Bab 29 Wanita Malang dan Takdir Rumit 2

1331 Words
"Kamu sendiri, kan, yang suka bilang padaku kalau aku ini tidak ada harapan? Mana ada pria yang sudi jatuh cinta padaku? Melirik saja mereka akan jijik! Apa masuk akal pria seperti Arkan menyukaiku? Lalu jadi pacarku? Orang-orang juga tidak buta jika melihat kami berdua berdampingan! Aku tahu aku ini jelek, tapi tidak usah membuatku menyadarinya berkali-kali!" Dengan galaknya bak anak kucing marah, Casilda menarik paksa nampan berisi makanan berantakan yang sudah dipungut oleh Ryan. Langsung memakannya tanpa permisi menggunakan tangan yang kering. Air matanya jatuh menetes-netes tak terkendali di atas nasi putih yang amburadul dan kotor itu. "Ca-Casilda!" Mata Casilda melotot merah, Ryan menciut melihatnya. "I-itu kotor. Aku bisa ganti yang baru," ucapnya dengan nada tidak enak setelah mendengar penjelasan Casilda yang dipikirnya masuk akal juga. "Tidak usah. Aku sudah terbiasa makan makanan yang lebih buruk dari ini," bisiknya pelan dengan ekspresi memelas, mengunyah suapan besar dari tangannya, dan bergumam lebih kepada diri sendiri sembari terisak pilu, "enak. Sayang kalau dibuang. Mubazir." Ryan terlihat sedih melihatnya. Perempuan berpenampilan kacau di depannya ini memang sangat miskin, makanya begitu gila uang, dan hanya dialah tulang punggung keluarganya satu-satunya. Casilda jarang membahas keluarganya, tapi yang diingatnya adalah dia punya adik yang harus disekolahkan, sementara ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. "Sini, aku bersihkan kotoran yang menempel," tawar Ryan, meraih satu ayam krispi dan menepuk-nepuknya di atas nampan. "Apa pria itu tidak memberimu makan? Kenapa kamu seperti orang yang tidak makan berhari-hari?" "Makan, kok. Cuma kerjanya memang sangat berat. Kami belanja gila-gilaan hampir di semua toko bermerk yang ada di mall A. Kamu tahu, kan, luas dan mewahnya mall yang penuh barang bermerek itu?" bohong Casilda cepat untuk kesekian kalinya, tak ingin dirinya dipandang bodoh dan menyedihkan oleh Ryan, apalagi diledek olehnya kalau tahu siksaan macam apa yang telah diterimanya dari pria kejam itu. "..." "Aku akan bayar semuanya. Ibumu bisa marah kalau memberiku gratisan seperti ini," terang Casilda pendek, terisak pelan seraya menggigit ayam krispinya hingga saus merah belepotan di mulutnya. Casilda kaget dengan gerakan tiba-tiba Ryan yang mengelap saus di sudut bibirnya, lalu menghisap saus yang ada di ibu jarinya sendiri tepat di depan matanya. "Makannya pelan-pelan saja," nasihatnya dengan suara lembut yang belum pernah didengar oleh Casilda selama ini, sorot mata pria itu tiba-tiba terlihat begitu penuh kasih dan sayang. Perempuan ini mengedipkan mata sekali. Sontak bulu kuduknya berdiri dalam sedetik, bergidik dengan ucapan seolah jijik, "kamu membuatku takut. Apa-apaan sikap sok manis dan perhatianmu itu? Apa setelah mendapat kartu agensi, kamu jadi menyadari sikap burukmu selama ini? Ingin memperbaiki karaktermu agar tidak ketahuan buruknya? Auh! Bikin merinding saja!" Ryan salah tingkah, wajahnya memerah seolah mengepulkan asap dari kedua telinganya melihat reaksi perempuan itu yang mengusap-ngusap sebelah lengannya dengan gidikan mengejek. 'Pe-perempuan ini!' batinnya kesal, gemas dengan reaksi Casilda yang tampak geli mendapat reaksi yang menurutnya romantis itu, tapi hatinya malah dibanting dengan sindiran tajam dan menusuk. "Semua ini harganya jadi 500 ribu! Sudah termasuk pelayanan dariku! Cepat habiskan, baru turun ke bawah untuk bekerja! Jangan malas-malasan!" cecar Ryan menahan rasa kesal di dadanya, bibir mengerut dengan ekspresi kelam ditekuk kejam. Mata datar begitu gelap, kejam, dan tak ada cahaya. Ryan memukul keras lantai dengan kasarnya, lalu meninggalkan Casilda yang terbengong-bengong dengan tangan penuh nasi dalam genggaman, berhenti tepat di depan mulutnya yang belepotan parah. "Baru juga antar 500 potong ayam krispi dan dapat kartu agensi, dia sudah bersikap aneh. Bagaimana kalau dia jadi aktor dan model juga? Arkan 0.2, kah?" celutuk Casilda pada diri sendiri, menyipitkan mata dengan mulut dimajukan kesal. Kedua matanya yang melingkar hitam seperti panda dan sedikit cekung menatap isi nampan yang tinggal separuh, dan bergumam kecil: "500 ribu? Ini, kan, tidak sampai 150 ribu? Apa-apaan, dia? Aku rugi 350, dong? Sudahlah, kebetulan kondisiku juga tak memungkinkan. Sudah baik dia bawa makanan seperti ini." Casilda menjilat telapak tangannya dengan begitu nikmat, dan memakan semua makanan yang sudah jatuh ke lantai itu sampai habis tak bersisa. Jorok? Hidupnya sudah terlalu keras sampai makanan jatuh di lantai pun sudah menjadi hal biasa baginya. Apalagi ibu Ryan sudah menjadikannya tempat sampah berjalan untuk makanan sisa kedai mereka. Kalau hanya sekedar makanan jatuh belum 5 menit? Apa salahnya dihabiskan, bukan? Paling sakit perut. Tinggal beli obat sakit perut di apotek, kan? Masalah selesai. *** Mansion Arkan sang Top Star. Tepatnya di ruang tamu, terlihat begitu penuh dan berantakan oleh tas-tas belanjaan, tergeletak sembarang pada hampir semua tempat: di lantai, di meja, di kursi, bahkan ada satu tas belanjaan yang masuk ke tempat sampah di dekat pintu menuju kolam renang di belakang. Seorang pelayan berpakaian maid berdiri bingung melihat semua kekacauan itu, tidak tahu harus bagaimana. Majikannya belum juga bangun meski jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Cahaya matahari hangat mengisi ruang tamu dari berbagai arah dari dinding dan jendela kaca bening dan jernih, membuat tas-tas belanjaan yang berhamburan tertimpa cahaya itu meski kacau tapi begitu artistik. Bingung tak tahu harus mulai dari mana, sang pelayan berjalan menuju tempat sampah dan meraih tas belanjaan di sana. Saat melihat isinya, hatinya hampir melompat kaget. Di tangan sang pelayan tergenggam sebuah gaun merah yang begitu elegan dan menawan, dilihat dari simbol merek di tas dan di tag gaun itu, benar-benar asli jika tuan mudanya yang membelinya. "Ini, kan, mahal sekali. Merek ternama yang mendunia. Pasti tuan muda tidak sengaja melemparnya masuk ke tempat sampah. Gaun bagus begini, kok, bisa-bisanya dibuang. Jika nona Lisa lihat, pasti langsung jatuh hati!" gumam sang pelayan kagum setelah menggelengkan kepala tidak percaya jika gaun itu sengaja dibuang. Selama hampir setengah jam, wanita berumur 40 tahunan itu tampak hanya merapikan susunan tas-tas belanjaan Arkan di atas meja dan sofa, dia akan menunggu perintah lebih lanjut dari tuan mudanya jika harus menyusunnya di dalam ruangan koleksinya. Ini adalah barang baru, dan tuan mudanya adalah orang yang sangat ketat terhadap barang-barang pribadinya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa naik ke lantai 2, termasuk para pelayan pun diberi jam khusus untuk mengurus segala hal di sana. Melanggar berarti minta dipecat dan dikenai denda. Sudah begitu isi kontrak yang ditanda-tangani oleh semua orang yang ingin bekerja di mansion tersebut. Ketika sang pelayan sibuk membersihkan lantai, Lisa, sang tunangan memasuki pintu kaca mansion mewah tersebut. Perempuan ini memakai pakaian yang sangat modis dan setengah formal: sifon krem lengan panjang berhias pita besar di d**a, dan sebuah rok pensil hitam selutut dengan ikat pinggang plastik lebar berwarna senada menghiasinya. Di kedua telinganya terlihat anting mutiara yang sangat indah, berkilau melengkapi geraian rambutnya yang hitam panjang memukau. Tas kecil glamor tersampir di tubuhnya. "Di mana Arkan?" tanyanya begitu melangkah masuk, bunyi sepatu heels miliknya bergema di mansion luas itu. "Nona, Lisa!" sapa sang pelayan sopan, menganggukkan kepala dan kembali berkata,"tuan muda masih tertidur di atas, nona." "Dia masih tidur?" gumamnya pada diri sendiri, mata melirik ke lantai dua. Perempuan bak dewi ini berpikir sejenak dengan arah pandang melihat ke tumpukan belanjaan sang tunangan. "Apa ini semua adalah belanjaannya kemarin?" Sang pelayan hanya mengangguk khidmat. "Baiklah. Aku naik ke atas kalau begitu. Terima kasih." Lisa berlalu dari tempat itu, melenggang indah menaiki tangga dengan bunyi 'tak tok tak tok' mengisi keheningan mansion sang aktor. "Ckckck. Cantik, sih, tapi, sama sekali tak punya tata krama. Salam dulu baru masuk, apa salahnya, sih? Punya istri cantik, kalau hanya sibuk cari uang dan minim ilmu agama, bagaimana bisa mendidik anak di masa depan?" celoteh sang pelayan, lalu melirik tas belanjaan yang berisi gaun merah sebelumnya. Di lantai 2, Lisa membuka pintu kamar Arkan. "Kenapa dia suka sekali tidur tanpa mengunci kamarnya?" gerutu Lisa pelan, berjalan masuk ke dalam dengan perasaan was-was. Suasana kamar itu sangat tenang. Kedua sisi dinding berbentuk huruf ‘L’ dari kamar Arkan tidak memiliki gorden hingga cahaya matahari masuk begitu saja. Rata-rata semua dinding dan jendela kaca di mansion Arkan seperti itu modelnya, berlimpah cahaya dari berbagai arah mata angin. Kepalanya menoleh melihat sesosok pria berjaket biru tua, kepala ditutupi bantal, tidur memeluk guling dengan cara yang begitu bebas. "Dia langsung tidur seperti ini setelah melaksanakan misi kaburnya? Pria ini benar-benar!" sudut bibir Lisa tertarik kesal, kening ditautkan dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD