Bab 28 Wanita Malang dan Takdir Rumit 1

1478 Words
"Kamu pikir, kamu bisa beristirahat? Ini baru permulaan, Ratu Es!" Sebuah suara dingin dan tajam penuh nada permusuhan terngiang di gendang telinga Casilda. Begitu mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan, langsung hilang dari ingatannya. Keningnya bertaut kesal, mau ingat tapi sudah tidak bisa. Apa yang diingatnya barusan? Apa itu hanya mimpi buruk? Karena meski tiba-tiba tidak ingat dalam hitungan detik, perasaan di hatinya terasa tidak nyaman sampai isi perutnya terasa dipelintir kuat. Ada rasa menahan di dadanya seolah dihimpit batu besar. Kenapa dia bisa merasakan hal tidak mengenakkan ini? Pandangannya masih samar-samar ketika membuka mata, khas orang baru bangun tidur. Tidak menjadi jernih karena perempuan ini memiliki mata minus. Namun, minus matanya tidak begitu parah sampai tidak bisa mengenali langit-langit asing di atas kepalanya saat ini. Hah? Ada di mana dirinya sekarang? Ini bukan langit-langit kamarnya! Cahaya matahari masuk melalui sela-sela gorden kain tartan biru putih, mengenai kedua kakinya. Aroma khas ayam goreng krispi menguar di udara dan menusuk hidung. Kamar itu sempit, sedikit pengap dengan pencahayaan samar-samar, tapi tubuhnya diberi selimut hangat yang sangat harum dan empuk. Juga bantal yang begitu nyaman. Lebih nyaman daripada yang dimilikinya di rumah dengan triplek sebagai pembatasnya. Casilda bangkit perlahan dari tidur. Masih agak sedikit linglung. Perutnya tiba-tiba berbunyi kelaparan. Disentuhnya perutnya dengan perasaan lemas, dan aroma ayam goreng krispi yang baru diangkat dari minyak panas membuat air liurnya menetes. Benar! Dari kemarin sore dirinya belum makan apa-apa! Semua ini gara-gara pria kejam bernama Arkan! Ingatan penyiksaan fisik dan mental yang diterimanya kemarin kembali bergulir dalam dirinya, membuat kedua bahunya melorot, muka pucat, dan hawa dingin yang menyerangnya membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi, yang lebih penting sekarang adalah, dia ada di mana saat ini? Jika dia bisa menebaknya dari suara ribut samar-samar di bawah, apakah sedang berada di kedai? Kepalanya dimiringkan dengan wajah bingung. Apa yang terjadi semalam? Kepalanya berdenyut dan perutnya keroncongan, mau bangkit berdiri saja rasanya tidak sanggup. Arkan benar-benar pria tidak berperasaan! Bisa-bisanya jadi pujaan banyak wanita, apalagi sudah tahu kelakuannya yang suka main ranjang, tapi kenapa nasibnya begitu bagus? Kesal karena paginya yang berantakan oleh pria dari masa lalu, Casilda menyeret tubuhnya untuk segera bisa mengalihkan pikiran. Bisa gila dia jika harus berurusan dengannya lagi! Dengan pose ala suster ngesot, Casilda yang merasakan tubuhnya remuk redam dengan perut keroncongan, mengarahkan tubuhnya menuju pintu. Rambutnya yang berantakan lepas dari kepangannya, membuat penampilannya sangat mengerikan. Mirip bola yang diberi rambut palsu dan diberi mata hitam dari spidol permanen. Suara pintu dibuka dengan bunyi decitan pelan, seolah tengah terkikik menakutkan seperti yang sering terdengar di film-film horor. Ryan yang baru mencapai puncak anak tangga tiba-tiba kaget dan menjerit ketakutan hingga nampan makanan yang dibawanya jatuh ke lantai, nyaris membuatnya terjungkal jatuh dari tangga andai saja dia tidak dengan cepat menahan tubuhnya pada susuran tangga di dekatnya. "HANTU BOLAAAAAAA!!!" Dengan suara ‘brak’ keras, nampan berisi beberapa ayam krispi, saus cocol, dan 2 mangkuk kepal nasi tumpah ke lantai. Heh? Hantu bola? Casilda melongo terbodoh, masih belum bisa memproses situasi dengan baik. Ryan tampak pucat membeku memeluk susuran anak tangga, dan ekspresi wajahnya berubah ketika menyadari siapa sosok di depan pintu itu. "Ca-ca- casilda! Kamu bikin aku takut saja! Ma-maksudku bukan takut bagaimana, sih. Kamu tahu, kan, saat orang tiba-tiba terkejut?" jelas sang pria, salah tingkah dengan wajah pucat, takut Casilda langsung menilainya sembarangan karena reaksinya melihat penampilan berantakannya yang mirip perpaduan berbagai macam hantu yang sudah dinontonnya dulu. Pria itu memakai kaos bola biru tua bernomor 11 dan celana training abu-abu. Rambut pendek hitamnya berantakan, tapi sangat keren ala-ala model boyband Korea yang siap untuk melakukan pemotretan dengan tema seksi dan nakal. Dengan cepat, Ryan berlutut di lantai, memunguti makanan yang tumpah. "Untung saja aku belum bawa air minum," gumamnya berbisik pelan. Casilda mengerjapkan mata pelan, dan hanya melihat ayam goreng krispi yang terjatuh di depannya. Air liurnya menetes, menelan ludah dengan berat. Dengan cepat, diraihnya ayam krispi itu dan digigit penuh rasa haru, mata berkaca-kaca. "CASILDA?! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" teriak Ryan tiba-tiba, panik dan langsung menyambar ayam goreng dari mulut perempuan itu. Air mata Casilda menetes. "Ma-maaf. Aku lapar. Nanti aku bayar, kok...” isaknya pelan, melanjutkan dengan suara lirih, “maaf sudah mengambil ayam krispimu....” Derai air mata bagaikan mutiara besar-besar berkilauan jatuh menetes-netes dari wajahnya yang gelap dan suram ke lantai di bawahnya. Suara isak tangis Casilda sangat tidak nyaman didengar. Casilda merasa dirinya sangat bodoh, rakus, dan menyedihkan. Tapi, mau bagaimana lagi? Perutnya lapar dan tubuhnya tak bisa bergerak banyak, rasanya ada besi yang dipasangi di setiap tulang-tulangnya, berkarat dan membuatnya macet dan berat. "Bu-bukan itu maksudku. Ini memang untukmu. Tapi, kan, sudah jatuh. Jangan makan yang sudah jatuh. Banyak kuman dan bakterinya," sanggah Ryan cepat, secepat tangannya membersihkan lantai yang berhamburan makanan. "Benarkah itu untukku?" tanya Casilda polos, air liurnya kembali menetes. Mata berbinar menatap isi nampan yang berantakan mirip makanan kucing. Ryan terdiam melihat reaksi Casilda yang tidak biasa. "Apa yang sebenarnya terjadi kemarin?" Casilda menatapnya, tak langsung membalas. Kening Ryan ditautkan kesal, lalu melanjutkan, "aku dengar dari Abian kamu pergi bersama Arkan. Awalnya aku ragu, jadi aku langsung meneleponmu, tapi kamu meninggalkan ponselmu di dalam mobil. Aku menunggumu sampai malam di panti, berharap kamu kembali ke sana. Sampai ibuku menelepon ponselmu pun, kamu belum juga terlihat batang hidungnya. Begitu tiba di kedai, beberapa jam kemudian, Arkan datang mengantarmu pulang ke tempat ini karena tidak tahu alamat rumahmu. Apa hubunganmu sebenarnya dengan pria itu, Casilda?" Suara Ryan terdengar pelan dan tenang, tapi sangat menuntut. Ekspresinya sangat serius. "Tidak ada. Dia hanya memintaku untuk menjadi asisten sehari menemaninya belanja dengan bayaran lumayan. Jadi, aku menerimanya." Dipikir-pikir, untuk apa dia menjelaskan semua hal pada Ryan? Memang dia akan mengerti? Baik tentang masa lalunya, maupun hubungan rumitnya dengan beberapa pria di masa lalu. Apa dia akan percaya? Paling hanya akan diledeknya, lalu dibilang halu, kan? Karena dulu dia pernah bilang bahwa cita-citanya adalah menjadi orang kaya dengan uang tanpa batas. "Apakah itu benar?" "Ya?" Sebelah kening Casilda naik, bingung menatap Ryan yang serius. "Kalau itu benar, kenapa sampai kacamatamu tergeletak begitu saja di ruangan tua di belakang panti?" Bola mata Casilda membesar kaget, tubuh membeku. Tidak sampai di situ, Ryan mencecarnya dengan pertanyaan bak seorang detektif kepada seorang tersangka pembunuhan. "Pria itu punya tunangan, kenapa dia malah repot-repot memintamu jadi asistennya? Lagi pula, semua tim manajemennya ada di sana. Apa itu masuk akal? Kamu baru bertemu dengannya, kan? Bagaimana bisa dia mempercayaimu begitu saja?" Ryan menghela napas kasar sembari memejamkan mata kuat-kuat, tampak beban berat seolah menimpa dirinya, matanya kemudian terbuka dengan sorot mata memancarkan hal yang tidak bisa dipercayainya. Pria ini melanjutkan perkataannya. "Karena kamu tiba-tiba hilang dari kursimu, aku pergi mencarimu di semua tempat, dan kebetulan bertemu anak-anak yang katanya sedang melihat orang lagi pacaran di ruangan itu. Apa itu kamu dan Arkan?" Sekujur tubuh Casilda seolah disiram air dingin dari puncak kepalanya, memucat dengan wajah muram. "A-apa yang kamu bicarakan? Apa otakmu sudah rusak gara-gara ikut mengantar pesanan ayam 500 potong?" Pria itu menggigit gigi, wajahnya tak enak dipandang. "Lalu, kenapa kacamatamu ada di sana?!" bentak Ryan marah, tiba-tiba kehilangan kendali diri. Casilda tertegun kaget, kedua bola matanya membesar luar biasa. Rambutnya yang awut-awutan di sekitar wajahnya membuat penampilannya lebih horor daripada sebelumnya. Dengan cepat, Casilda menyadari kesalahannya. "Ma-maaf. Lain kali, aku tidak akan bersikap tidak bertanggung jawab dan semberono seperti itu lagi," ucapnya berbisik kecil. "Aktor itu bilang ingin jalan-jalan melepas stres gara-gara insiden wartawan yang membuatnya kesal. Jadi, dia langsung menarikku ke ruangan itu setelah menolongku tersedak sebiji bakso, kebetulan dia ingin kabur dari tempat itu juga, tapi anak-anak yang lewat di sana tanpa sengaja melihat pose terjatuh kami berdua yang bisa membuat semua orang salah paham. Karena dia takut ada masalah dengan wartawan, dan khususnya pada tunangannya, kami pun kabur lewat pagar tembok samping panti." Casilda terdiam setelah melancarkan kebohongannya, bak air yang mengalir tanpa hambatan. Ryan berpikir sejenak. "Kenapa dia memilihmu? Bukankah aku bilang dia punya tim manajemen lengkap di sana dan ada tunangannya juga?" Perempuan berpakaian rajut orange itu memalingkan wajahnya muram, "mana aku tahu. Memang aku orang yang suka ikut campur urusan orang lain, apa? Kalau ditawari uang banyak hanya untuk menemaninya belanja sebagai asisten, kenapa tidak? Dia pasti ada alasannya sendiri, kan? Untuk apa aku tanya-tanya masalah pribadinya? Mungkin saja kebetulan aku yang ada waktu itu, jadinya dia tidak punya banyak pilihan, apalagi keadaan juga sangat kacau dan bikin panik saat itu. Tidak ada alasan khusus. Untuk apa coba?" Ekspresi wajah pria berkaos bola itu sedikit melunak, kedua bahunya melemas santai. "Casilda, meski kamu sangat cinta dan butuh uang, mana bisa kamu pergi seperti itu dengan pria yang baru dikenal? Walaupun hanya sebagai asisten juga, dia tetap saja adalah tunangan seseorang. Di manajamennya sendiri, pria itu menjaga jarak dengan para anggota timnya. Kalau kamu terlihat jalan bersamanya—" "ITU TIDAK MUNGKIN!" bantah Casilda cepat, merasa tersinggung semakin lama kata-kata pria itu menampar harga dirinya. Ryan terdiam kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD