casilda bisa mendengar suara Arkan yang tengah membentaknya, tapi dia tak menghiraukannya. Tubuhnya terlalu capek dan lelah selama menemani pria itu, juga sudah sangat lapar. Belum makan selama berjam-jam. Anak-anak rambut menempel di semua sisi wajahnya yang dipenuhi oleh keringat yang berkilauan. Kedua tangannya yang berada di pangkuannya gemetar hebat. Satu-satunya yang diinginkan oleh Casilda saat ini adalah tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD